Gaji Kepala Tiga

Barangkali, bagi sebagian orang bekerja menjadi bankir itu profesi: enak, adem dan gaji gede. Tentu saja, hal ini tidak sepenuhnya salah juga tidak sepenuhnya benar. Sebab setiap orang memiliki penilaian tersendiri terhadap pekerjaan dan profesi orang lain. Hanya saja, terkadang hal tersebut terbilang tidak adil, karena baru berangkat dari sudut pandang si penilai, bukan pada si pelaku terhadap profesi tersebut.

Sebagai seorang suami yang memiliki istri berprofesi bankir. Rasa-rasanya, penilaian terhadap seorang bankir merupakan profesi yang enak, adem dan gaji gede cenderung agak berlebihan. Bahkan pedagang sayur yang biasa mampir ke rumah setiap pagi, berpenilaian bahwa gaji istri saya sudah kepala tiga. Entah, dari mana si ibu pedagang sayur mendapatkan informasi salah tersebut. Apalagi, selama ini, kami tidak pernah memberi tahu berapa gaji kami berdua—termasuk kepada keluarga.
Dalam beberapa kesempatan, istri saya pun terkadang mengeluhkan atas profesinya tersebut. Tidak enaknya menjadi bankir terkadang harus pulang malam. Berangkat kerja dalam keadaan Luna—anak kami—belum bangun dan pulang kerja Luna sudah tidur. Hal tersebut istri alami saat usia Luna masih dibawah satu tahun. Tentu, hal tersebut membuat pedih perasaan istri saya sebagai seorang ibu muda. Sementara, bila dibandingkan tempat kerjanya yang full berpendingin ruangan dengan sawah yang lapang. Tentu saja, hal tersebut bukan pembanding yang adil. Maka, pada prinsipnya dimanapun tempat bekerja sepanjang dilakukan dengan ikhlas tetap saja menjadi adem—hatinya. Lebih-lebih, bekerja dalam ruangan berpending bukanlah tempat yang sehat dalam waktu lama dan panjang. 

Gaji selalu ditentukan berdasarkan jenis pekerjaan, tingkat risiko, masa kerja dan kebutuhan. Gaji bankir memang terbilang lumayan karena menghadapi tingkat risiko yang tidak kecil. Tepat dua hari lalu istri saya mengabari saya ada kekurangan selisih kas pada transaksi hari itu sebanyak 3 juta rupiah. Bila kekurangan tersebut tidak ditemukan—entah karena sistem yang error atau kehilangan. Risikonya istri saya harus mengganti kekurangan tersebut sebagaimana pernah ia alami waktu awal-awal menjadi teller. Dan tentu saja, uang 3 juta rupiah bagi kami bukan uang sedikit, apalagi hendak menjelang lebaran. Tetapi, saya selalu berusaha untuk meyakinkan bahwa hal tersebut merupakan cobaan Allah atas profesionalismenya sebagai seorang bankir. Bila apa yang terjadi pada pekerjaannya memiliki konsekuensi tertentu, maka harus dihadapi dengan segala bentuk macam risikonya.

Terus masih mau mengatakan bahwa menjadi bankir itu profesi: enak, adem dan gaji gede? Semua kembali kepada kita sendiri memberi penilaian dan mensyukurinya.

0 komentar: