Malam kian menua.
Mataku masih saja belum bisa menutup untuk sekedar melepas lelah sepulang dari
Manado. Udara malam di Surabaya memang cukup anomali—siang terik dan malam tak jarang dingin. Aku dan
saudara sepupuku merapat ke Tugu Kota
Surabaya. Alam kota terbesar kedua negeri ini cukup membuat orang sibuk dengan dirinya sendiri. Seperti sedang berkelahi dengan waktu.
“jalan ke
Dolly yuk!” ajakku pada saudara sepupuku.
“maksudnya??”
jawab saudara sepupuku kaget
“sudah
antarkan saja. Aku hanya ingin tahu tentang kondisi disana. Tak usah ngeres. Tidak ada yang akan jajan. Ha!” jelasku pada saudara sepupu. Seketika muka herannya pun menurun
tensinya. Kami pun langsung memacu motor
ke kawasan Jarak tempat lokalisasi Dolly.
Dolly sebagai
lokalisasi terbesar se Asia Tenggara. Ternyata tak seperti yang aku bayangkan selama
ini—hanya deretan Pekerja
Seks Komersial (PSK) yang sedang mangkal dipinggir jalan sambil menunggu
jemputan atau pesanan yang sudah order sebelumnya. Mereka (PSK) didudukan
diatas sofa memanjang mirip roti bantal dan orang yang ingin memesan tinggal
menunjuk dari luar atau bahkan langsung masuk kedalam—tepatnya, para PSK duduk
berjejer mirip manikin di etalase toko. Dan
semuanya bisa disaksikan dari jalan beraspal tipis di depan deretan wisma.
Diperkirakan jumlah wisma yang bertengger di lokalisasi ini berjumlah 800 buah
termasuk caffe dan panti pijat ataupun salon plus-plus. Dan
tentunya servis ribuan orang penyacah nafsu. Bagi yang tak kuat menahan nafsu
pastinya akan membenamkan diri dalam rayu, desah dan cucuran bulir keringat
kenikmatan yang begitu lapang. Inilah, Puncak eksploitasi seks dua sejoli bisa
diselesaikan dalam kamar yang berukuran sekitar 5x6 meter itu—masalah dosa, itu
bagian lain untuk di bicarakan.
Tiap wisma yang mirip etalase toko itu, banyak lelaki yang menawarkan untuk segera memarkir motor—tipis
untuk membedakan mana tukang parkir dan asisten Germo. Dan PSK yang duduk berjejer dalam
ruang kaca bercat setengah tanggung itu sibuk berdandan ria. Usia mereka masih kisaran antara
17-30 tahun. Terlebih terangnya lampu yang berada dalam ruangan malah memperjelas lekuk tubuh yang terbalut baju serba minim. Seorang lelaki menunjukkan padaku kisaran harga kencan. Mulai harga tukang becak
sampai Big Bos. Long
time atau short time—Amboi,
semua ada harganya!
Aku pun duduk disebuah caffe
dangdut—sebagai kaum udik di lingkungan seperti ini, aku menikmati secangkir
kopi dan melewatkan isi botol-botol bergambar bintang. Pertemuan antara rasa
pahit dan lembut manisnya susu seperti tak pernah ada pahitnya kopi—semuanya
manis. Terlebih berada dalam situasi kesibukan anak manusia yang mencari
kesenangan. Ku lihat seorang pria setengah baya membawa dua orang
biduan—direnteng sekaligus. Dan yang pasti itu bukan istrinya. Samar-samar
disebelahku seorang pria melolong dengan congkak karena baru selesai menggagahi
3 orang PSK sejak dari tadi sore. Ia merasa bangga sebab sepanjang hidupnya
inilah puncak tertinggi dirinya sebagai pejantan. Aku menabur senyum sambil
memesan es teh.
Rasanya, tak bisa dipungkiri kalau aku
tidak tergoda pada wanita belasan tahun yang sedari tadi berada diberang meja.
Tiap kali aku menolehnya, ia menggeser ujung lidah dibibirnya ke kiri dan kanan
dan menggeser cara duduknya mirip ayam selesai bertelor—inilah jurus penggoda
lelaki normal. Namun bukan itu yang ingin aku cari. Aku hanya ingin mengetahui
seperti apa lokalisasi terbesar di Asia Tenggara ini. Setidaknya aku bisa
mengetahui bahwa sebagian besar masalah pelacuran bukan hanya ajang pelepasan
nafsu—melainkan faktor ekonomi dan pendidikan ; kemiskinan dan kebodohan.
Agh. Seorang teman menghujadku akibat
telah bermain ke kandang perzinahan ini—katanya membangunkan nafsu dan agama
melarang keras. Mengapa kita begitu manafik dengan diri sendiri. Mengatakan
dosa dengan begitu gampang. Namun, diam-diam terkadang menikmati film porno
begitu mesra. PSK juga manusia dan bukan keinginan mereka terjebak dalam
pekerjaan kotor ini—setidaknya mereka jujur pada mereka sendiri dan mereka
butuh makan. Terlebih mereka juga warga negara yang punya hak dan kewajiban
yang sama dengan masyarakat yang lain. Dan diamnya kaum agamawan terhadap
masalah ini jauh lebih berdosa—sebab tak jarang dalam beberapa razia mereka
digiring bak binatang najis. Kawan, mereka itu bekerja bukan menyelewengkan
uang rakyat. Dan untuk mengetahui berbuat dosa itu sesuatu yang dilarang
bukankah kita harus mengetahui alasannya—untuk mengetahui cokelat itu manis,
maka makanlah cokelat!
Aku tak bisa
memastikan seberapa banyak PSK yang bertaburan di Lokalisasi ini. Dan untuk memastikannya tak segampang
membalikkan telapak jika tanpa tujuan yang jelas. Ada banyak prosedur berlapis yang harus dihadapi—tapi menurut kabar yang beredar ada
sekitar 8000 orang PSK meski aku sendiri bingung dengan sumber datanya. Menurut
sepupuku, Dolly yang sekarang tak
sebesar beberapa tahun silam. Hal ini
terjadi karena pemerintah Kota Surabaya mulai mengetat dalam masalah
lokalisasi ini—berbeda dengan Pasar Kembang (Sarkem) di jogja yang
kadang masih mangkal dipinggir jalan. Hal ini juga terjadi di Manado yang
sebagian masih tetap bermain di pinggir jalan—jakarta juga demikian.
Prostitusi, sebagai bisnis tertua
sepanjang sejarah umat manusia selayaknya di lokalisasikan saja— Pandangan lokalisasi bisnis prostitusi ini
pasti akan mendapatkan banyak kecaman dari beberapa kalangan. Dalam beberapa
kasus yang saya temui sebagian PSK yang dikejar oleh Kantib atau ormas penegak syariat
menuju kampung yang awalnya tak pernah mengenal bisnis esek-esek. Akibatnya moral
masyarakat yang mulanya terjaga mengendor dan mulai melirik budaya dan bisnis ini—jelas secara keuntungan materi
cukup menjanjikan. Alasan penolakan terhadap lokalisasi prostitusi akan senada
dengan penolakan lokalisasi perjudian—2 bisnis ini akan menjadi hujatan yang
luar biasa dari kaum agamawan. Dan dalam ajaran manapun jelas melarang [titik
tak berkoma]. Lantas apakah mereka yang berzina dan berjudi tidak beragama?
Ataukah pesan dari ajaran agama tak sampai pada mereka?
Masalah
lokalisasi ini sudah bisa dihadapi Malaysia dan bahkan
melegalkan dengan menjadikan Genting Island sebagai
tempat untuk lokalisasi perjudian dan secara tidak langsung prostitusi juga
mengekor. Meski
disisi lain orang yang beragama islam dilarang untuk masuk atau bahkan
mendekatinya—hal seperti ini juga dilakukan Singapura yang melegalisasi bisnis
perjudian. Perlu diketahui, menurut sejumlah pihak taipan judi kelas kakap
negeri ini berjudi ke Singapura dan Malaysia atau bahkan ke Las Vegas. Dan
tentunya bukan dengan taruhan kelas becak—besarnya pajak juga akan menambah
pendapatan negara tersebut.
Aku tak bisa membayangkan jika
Lokalisasi Dolly ini di tutup. Mau kemanakah para kupu-kupu malam ini, tukang
becak, tukang parkir, germo, asisten germo, calo, penyanyi dangdut, pelayan
salon plus-plus, padagang
kondom, pengamen, pedagang kaki lima, pemilik wisma, preman—dan lelaki genit.
Ada banyak pihak yang menggantungkan hidup mereka pada bisnis penyenang ini.
Dalam beberapa kasus penutupan lokalisasi memang cukup efektif seperti yang
terjadi dengan Saritem di Jawa Barat. Sekarang sudah ada pesantren yang bisa mendidik
warga yang dahulu bergelut dalam bisnis haram ini. Tapi catatan lain maraknya
penjajak nafsu di daerah puncak dan jalur utara/selatan perlu menjadi
pertimbangan—barangkali mereka alumni Saritem.
Aroma kopi ku pun perlahan
memudar. Berganti aroma parfum yang kian menyengat. Dominan manisnya susu yang
bercampur kopi semakin menghilangkan tanda bahwa orang yang suka minum kopi
tanpa susu menandakan tipikal orang yang jalan hidupnya keras—sepahit rasa
kopi. Kopi susu adalah cerminan lingkungan lokalisasi ini—senang, santai,
manis, nikmat dan minim resiko. Asoy!
2 comments:
Mantap cak
Makasih mas. :))
Posting Komentar