Manajemen Ziswaf


Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin memberikan banyak tuntunan dan pandangan terhadap seluruh umat manusia. Cara pandang melihat persoalan duniawi dan akhirat. Dalam bidang ekonomi Islam tidak memposisikan aspek materi sebagai bentuk tujuan dari proses aktivitas ekonomi. Islam memposisikan aktivitas ekonomi sebagai aktivitas mulia dengan menghadirkan keinginan aktvitas ekonomi secara adil dan mensejahterakan sesama makhluk Tuhan. Oleh karena itu pencapaian dan tujuan ekonomi dalam islam yakni tercapainya falah. Falah berasal dari kata Afalaha-Yuflihu yang artinya kesuksesan, kemuliaan dan kemenangan. Maksudnya, kemuliaan multidimensi dengan menjalankan aktvitas ekonominya tidak hanya mengorietasikan diri pada pencapaian materi belaka melainkan juga pencapaian spiritual. Islam melarang bahwa aktivitas ekonomi hanya dikuasai oleh selegelintir atau sekelompok orang. Melainkan, harus dilakukan secara bersama-sama untuk kesejahteraan bersama. Ketidakberdayaan masyarakat biasanya diakibatkan oleh minimnnya akses terhadap berbagai sektor.

Zakat merupakan inti ajaran islam cukup mendapat perhatian, bahkan pada awal islam berdiri, mereka yang tidak membayar zakat diperangi. Keberadaan zakat yang penyalurannya sudah ditentukan penyalurannya, semakin mempertegas bahwa zakat merupakan hal penting dalam islam. Ibnu Qayyim membagi atas dua katagori dalam pola penyaluran zakat yang terbagi kepada delapan asnaf seperti yang sudah ditetapkan dalam Al Qur’an. Pertama, mereka yang menerima zakat berdasarkan keperluan yakni fakir, miskin, riqab, dan ibn sabil. Kedua, mereka yang menerima zakat untuk digunakan sendiri yakni amil, muallaf, orang yang berhutang demi tujuan yang baik dan berjuang di jalan Allah.

Islam tidak hanya mewajibkan zakat, melainkan juga menganjurkan infak dan shadaqah. Meski zakat sendiri juga merupakan bagian dari infak. Sebab infak tidak hanya berkaitan dengan yang dilakukan secara wajib melainkan juga yang sunnah. Sehingga pada banyak hal ketiganya saling bergandengan dengan sebutan Zakat Infak dan Shadaqah (ZIS). Seiring berkembangnya zaman dan kebutuhan, maka ZIS kemudian terlembaga secara professional serta tidak lagi dilakukan secara musiman pada saat bulan Ramadhan. Secara lebih jauh zakat ini tidak hanya menerima ZIS melainkan juga wakaf. Sehingga penggelolaan wakaf juga mengalami perkembangan—yang biasanya berbentuk wakaf tanah untuk pembangunan sarana ibadah, sekolah, pesantren dan kebutuhan fisik lainnya. Kini, wakaf berkembang secara progresif dengan adanya wakaf uang atau wakaf tunai, dengan mengandalkan berbagai program kemandirian—bahkan secara profesional dan terlembaga pemerintah bersama masyarakat membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI). Selain itu, semakin besar timbulnya kesadaran berderma tidak sedikit dari lembaga filantropi juga menerima atau bekerjasama dalam penyaluran corporate social responsibility (CSR) perusahaan dalam berbagai program diberbagai sektor seperti program kemanusiaan dan kebencanaan. Tentu saja, hal ini merupakan angin segar bagi perkembangan pengelolaan filantropi Islam saat ini dan yang akan datang.

Adanya LAZ, BAZNAS dan BWI yang sudah terlembaga secara formal dan beroperasi secara profesional, diharapkan mampu mengoptimalkan pendapatan dan mengelolaan dana Ziswaf sehingga berdampak sistemik terhadap kesejahteraan dan kemandirian para kaum mustahiq atau kaum dhuafa. Apalagi, potensi zakat di Indonesia diperkirakan mencapai 214 triliun ditengah potensi zakat dunia yang juga diperkirakan mencapai 6.000 triliun. Tentu saja, pencapaian dari potensi ini dalam realitanya masih perlu penanganan khusus agar tidak hanya menjadi “potensi” belaka, tanpa diimbangi pencapaian dan program yang lebih realitis. Barangkali, inilah tantangan yang harus dihadapi para pengelola lembaga filantropi Islam (Ziswaf) ini, apakah ia mampu mengelola lembaga formal tersebut secara lebih kreatif dan kredibel—tidak saja dalam bentuk pengumpulan dana, melainkan pula dalam melakukan program pendistribusiannya.  

Tantangan yang jauh lebih berat sebenarnya berada dipundak masyarakat, baik muzakki (donatur) ataupun mustahik (kaum dhuafa). Tantangan tersebut lebih pada peneramaan paradigma dan tata kelola baru yang dilakukan oleh lembaga filantropi Islam tersebut. Misalnya, keberadaan budak dalam struktur penerima zakat, kini arahkan untuk membantu para TKI bermasalah diluar negeri, pendampingan korban kekerasan rumah tangga (yang didominasi perempuan), buruh dan pemberdayaan kaum perempuan. Artinya, ada perluasan makna terhadap struktur penerima zakat—dalam artian pemahaman terhadap delapan ashnaf (penerima zakat) tidak hanya dipahami secara tekstual. Apalagi, kini nyaris tidak ada budak—yang bisa diperjual belikan atau dipindah tangankan. Namun, secara perlakuan dan bersikap alias perbudakan masih tetap berlangsung. Begitu pula dengan wakaf—dengan adanya wakaf tunai akan memudahkan setiap orang untuk berwakaf terhadap berbagai program yang mengedepankan kesejahteraan kaum dhuafa. Disamping itu, adanya wakaf penerbitan naskah literatur keIslaman yang terbatas dapat diperbanyak dengan pola wakaf seperti ini—tanpa perlu menghilangkan hakikat dan isensi dari wakaf tersebut.

Hal perlu dilakukan tiap lembaga filantropi ini adalah mendorong semaksimal mungkin arus pemberdayaan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat cenderung lebih efektif ketimbang pola chariy (pemberian langsung) terhadap pada dhuafa, yang lebih bersifat jangka pendek dan menimbulkan keriuhan sosial di masyarakat. Barangkali, semangat kreativitas program lembaga harus senantiasa diupdate agar persoalan mendasar kaum dhuafa—dari tidak berdaya manjadi sejahtera dan mandiri. Tentu saja, hal ini bisa dilakukan secara kolektif dan terlembaga di masyarakat. Oleh sebab itu, program studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Purwokerto memandang perlu adanya Manajemen Ziswaf dalam proses perkuliahan. 

Mata kuliah ini manajemen Ziswaf ini ini akan mengkaji beberapa hal terkait Ziswaf, baik dari aspek filosofis-normatif, sejarah sampai dengan prakteknya pada era kontemporer. Topik pembahasan yang akan dibahas dalam mata kuliah ini diantaranya: sejarah dan perkembangan Ziswaf pada masa Rasulullah, sahabat dan dua dinasti besar Islam, diskurus zakat dan pajak, kelembagaan Ziswaf, regulasi dan manajemen kelembagaan, manejemen donator, fundaraising dan empowering, serta wacana Ziswaf dan filantropi Islam yang diakhiri dengan kunjungan lapangan. Harapannya para mahasiswa memahami Manajemen Ziswaf dari konsep, tujuan, wacana sampai dengan praktek sehingga mampu memahami Manajemen Ziswaf secara keseluruhan.

Materi Kuliah : (unduh)

Referensi tambahan : 

1. Cetak Biru Pengembangan Zakat Indonesia 2011-2025 / FOZ (Unduh)
2. Indeks Zakat Nasional-Puskas Baznas (Unduh)
3. Kajian Had Kafiyah 2018 (Unduh)
4. Manajemen Risiko Pengelolaan Zakat (Unduh)
5. Outlook Zakat Indonesia 2017 (Unduh)
6. Outlook Zakat Indonesia 2018 (Unduh)
7. Outlook Zakat Indonesia 2019 (Unduh)
8. Fikih Zakat Perusahaan (Unduh)
9. Evaluasi Kinerja Perzakatan Nasional (Unduh) 
10. Kajian Zakat on SDGs (Unduh)
11. Dampak Zakat terhadap Kesejahteraan Mustahik di Indonesia (Unduh)
12. Fikih Zakat Keuangan Kontemporer (Unduh)
13. Zakat untuk Kemandirian Umat Melalui Pemberdayaan Masyarakat (Unduh)
14. Arsitektur Zakat Indonesia (Unduh)
15. Panduan Praktis Menghitung Aset Zakat (Unduh)
16. Statistik Zakat Nasional (Unduh)
17. Dinamika dan Aktivisme Filantropi Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat (unduh)
18. Media Sosial dan Filantropi Islam (unduh)

Link lembaga ZISWAF :

Link Ormas :

Link paper :
 

0 komentar: