Tidak Naik Kelas



Menonton video diatas (A touching commercial thatrubs the deepest part of your heart), mengingatkan saya pada waktu kelas dua Sekolah Dasar (SD). Waktu itu—saya adalah bagian orang yang harus menerima vonis sebagai siswa yang tidak naik kelas. Ya! saya pernah tidak naik kelas. 

Perasaan saya waktu dinyatakan tidak naik kelas begitu berkecamuk: malu, marah, kesal—dan yang paling tidak bisa saya terima, saya akan lebih lama berada di sekolah. Apalagi, kebiasaan di sekolah kami—bagi mereka yang tidak naik kelas dianggap “anak bodoh”. Itulah hukum sosial yang harus saya terima waktu itu, selain hukum nilai yang rendah. Akibat hal tersebut saya berencana ingin berhenti sekolah saja.

Entah, saya tidak tahu dari mana asalnya—perasaan ingin berhenti sekolah itu datang. Yang pasti pasca liburan penerimaan raport, saya tidak masuk kelas selama dua minggu berturut-turut. Saya berangkat dari rumah untuk sekolah, tapi tidak penah masuk kelas. Waktu itu saya sudah sampai di sekolah, tapi hanya jajan di warung belakang sekolah yang kebetulan menjadi tongkrongan untuk jajan dan gerombolan anak putus sekolah. Kebiasaan “bolos” sudah saya lakukan sejak dari kelas dua SD. Sebab, rasa malu yang sangat berat, memaksa saya enggan untuk kembali mengulang dikelas dua—yang merupakan kumpulan anak kelas satu tahun sebelumnya.  

Mengetahui ada muridnya yang tidak masuk kelas. Wali kelas saya waktu, Ibu Surya Ningrum namanya, memberitahu semua teman sekelas agar saya masuk sekolah, sebelum beliau melaporkan pihak sekolah untuk memanggil kedua orang tua saya. Mendengar ancaman tersebut—awalnya, agak masa bodoh dan cuek. Tapi, lama-lama saya pun mulai berpikir. Sebab kalau saya tidak pergi sekolah, maka bapak saya akan memukul betis saya dengan sapu lidi sampai tiba di sekolah. Jujur saja—bapak agak ortodok dalam persoalan sekolah—ia tidak segan-segan memukul dengan sapu lidi, kalau sampai ada yang tidak sekolah. Itu sudah saya alami beberapa waktu lalu, saat tidak mau berangkat mengaji. Suasana yang sangat berbeda dengan sekarang: bapak yang memukul anak untuk sekolah dianggap penganiayaan. Duh!

Dengan perasaan malu dan suasana sangat ringkih. Saya memaksakan diri untuk masuk kelas. Rasanya, semua anggota badan begitu gemetar. Seluruh sorot mata anak sekelas mengarah pada saya. Apalagi, kursi kosong yang bisa saya tempati, hanya berada dibaris nomor dua dari kursi depan. Dan saya masuk tepat pelajaran Ibu Surya Ningrum. Tak ayal, saya pun bertatapan dan berhadapan langsung dengan Ibu Surya Ningrum di dalam kelas—guru dan wali kelas yang cukup membuat ciut nyali anak sekolah kami. Beliau pun menyuruh saya untuk menghadapnya waktu jam istirahat. Saya pun ngiyem dengan perintahnya.

“Kenapa kamu tidak masuk sekolah lebih dari dua minggu?” tanya buk Surya waktu saya menghadap di ruangannya. 

“Saya malu, Buk” jawab saya dengan nada dan anggota badan yang gemetar.

“Malu kenapa?”

Saya diam beberapa menit. Dan tidak langsung menjawab pertanyaan beliau, sampai Buk Surya pun mengulangi pertanyaannya dengan nada agak keras sambil lekat menatap saya.

“Malu kenapa?”

 “Malu dengan teman-teman Buk, saya belum bisa membaca” jawab saya dengan wajah menunduk. 

Ya! Persoalan mendasar saya malu masuk kelas—lebih banyak didasari karena kekurangan saya yang belum bisa membaca. Apa kata anak-anak sekelas yang sebenarnya satu tahun dibawah saya—mengetahui saya tidak bisa membaca, padahal saya sudah sekolah setahun lebih awal dari mereka. Ibu Surya pun memahami kondisi dan keadaan saya yang agak lambat membaca. Ia sudah mengetahuinya jelang kenaikan kelas—hingga ia pun berkonsultasi dengan Bapak saya. Dan bapak saya menyarankan agar saya tidak dinaikkan saja ke kelas tiga. Jadi faktor tidak saya tidak naik kelas—karena saya tidak bisa membaca yang berasal dari dalam diri saya sendiri. Dan saran bapak agar saya tidak dinaikkan kelas, supaya lebih pintar sekolah. Itu silsilah takdir saya tidak naik kelas.

“Belajar itu tidak hanya di sekolah. Kamu bisa belajar membaca dari manapun. Termasuk dari koran bungkus kacang” ucap Buk Surya yang masih saya ingat sampai detik ini. Saya diberi buku cerita agar saya baca sebisanya—kalau tidak salah judulnya “Tuanku Imam Bonjol”. 

Kini, setelah 20 tahun berlalu. Alhamdulillah, saya tidak sekadar bisa membaca, tapi juga menulis apa yang bisa saya baca—menulis buku atau bahkan sudah menamatkan kuliah sampai jenjang S2. Kehadiran Ibu Surya Ningrum, seperti malaikat Jibril bagi saya—yang membuka cakrawala kebenaran dan jalan melempangkan hidup dengan tradisi membaca. Sebuah cara dimana Allah pernah memberikan wahyu pertamanya kepada Nabi Muhammad dengan seruan membaca. Tapi, hal yang paling saya sesalkan hingga kini: kami belum pernah lagi bertemu lagi setelah saya lulus SD—akibat beliau yang mutasi tugas mengajar ke daerahnya dan saya belajar ke Jawa sejak dari SMA. 

... Terima kasih Ibu Surya Ningrum.