Tak ada yang menyangka di sebuah kampung di Kabupaten Banyumas, tepatnya di desa Karanglo Kecamatan Cilongok. Berdiri sebuah gedung pertemuan yang cukup apik yang diinisiasi untuk Pimpinan Ranting Muhammadiyah untuk menampung berbagai kegiatan dakwah, olahraga, dan bahkan resepsi pernikahan. Bila kita hendak memasuki gedung tersebut, maka di sebelah kanan pintu masuk terpasang prasasti peresmian gedung bertanda tangan Ketum Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si.


Hari ini gedung tersebut menjadi pertemuan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) LAZISMU Banyumas 2025. Pemilihan di Karanglo karena letaknya yang sangat strategis, asri, dan sejuk. Belum lagi sambutan Kepala Desa yang hangat dan nyentrik menjadikan kegiatan seru semenjak pembukaan terlebih beliau yang merupakan warga NU malah menyalurkan zakatnya kepada LAZISMU. Begitupula dengan Ketua BAZNAS Banyumas Ibu Khasanatul Mufidah, SH. sangat mengapresiasi mengenai tata kelola ZISKA di Kabupaten Banyumas. 


Acara ini dibuka oleh Ketua PDM Banyumas, Drs. M. Djohar, M.Pd. yang mengharapkan supaya LAZISMU Banyumas terus berkembang dan memberikan banyak manfaat kepada masyarakat melalui berbagai program yang dijalankan secara kreatif dan kolaboratif. Kemudian, kegiatan Rakerda LAZISMU Banyumas kali ini dimulai dengan pemantapan mengenai “Manajemen Satu Atap” yang disampaikan langsung oleh Dr. Ibnu Hasan, M.S.I. selaku Ketua PWM Jawa Tengah sekaligus inisiator dalam Manajemen Satu Atap sewaktu beliau menjadi Ketua PDM Banyumas bersama dengan Mas Sabar (Direktur LAZISMU Banyumas) pada tahun 2017. Kedua tokoh ini sebenarnya yang menjadikan LAZISMU Banyumas menjadi salah lembaga filantropi Islam yang matang secara konsep manajemen, tetapi juga operasionalnya.


Manajemen Satu Atap terhadap ZISKA yang dilakukan oleh LAZISMU Banyumas telah menjadi salah satu inovasi pengelolaan ZISKA secara terintegrasi. Pada tahun 2024 yang belum habis tahun ini LAZISMU Banyumas telah mampu melakukan penghimpunan sebanyak 20 miliar. Dan tahun depan sekalipun tampaknya kita berada dalam kondisi menantang (salah satunya dengan adanya rencana pemberlakukan PPN 12%) LAZISMU Banyumas menetapkan target sebesar 23 miliar. Tentu saja, hal ini bukanlah yang mudah, namun bukan berarti mustahil untuk bisa dicapai. 


Alhamdulillah, pada penghujung tahun 2024 ini, selain melakukan penguatan kelembagaan dan profesionalisme amil, LAZISMU Banyumas juga telah menyempurnakan sistem, konten, dan kampanye di www.sobatberbagi.com sebagai platform digital yang memudahkan kita berdonasi kapan saja dan dimana saja dengan begitu cepat dan mudah.




Usai salat maghrib adalah waktu saya menelpon istri dan anak-anak. Dan seperti biasanya mereka sedang makan malam sepulang dari mushola. Malam ini menu makam malamnya adalah ayam goreng kesukaan anak-anak.


"Hari ini, hari ayah?" ujar Luna. Padahal sendiri tidak ingat.


"Kakak tahu darimana?" jawab saya


"Dari teman-teman di sekolah" ujar Luna polos.


"Kakak mau mengucapkan doa apa buat Ayah" sanggah istri saya.


"Semoga selalu Ayah sehat, semakin pintar, sama banyak rejeki" jawab Luna. Saya mengaminkan.


"Dedek, apa doanya buat Ayah" tanya istri saya kepada  Khawla yang juga lagi makan. 


"Apa??" jawab Khawla 


"Doa Dedek apa buat Ayah?" istri saya mengulang pertanyaannya.


"Doa makan..." jawab Khawla makin polos. 


Saya tertegun. Antara mau tertawa dan mengamini. Apalagi, doa makan itu isinya sangat bagus sekali.

😃

Saya pun mengucapkan terima kasih kepada mereka.





“Kenapa Ayah tidak pernah romantis sih?” Keluh istri saya untuk yang kesekian kalinya.


Ya, selama ini saya tidak pernah romantis. Saya seorang laki-laki yang apa adanya untuk istri yang saya nikahi satu dekade ini—Saya tidak pernah memberikan bunga mawar istri, makan di berdua di tempat mahal, berdua menonton film menye-menye, dan berbagai kegiatan berdua lainnya, sebagaimana ditampilkan oleh pasangan romantis dalam sinetron dan film Korea.


Apa yang saya lakukan ini tidak memiliki maksud apapun, sebab memang begitulah saya, apa adanya sebelum dan sesudah menikah. Bahkan sebelum menikah ia juga sering bilang begitu “laki-laki yang sama sekali tidak romantis, blas!”. Bagaimana tidak bilang begitu, kami terpisah jarak antara Majenang dan Jogja, dan kok masih berlanjut setelah menikah yang harus melipat jarak antara Majenang dan Purwokerto. Tentu saja, apa yang saya lakukan tersebut bukan berarti saya tidak mencintainya. Saya sangat mencintainya—dengan tanpa diekspresikan melalui berbagai stempel keromantisan dalam film Korea yang selalu ditonton istri.


Setelah kami memiliki anak, Luna dan Khawla. Harus diakui memang tidak banyak momentum untuk berduaan. Maka, kalau jalan-jalan, makan, berbelanja, menginap di luar kota kami selalu membawa anak-anak. Khusus dalam hal ini, saya yang selalu menyampaikan kepada istri mengapa anak-anak harus dibawa karena itu sebagai rekaman untuk mereka di masa depan. Sekalipun kami belum penuh waktu hidup serumah, tetapi komitmen kami saya yakni sebisa mungkin tidak abai terhadap anak-anak.


Dalam satu kesempatan, saking istri saya ingin berduaan dengan saya. Ia mengajak saya untuk menonton di bioskop tanpa menjelaskan film apa yang akan kami tonton—intinya, berduaan dulu. Saya pun meng-iya-kan permintaan istri saya tersebut. Namun, setiba di bioskop malah saya yang diminta untuk menentukan film yang akan kami tonton. Saya pun menut lagi untuk membeli tiket.


“Kita menonton film, Siksa Kubur!” ucap saya sembari menunjukkan tiket yang telah saya beli.


Istri saya merngot melihat kelakuan saya itu. Ia berharap menonton film yang romantis, malah terjebak dalam film horor. Namun, memang dasarnya istri seorang istri yang patuh kepada suami, maka ia pun menuruti untuk menonton film horor yang menceritakan mengenai Sita yang tidak percaya agama setelah orang tuanya meninggal akibat bom bunuh diri. Selama menonton film tersebut, istri saya hanya ada rasa takut di awal film, selebihnya ia menonton sampai akhir. Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari film besutan Joko Anwar itu.


Untuk mengobati rasa ketidak-romantisan itu. Pada tengah bulan April kemarin saya terbesit untuk menulis buku mengenai pernjalanan pernikahan kami. Saya pun bergerak cepat untuk mengumpulkan tulisan tersebar di Blog dan Instagram saya, sebab sangat berat bagi saya untuk menulis dari awal dengan keterbatasan ingatan dan waktu yang semakin mepet. Saya pun menstrukturisasi kembali tulisan-tulisan tersebut sehingga terbitlah buku berjudul “Rumah Tangga Paruh Waktu Cinta Penuh Waktu”



Buku tersebut dapat diunduh dan dibaca secara gratis (klik).


Saya mengirimkkan cover buku di atas, pada saat ulang tahun pernikahan kami yang ke-10 bersamaan dengan ucapan, harapan, dan doa terhadap terhadap biduk rumah tangga kami ke depannya. Saya tidak bisa memberikan versi cetaknya, karena buku tersebut dalam proses terbit dan cetak. Dan lagi-lagi, gagal pula romantisnya.


Di luar berbagai kejadian dan tagihan tidak romantisnya saya. Ada satu momentum pekanan yang membuat kami saling menjadi pasangan menye-menye yakni Senin pagi pada saat saya mau berangkat ke Purwokerto. Usai pamit, memeluk, cium, dan berdoa bersama istri dan anak-anak. Saya pun menghidupi motor untuk berangkat.


Sembari roda motor saya berjalan. Saya selalu menoleh ke belakang, sementara istri dan anak-anak berada di daun pintu gerbang melambaikan tangan. 


Seketika itu pula selalu terbesit dalam benak saya: lindungi kami, ya Allah.


Selama ini saya terbilang cuek saja dengan masalah uban yang hampir menenuhi kepala saya. Namun, setelah Luna beberapa kali bertanya mengapa rambut saya sudah hampir putih semua. Seketika itu pula saya menjawabnya dengan senyuman, kemudian mencium dan memeluk Luna karena pertanyaan Luna tersebut di jawab istri saya.


“Ayah kerja keras untuk kita, Kak” jawaban andalan istri saya. Tentu saja, itu membuat saya berbinar-binar.


Berjalannya waktu, Luna yang terus penasaran. Selalu bertanya mengapa kepala saya penuh uban? Saya pun menyampaikan apa adanya kalau rambut saya telah ubahan semenjak masih sekolah. Saya tergorong mengalami uban genetik, sekalipun tidak semua keluarga mengalaminya. Jadinya, mau tidak mau, seiring bertambahnya usia, maka semakin bertambah area rambut putih di kepala.


Beberapa waktu lalu, saya pernah mewarnai rambut saya dengan warna hitam. Ya, sekalipun ada sebagian teman melarangnya dengan alasan haram karena dilarang oleh Nabi. Tetapi, masa’ sih, saya harus mewarnai rambut dengan warna pirang, merah, apalagi pink. Ha!. 


Lama-lama saya pun merasa bosan untuk mewarnai. Terlebih saya terbilang orang yang amat sangat malas melakukan perawatan apapun, apalagi  itu cuma masalah uban. Saya pun kembali memilih membiarkan saja rambut saya beruban, seperti halnya Capres pilihan saya yang tidak menang itu: Pak Ganjar Pranowo.


Kami sudah sama-sama meninggalkan dunia hitam. Rambut!




Hari ini secara mendapat mendapat kabar bahwa Kiai Anwar wafat. Beliau salah satu kiai muda paling bersahaja di kampung saya—di Madura. Kabar wafatnya beliau yang mendadak tersebut, telah menyisakan rasa sedih mendalam bagi para warga yang mengenalnya, tidak terkecuali saya sendiri. Namun, bagaimana pun Allah Swt selalu memiliki cara terbaik untuk seluruh hamba-Nya.


Kiai Anwar, selamanya ini saya lebih sering memanggilnya Lora Anwar. Ya, Lora. Sebuah panggilan bagi anak laki Kiai Madura (panggilan Gus kalau di Jawa). Saya sama Lora Anwar satu angkatan sewaktu masih Sekolah Dasar di tahun 1991, hanya saja beliau mendapatkan jalur khusus yakni mengikuti kelas akselerasi, sehingga beliau lulus cepat dari saya—yang malah tidak kelas di kelas dua. 


Jaman SD waktu itu, disaat anak-anak laki-laki memakai celana pendek selutut untuk bersekolah, namun beliau memakai celana panjang untuk bersekolah. Di sekolah kami hanya beliau yang memakai celana panjang—yang lebih menutup aurat laki-laki waktu itu. Sekalipun sekolah kami adalah sekolah negeri, namun pihak sekolah tetap memperbolehkan Lora Anwar memakai pakaian yang berbeda di banding siswa yang lain. 


Setelah menamatkan sekolah, Lora Anwar mondok di salah satu pondok di Pamekasan, sebagaimana lazimnya anak Kiai pada umumnya. Sementara saya tetap menjadi santri “nyolok” atau “kalong” alias santri yang tidak menetap di lingkungan pesantren yang diasuh oleh Kiai Tohir (ayah dari Lora Anwar) yakni Pondok Pesantren Sambi Umbul. Di pondok inilah saya mempelajari dasar-dasar ilmu agama—yang pada akhirnya menjadi bekal sampai saat ini.


Berjalannya waktu, Lora Anwar memilih melanjutkan studinya ke Yaman. Di sana beliau banyak belajar ilmu agama—yang pada akhirnya mampu menggantikan posisi Kiai Tohir ketika wafat. Lora Anwar yang memiliki komunikasi yang bagus menyebabkan ceramah dan petuah beliau begitu tegas, lugas, dan mudah dipahami. Bahkan ceramah-ceramah beliau sampai diunggah ke Youtube dan media sosial lainnya. Tentu saja, saya pun menonton ceramah-ceramah beliau sekalipun tidak tinggal di Madura.


Sekitar 2008, ketika beliau mendengar saya telah aktif di Muhammadiyah. Beliau berpesan kepada Bapak saya supaya saya sowan ke beliau apabila saya mudik. Maka, ketika saya mudik, saya pun menghadap beliau. Dalam pertemuan tersebut beliau lebih banyak mendengar terhadap penjelasan saya mengenai Muhammadiyah dengan berbagai gerakan dan amal usahanya. Maklum saja, di kampung saya—Desa Bangkes waktu itu hanya saya satu-satunya yang bisa dianggap Muhammadiyah karena saya sekolah dan aktif di ortom Muhammadiyah. 


Melalui pertemuan tersebut, Lora Anwar sangat menghargai pilihan saya untuk aktif di Muhammadiyah dibandingkan aktif di NU. Sebagaimana lazimnya Kiai pada umumnya, ada banyak nasihat yang beliau berikan kepada saya. Terlebih Pondok Pesantren yang beliau asuh terbilang pondok Salafiyah, sehingga dalam beberapa bagian cukup berbeda dengan Muhammadiyah yang cenderung modernis. Selain itu, beliau juga meminta saya untuk cukup menyebut Lora dan tidak perlu memanggil Kiai—sebagaimana biasanya selama ini.


Lora Anwar adalah sosok sederhana, bersahaja, dan tegas. Beliau memilih menjadi seorang pendidik masyarakat secara kultural dengan menekankan kekuatan aqidah dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan agama Islam. Semoga Allah Swt menerima seluruh kebaikan dan amal salih beliau serta ditempatkan di surga-nya. Aamiin..


Alfatihah..




Sesampainya di kampus saya melihat gawai saya ternyata ada 5 kali telpon yang tidak sempat saya angkat. Nomor tersebut adalah nomor yang tidak tersimpan di gawai saya. Panggilan tersebut tidak terangkat karena saya sedang perjalanan dari acara Lazismu Banyumas ke kampus karena ada koordinasi. Saking penasarannya saya pun menelpon balik dengan asumsi telpon tersebut sangatlah penting. Setelah telpon saya diangkat dan menjawab salam saya, seorang perempuan yang tidak saya kenal tersebut langsung menyampaikan maksud telpon berkali-kalinya.


“Bapak diminta untuk menghadap Pak Prabowo. Ada tugas yang harus bapak kerjakan. Setengah jam ke depan Pak Prabowo akan menghubungi langsung. Mohon bapak mempersiapkan diri” pinta perempuan tersebut secara tegas tanpa basa basi.


Saya yang mendengar telpon tersebut begitu kaget bukan kepalang. Nafas saya ngos-ngosan semacam tidak percaya terhadap isi telpon barusan. Lagian Pak Prabowo dengan timnya yang keren dan banyak itu dari mana mengetahui nama saya yang tidak tersohor. Terlebih dalam pemilu kemarin saya tidak memilih beliau seperti pada pemilu sebelumnya.


Tak mau berlarut dengan kekagetan tersebut. Saya mempersiapkan diri untuk menerima telpon Pak Prabowo. Gawai saya pun diisi ulang baterai untuk memastikan nantinya tidak kehabisan daya. Dan saya pun mencoba mengatur nafas dan memikirkan jawaban yang kira-kira nanti bisa meyakinkan ketika ditanya mengenai berbagai hal yang dibutuhkan, sehingga tidak terlalu mengecewakan. 


Benar saja. Setengah jam kemudian, ada nomor baru yang menelpon saya. Dengan sigap saya mengangkat telpon tersebut dengan mengucapkan salam. Pak Prabowo dengan nada bicaranya tegas dan khas itu menjawab salam saya. Dengan tangan yang agak tergetar saya menyapa dan menanyakan kabar kesehatan beliau dan beliaupun menyampaikan, Alhamdulillah: sehat.


“Langsung saja Pak. Negara membutuhkan panjenengan untuk mengisi salah satu jabatan di kabinet yang akan saya pimpin. Ada salah satu Kementerian yang membutuhkan pemikiran dan tenaga anda sebagai anak muda. Saya sudah membaca rekomendasi, pengalaman, dan membaca buku Negeri Tanpa Nurani yang panjenengan tulis. Mohon besok malam menghadap ke kediaman saya di Kertanegara” ujar Pak Prabowo tanpa memberi celah untuk saya menganggah dan memberikan alasannya.


Mendengar perintah tersebut. Tak ada kata yang bisa saya jawab selain kata: SIAP. Setelah itu, Pak Prabowo menutup telpon dan membiarkan begitu saja penasaran, kekagetan, gemetaran saya tersebut begitu saja. Saya tidak tahu siapa orang usil memberikan rekomendasi bahwa saya bisa bekerja di pemerintahan baru, padahal saya hanya seorang dosen biasa, penulis amatir, dan tidak pernah terlibat dalam kegiatan politik.


Berhubung waktu yang terus melaju. Biasanya dalam kondisi demikian, saya menghubungi 3 orang yang paling terkait langsung keseharian saya yaitu, istri, orang tua, dan atasan saya. Istri mempersilahkan sepanjang masih membagi kehidupan pekerjaan dengan rumah tangga, orang tua selalu mendukung sepanjang itu baik dan bermanfaat, dan Pak Dekan sebagai atasan saya agak keberatan.


“Gimana ya, Bang. Sekalipun sudah pernah menjadi sekretaris lembaga dan wakil dekan. Apa , iya menjadi wakil di lembaga pemerintahan yang penuh pekerjaan dan tanggung jawab bisa tetap membagi dengan pekerjaan di sini dan kuliahnya. Monggo, dipikirkan dulu” ujar Pak Dekan. 


Biasanya, kalau Pak Dekan menyampaikan kata “Gimana ya atau apa iya” itu pertanda cenderung kurang setuju. Atau dipikirkan dalam-dalam sebelum memutuskan sesuatu. Sebagai orang menemani beliau selama dua periode, maka ucapan atau isyarat berjalannya waktu saya mencoba mencerna dan memahami. Sebagai hal lumrah antara atasan dengan bawahan.


Saya pun memikirkan ulang tawaran dari Pak Prabowo tersebut. Saya yakin banyak anak bangsa yang lebih mumpuni untuk menjadi pemimpin di pemerintahan. Saya memilih menjadi dosen saja untuk membantu membantu pemerintah dari luar pemerintahan, apalagi di kampus saya mengajar, di Universitas Muhammadiyah Purwokerto telah dibuka pendaftaran mahasiswa baru untuk tahun akademik 2025-2026. Belum lagi pada tahun 2025 prodi saya bernaung Prodi Hukum Ekonomi Syariah, dan Pendidikan Agama Islam S-1 akan maju akreditasi dan Magister Pendidikan Agama Islam juga sedang persiapan untuk akreditasi.


Terima kasih sudah sabar membaca tulisan halu saya di atas—yang saya tulis sambil nonton balbalan semalam. Sekaligus ini sekadar informasi penerimaan mahasiswa baru, silahkan informasinya bisa di link ini : https://daftar.ump.ac.id/


Jadi, saya tidak perlu membalas telpon Pak Prabowo 😁




Setelah 12 tahun tidak bertemu. Kami bertemu dalam suasana dan rencana acara yang tidak disangka-sangka. Tahun 2010-2012 dalam organisasi kami pasangan ketua dan sekretaris, Hendro sebagai ketua dan saya sebagai sekretaris umum.

“Aku mau kamu jadi sekretarisku, Cak!. Nggak ada yang lain” ucap Hendro pada Musyda empat belas tahun lalu itu. Sementara saya sendiri adalah kader yang “tidak mendapat rekomendasi” dan terbuang karena perbedaan pilihan. Ibarat kata, Hendro sebagai ketua terpilih dan Mas Anang sebagai ketua demisioner yang mau memungut saya dengan segala kelakuannya.

Dalam berbagai dinamika itu. Saya menerima dan mendampingi Hendro sebagai sekretaris. Dari dia saya belajar menjadi orang kedua dan selalu belajar untuk tidak pernah menjadi orang pertama. Mulai mengelola internal organisasi, membangun suksesi aklamasi anak sultan menjadi ketua K*PI, diskusi lintas gerakan, hingga kalah dalam Muktamar. Kami lalui itu dengan cara tertawa.

Jelang berakhirnya masa jabatan. Kami pun memilih melakukan konsolidasi masing-masing. Ibaratnya, Hendro itu adalah klan Banteng yang selalu menang dan sulit dikalahkan, sementara saya sebagai Mulyono yang membutuhkan kemenangan untuk membangun kekuatan supaya klan-nya pernah menjadi ketua. Maka, saya pun berkonsolidasi dengan Ahid sebagai klan Gemoy, sebab selama berkader para senior kami selalu berbeda pandangan. Maka, jalan satu-satunya adalah berkoalisi dan tanpa memikirkan luka masa lalu. Tentunya itu tanpa sepengatahuan Hendro.  

Saya menciderai Hendro yang pernah memungut saya yang pernah dalam kondisi terendah. Hal tersebut harus saya lakukan supaya klan saya menang dan pernah menjadi ketua untuk pertama kalinya. Hasilnya pun terbukti menang!.

Setelah kejadian itu, hubungan saya dengan Hendro serasa hambar. Tidak seperti sebelumnya. Saya yang merasa segan dengan Hendro memilih untuk mengasingkan diri dengan rasa bersalah—tanpa memberikan kabar apapun dengannya. Kalaupun ada kabar, itupun hanya saling “like” di media sosial.

Dua hari lalu, ia mengabari saya kalau akan acara agenda di Purwokerto. Saya menyambut baik supaya kami saling bertemu sekaligus membasuh dan menyiram luka-luka struktural masa lalu. Saya meminta maaf atas perbedaan pilihan dua belas tahun lalu itu. Ia pun tertawa seperti biasanya.

“Santai aja, Cak. Sebenarnya, klan ku itu juga belum siap. Ha!” jawabnya sambil tertawa.

Kami pun menikmati Soto dan Bakso Sami Asih. Barangkali, soto kecik ini yang mempersatukan kami kembali 😂




Pada hari Kamis, 27 Agustus 2015, bertempat di RSIA Duta Mulia Majenang Cilacap telah lahir anak pertama kami secara operasi caesar berjenis kelamin perempuan dengan berat 2,8 kg dan panjang 48 cm. 


Saya dan istri memberinya nama Revoluna Azalia Makhadi dan memanggilnya Luna. Revoluna diambil kata dasar revolusi sebagai sebuah perubahan yang berlangsung secara cepat dan mendasar dalam berbagai bidang. Disamping semangat aktivis saya yang masih menggebu-gebu. Azalia, yang dalam bahasa Ibrani bermakna yang dikasihani oleh Tuhan, sekaligus nama gabungan nama mertua dan istri. Makhadi, adalah gabungan dari nama saya. 


Pemberian nama tersebut, hendak maksud berdoa agar supaya kelak ia bisa melakukan perubahan-perubahan yang disayangi Allah Swt, setidaknya untuk kami, keluarganya. Sebab, hidup adalah perjalanan yang menghendaki perubahan-perubahan cepat dan mendasar, baik besar ataupun kecil. Dan dalam pemahaman tertentu, perubahan dimaknai sebagai “proses” kehidupan yang tentunya, ingin selalu dicintai Tuhan semesta alam. 


Awalnya kelahiran Luna direncanakan normal, namun karena posisi bayinya dalam kandungan miring, dimana kaki dan kepala masih silang, sehingga Dokter menyarankan supaya kelahirannya harus dilakukan secara caesar. Saya dan istri datang ke rumah sakit sehari sebelumnya dan membawa semua kebutuhan yang telah dipersiapkan oleh istri. 


Tibalah detik-detik istri harus memasuki ruang operasi, ia meminta saya didoakan yang terbaik. Tentu saja, tanpa diminta pun saya pasti mendoakan yang terbaik untuk istri dan anak saya. Saya menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan tidak menentu, hanya doa dan dzikir yang terus mengalir dalam hati dan bibir saya. Hampir sekitar dua jam kami menunggu.


“Bayi atas nama ibu Zulaekha Lestari Putri” ujar seorang perawat sembari menggendong bayi. Ia pun meminta saya mengikutinya ke ruangan inkubasi bayi, sekalipun saya diminta berada di ruangan.


Deg! batin saya bergejolak. Saya merasa takut sekali terjadi apa-apa dengan anak dan istri saya. Apalagi, istri masih berada di ruang operasi dan saya meminta tolong supaya ibu mertua menunggu istri bila telah keluar.


“Tenang saja, Pak. Bayi Ibu dan Bapak sedikit kuning masih membutuhkan perawatan terlebih dahulu. Besok bila sudah memungkinkan bisa sambil dijemur” ujar si perawat.


Saya melihat Luna dari luar ruangan dan tanpa disuruh air mata mengalir begitu deras. Saya tidak bisa berkata apa-apa, sekalipun dada terasa sesak. Andai saja saya diperbolehkan, saya akan mendekap dan mencium Luna dengan penuh rasa bangga. Namun, apa daya semua harus tertunda sementara waktu. Saya tetap berdoa supaya semuanya baik-baik saja. 


Dengan berat hati. Saya harus meninggalkan Luna tetap berada di ruangan inkubasi, saya harus menunggu istri kembali untuk memastikan ia juga baik-baik saja. Tidak lama setelah saya sampai di depan ruang operasi, istri saya pun keluar ruangan dengan keadaan berbaring dan diantar ke ruangan rawat inap. 


“Anak kita gimana, Yah?” tanya istri saya setiba di ruangan. Semacam ia tidak memperdulikan rasa sakit yang dialaminya. 


“Alhamdulillah, semua baik Nda. Sekarang masih di ruang inkubasi, karena bayinya kuning. Lagi ditangani sama perawat” jawab saya untuk menenangkan istri. 


“Insya Allah, semua baik-baik saja” imbuh saya. 


Saya pun mencium kening istri saya. Sembari mengucapkan terima kasih sudah berjuang sampai sejauh ini. 


Kami tidak bisa menjelaskan bagaimana kegembiraan dan kebahagiaan saat Luna lahir, selain adalah bagaimana kami mengucap syukur terdalam. Alhamdulillah, ya Allah semua sehat dan sempurna. 


Hari ini, tahun 2024. Luna genap berusia 9 tahun. Selamat ulang tahun ya Nak. Seluruh doa terbaik untukmu. 😘


---

Cerita dimuat dalam buku Keluarga Paruh Waktu Cinta Penuh Waktu (klik unduh)