Tradisi pengenalan Kampus—dalam tiap institusi pendidikan punya tradisinya sendiri. Ada yang cukup dengan berkeliling kampusnya yang megah. Adapula penuh dengan rentetan kegiatan—yang pada dasarnya, bagaimana seorang mahasiswa baru bangga dengan almamaternya.
Barangkali, tidak sedikit
diantara kita yang mengelus dada—manakala, ada sebagian acara pengenalan kampus
justru menjadi perpeloncoan yang memakan korban tewas. Atau bahkan kasus
terbaru yang dipandang sebagai penistaan terhadap agama—hanya karena menyelipkan
tulisan “TUHAN MEMBUSUK”. Maka, silang pendapat pun tidak bisa dielakkan. Bagi mereka
yang yang tidak terima dipandang penistaan, bagi yang menulis sebagai bagian
dari rekonstruksi.
Penjelasan dan permintaan lembaga
pun telah disampaikan. Bahwa sebenarnya dalam dalam tulisan yang agak ganjal
tersebut—kata TUHAN, bukan dimaksudkan untuk Tuhan (sebut: Allah), melainkan “tuhan”
dengan menggunakan “t” kecil—yang menggambarkan penuhanan yang terhadap apa
yang ada dalam diri—nafsu yang mengalahkan dan mempermalukan Tuhan yang
sebenarnya. Dan secara kelembagaan hal tersebut sudah ditangani secara khusus
oleh kampus yang bersangkutan.
Bagaimana sikap kita?
Semua kembali pada bathin dan
keimanan kita sendiri-sendiri. Masih hendak mau meributkan—ataukah saling merefleksikan
diri terhadap keimanan kita terhadap “Tuhan” yang sesungguhnya. Jangan-jangan
kita hanya suka dan pintar berdebat dengan persoalan problemik. Namun, gagal
menciptakan “kedamaian” sebagai insan
beragama. Tidak perlu kita merunyamkan permasalahan yang pada dasarnya sudah
bisa diselesaikan secara kerumahtanggaan pihak yang bersangkutan. Apalagi,
memberikan lebel-lebel tertentu terhadap kampus—sebagai lembaga pendidikan yang mencerahkan. Biarkan kampus punya kebebasan akademik dan mendidik para wargannya: secara intelektual dan bertanggung jawab, tanpa perlu diintervensi.
Ah, patutkah kita menjudge pihak
lain begini-begitu. Dan seakan kita sendiri tanpa celah—dan kesalahan, yang sebenarnya
bisa jadi jauh “rusak” dan memberikan dampak sistemik terhadap diri dan alam
sekitar. Barangkali, adanya kekeliruan—ataupun kesalahan dalam memahami
agama sebagai keyakinan adalah bagian proses yang harus dijalani, sebagaimana
dialami Ibrahim dalam mencari keberadaan Tuhan-nya.
Ruang damai dan kesejukan
berperilaku, tidak perlu dikalahkan oleh ego klaim “merasa paling benar”. Hingga
saling menimbulkan kecurigaan, perpecahan dan permusuhan. Sebab, klaim “merasa
paling benar” bisa saja bukan berasal dari kedalaman hati dan kemurnian jiwa,
melainkan lahir dari nafsu amarah kekesalan—yang sebenarnya tak ada bedanya
dengan yang sedang dihujad.
...Tahukah engkau, siapa yang mendustakan Tuhannya. Yaitu, mereka yang
menjadikan nafsu sebagai tuhannya..—kira-kira begitu kata Tuhan yang
sebenarnya dalam kitab suci.
Semua kembali pada bathin dan
keimanan kita sendiri-sendiri.
0 comments:
Posting Komentar