Makna Pertemuan


Sabtu pagi kemarin, saya bersama istri ke Jogja untuk menemui saudara yang akan berangkat keluar negeri. Acara ini sebenarnya surah kami rancang dari sebulan lalu—sekalipun, sebenarnya pada saat yang bersamaan, istri saya masih punya segudang pekerjaan yang ia harus diselesaikan di kantor. Bahkan malam harinya, waktu saya menjemputnya sepulang dari Purwokerto—ia masih bersemangat berkelahi dengan pekerjaannya hingga jam menunjukkan angka 20.46. Setelah itu, kami pun baru bisa pulang bersama ke rumah. 

Sebagai keluarga yang tidak normal—seperti keluarga pada umumnya, yang bisa bersama tiap hari. Maka, weekend adalah hari yang selalu kami tunggu-tunggu. Bahkan ketidaksabaran menunggunya melebihi waktu turunnya gaji diakhir dan awal bulan. Sebab itu, kami selalu menyebut kebersamaan sebagai sebuah pertemuan. Bukan lagi kebersamaan. Bagi kami—pertemuan selalu memiliki perasaannya sendiri. Ia bukan sekadar perjumpaan tatap mula belaka yang berakhir dengan jabat dan lambaian tangan, melainkan berkelindannya berbagai perasaan yang lebih dialektis, serta kerja perasaan kami masing-masing. Itu sebabnya, tiap momentum pertemuan dalam sebuah hubungan—mendatangkan debar jantung yang lebih cepat.

“Yah, besok empat bulan pernikahan kita” ucap istri saya saat berada dalam travel perjalanan menuju Jogja.

“Oh, Iya? Ayah baru ingat. Ngomong-ngomong, mau hadiah apa, Nda?” jawab saya sigap, pura-pura tidak tahu.

“Cukup doa aja” ucap istri saya, sambil memegang erat tangan kanan saya. Ia tidak tampak seperti biasanya yang minta makan ditempat—yang menjajal makanan kesukaannya. Saya paham maksud permintaan doa istri saya—yakni, hadirnya kembali penyejuk mata dalam keluarga mungil kami. Setelah dua bulan lalu Allah memanggilnya di tengah kebahagiaan kami. Kami telah ikhlas...

“Yuk, berdoa sambil pejamkan mata” ajak saya. Kami pun berdoa bersama dalam bathin masing-masing. Bermunajat bersama—mendekatkan jiwa pada Tuhan semesta alam. Jauh lebih dekat. Konon, doa para kaum musafir itu cepat diijabahi.  

Setibanya di Jogja—selain kota ini tambah macet dan panas, juga makin ramai dengan hotel baru. Entahlah, apa mungkin untuk sepuluh tahun kedepan—kota ini lmasih untuk disebut sebagai kota berhati nyaman. Huf! Malam harinya kami pun kelayapan di Malioboro, sembari mengingat kenangan masa-masa kuliah dulu. 

 
Anak kecil yang bersama kami ini: namanya Averoes Rizkia Nurinda Khusni (Verin) keponakan saya, usianya baru 20 bulan. Saking akrabnya Verin dengan saya, ia memanggil saya “Om Ayah”. 

Verin tidak suka dengan suara bising. Saat itu ada konser Vierratale di Malioboro Mall. Ia memeluk saya erat bahkan enggan makan Pizza, terutama saat Vierratale menyanyikan lagu adalannya “Seandainya”, para penonton yang rata-rata ABG berteriak memanggil “Kevinn!!” keyboardis Vierratale yang cakep itu . Barangkali, Verin tidak suka dengan musik anak remaja yang—mellow, galau dan energik. Sekalipun, namanya sama-sama berawal dari huruf “V” :)

0 komentar: