Ikatan Yang Dihina



Tiap kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, yang selanjutnya aku sebut—Ikatan, memiliki momentum dan dinamika sendiri dalam berkader. Barangkali, aku menjadi satu diantara puluhan kader yang melihat secara mata telanjang adanya penghinaan terhadap ikatan. Entahlah, mengapa hal tersebut bisa terjadi, aku sendiri tidak mengetahuinya. Alasan yang paling masuk akal, karena menjelang pemilihan Presiden Kampus—yang kian memanas.

Ceritanya, seminggu lalu setelah selesainya musim kampanye atau masa tenang. Beberapa kader organisasi lain mempredeli atribut Ikatan yang selama ini dipasang pimpinan Korkom. Melihat kelakuan tersebut, secara spontan aku bersama teman-teman kader Ikatan menghampiri mereka. Kami tidak terima dengan kelakuan mereka yang dengan seenaknya mempredeli atribut organisasi kami. 

“Hey bung. Maksudnya, apa kalian memcabut atribut dan bendera kami?” tanya temanku. Sentak gerombolan organisasi lain yang jumlah sekitar lima belas orang itu berhenti dan mengarahkan pandangannya kearah kami.

“Memangnya kenapa?” sahut salah seorang anak yang memegang bendera ikatan. 

“Memangnya kenapa gimana? Kalian sadar nggak telah mencabut atribut organisasi kami!” jawabku dengan nada yang tidak kalah berang. 

“Ini kan masa tenang. Semua atribut dan pelengkapan apapun harus steril dari kampus ini. Apa yang kami lakukan ini untuk memberikan kebebasan terhadap mahasiswa supaya memberikan pilihannya, tanpa ada intervensi dari pihak mana pun.” 

“Oh, tidak bisa bung. Ini bukan steril atau tidaknya. Keberadaan ikatan sudah menjadi keharusan di kampus ini. Semuanya sudah tertuang dalam Kaedah kampus ini” belaku

“Tidak ada keistimewaan apapun bagi organisasi dalam satu kampus. Semua harus diperlakukan sama. Kami disini juga membayar, kuliah dan berorganisasi. Jadi posisi kita sama, tidak ada perbedaan sesama mahasiswa” jawab salah satu diantara mereka, sambil melemparkan  bendera Ikatan ke arah kami.

Sentak tanpa diketahui siapa yang memulai. Perkelahian pun tidak bisa dihindari. Kami pun saling adu jotos, hingga skalanya semakin membesar—akibat keterlibatan masing-masing kader diantara dua organisasi. Ya! Perkelahian ini menjadi kerusuhan karena semakin banyaknya massa yang terlibat. Nyaris tidak ada yang mau mengakhiri kerusuhan ini sebab masing-masing pihak menyatakan diri sebagai pihak yang paling benar. Bahkan kantin yang selama ini menjadi area netral pun menjadi korban pengrusakan. 

Kerusuhan baru bisa berhenti, setelah satu pleton pihak kepolisian masuk kedalam kampus untuk meredakan kerusuhan. Sekalipun kerusuhan ini tidak memakan korban jiwa, namun kantin sudah tidak beraturan bentuknya—sana sini serba berantakan. Bahkan wajah kami—baik wajahku dan beberapa kader Ikatan juga kader organisasi lain dari musuh kami itupun mengalami lebam dimuka dan luka dibeberapa anggota tubuh. Apalagi, cara aparat membubarkan dan mengumpulkan yang tidak kalah bringasnya dari kami. 

Usai arapat mampu mengamankan aksi kerusuhan ini. Kami pun dikumpulkan di lapangan kampus yang nyaris memenuhi setengah lapangan. Maklum saja, kampus kami dikelilingi oleh pagar tembok, sehingga pintu kelar-masuk mahasiswa hanya ada dipintu utama dan pintu belakang kampus. Jadi nyaris kami—yang melakukan kerusuhan tidak ada yang keluar ataupun ada tambahan massa dari luar kampus. 

Satu persatu, kami dipanggil untuk dimintai keterangan oleh pihak aparat dan kampus. Tidak terkecuali, salah satu senior kami di ikatan—yang kebetulan menjadi pimpinan Kampus. Dan aku orang kelima yang dimintai keterangan, aku pun menjelaskan duduk permasalahan yang menjadi pemicu kerusuhan itu terjadi. Sembari berharap mendapat respon positif dan dukungan dari senior—yang menjabat Rektor bagian kemahasiswaan itu. 

“Kalian jadi kader Ikatan, kok bodoh sekali!” ketus seniorku. Mendengar tanggapan dari seniorku itu, seakan luka lebam yang ada dipelipis dan pipiku disiram air garam—perih.

“Maksudnya, Bang?” sanggahku. Hilang sudah panggilan bapak—yang memposisikan dirinya sebagai pimpinan kampus. Kata abang sudah memasuki wilayah senior-junior, dimana kedudukan kami akan sama sebagai kader.

“Iya. Kalian semua itu bodoh!” makin ketus omongan seniorku itu. Seakan tidak mencerminkan ia sebagai seorang penganyom maupun sebagai kader sesama Ikatan.

Aku pun memutuskan untuk meninggalkan proses pemberian keterangan tersebut. Sebab alasan yang aku jelaskan sama dengan yang dijelaskan kader yang lain—dan seniorku itu, tidak hanya mengatakan kata-kata “bodoh” cuma padaku saja, melainkan juga pada kader Ikatan yang lain. Kami tidak habis pikir—seseorang yang selama ini kami segani dan panuhi, hanya memberikan ocehan murahan yang selayaknya tidak patut keluar dari mulut keseniorannya. 

Pasca kejadian itu, kami semua yang terlibat dalam kerusuhan—baik kader Ikatan dan organisasi lain yang jadi rival kami mendapat surat peringatan terakhir dari kampus. Yang isinya, jika kami melakukan tindakan serupa dikemudian hari akan dikeluarkan tanpa syarat apapun. Bahkan tidak berhenti disitu saja: kami pun divakumkan mengikuti proses perkuliahan dan organisasi selama satu semester lamanya. Sentak mereka yang tidak terima dengan perlakuan tersebut memilih mendemo kampus secara besar-besaran—sekalipun hasilnya, point terakhir tentang hukuman pengvakuman kuliah dan organisasi dicabut. 

Sedangkan aku sendiri tidak melakukan apa-apa pasca kejadian kerusuhan tersebut—termasuk tidak melakukan demontrasi. Aku pasrah menerima semua keputusan yang dikeluarkan pihak kampus, yang sebenarnya juga merupakan keputusan yang dikeluarkan oleh seniorku sendiri. Dan justru semakin menampakkan bahwa: apa yang rasa dan lakukan aku perjuangkan selama ini tidak ada gunanya—semua terbilang sia-sia belaka. 

Dalam bathinku yang terus bergejolak—maka, untuk apa aku mengangungkan, menjaga dan merawat identitas Ikatan, kalau toh kenyataannya seniorku sendiri yang menyalahinya terlebih dahulu. Barangkali, apakah ini yang disebut gerakan kaum utopis—yang tidak jelas entah berantah apa yang harus diperjuangkan. Aku pun memilih berdiam diri dengan banyak membaca di Perpus, sembari mengobati luka lebam dan omongan senior—yang tidak kalah murahannya itu. 

“Kurang ajar. Benar-benar ngajak perang ini” Ucap si Ucup—kawan karib berprosesku selama ini di Ikatan. Ia menghampiriku di Perpus dengan keadaan tergesa-gesa. 

“Ada apa e, Cup. Kayak dikejar setan aja kamu ini”

“Anuuu…” ucap Ucup yang tak kuat melanjutkan pembicaraannya karena nafasnya belum terkumpul akibat berlari barusan.

“Anuu.. Anuuu.. Ada apa e?”

“Stand pendaftaran Ikatan di lembari tai (kotoran manusia). Sama ada postingan anak foto selfie di Facebook sambil menduduki bendera Ikatan. Ini lebih parah dari yang kemarin…” jelas Ucup dengan nafas yang ngos-ngosan. Ia pun menjelaskan kronologi apa yang ia ketahui. Termasuk tadi pagi, ia bersama beberapa pimpinan Korkom sudah mendatangi pimpinan kampus untuk memberikan laporan tidak menyenangkan terhadap Ikatan tersebut. 

“Tahu nggak, apa respon senior yang jadi Rektor kemahasiswaan itu?” ucap Ucup, yang malah membuatku jadi penasaran.

“Iya, gimana?”

“Ih, masih penasaran aja manusia ngambekan ini”

“Ah, kamu ini, Cup” ucapku sambil merangkul leher Ucup dengan lenganku hingga ia pun meraung kesakitan.

“Oke.. Oke..”

“Beliau minta kasus ini diselidiki terlebih dahulu” jawab Ucup dengan nada yang melemah minim canda. Aku pun melepaskan genggaman lenganku dari leher sahabat karibku itu.

“Kampret!” ucapku spontan sambil menggebrak meja. Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku pun menuju gedung rektorat sambil ditemani Ucup. Rasa kesalku pada seniorku, kini sudah sampai ke ubun-ubun. Hal seperti ini tidak bisa aku biarkan begitu saja. 

Apakah ini sikap seorang senior Ikatan mendidik para juniornya. Apakah ini bentuk keperpihakan senior yang sudah mendapatkan posisi strategis hingga ia melupakan: apa dan siapa yang mendidiknya hingga ia menjadi pimpinan. Barangkali, seniorku itu telah kehilangan arah dan tujuannya sebagai seorang kader Ikatan. Sikapnya, kini telah berubah dengan beragam transaksi dan fasilitas zona aman sebagai orang penting ketiga di kampus megah ini. Aku pun memasuki ruang kerjanya tanpa perlu melalui alur protokoler.

“Saya akan berbicara dengan bapak sebagai sesama kader Ikatan. Sebagai pertalian alamiah Abang dan Adik dalam tubuh Ikatan” ucapku.

“Iya, silahkan. Bukankah memang begitu seharusnya” Jawab seniorku dengan nadanya yang kalem—yang nyaris tidak pernah menampakkan perangai marahnya.

“Kemarin Abang bilang, kita ini kader bodoh. Tadi pagi, Abang bilang kita harus menyelidiki terlebih dahulu siapa yang telah melempar kotoran dan mempantati bendera Ikatan. Ini penistaan Bang. Jelas pelakunya mereka yang kemarin itu!” 

“Soal kerusuhan kemarin. Apa sebenarnya kamu perjuangkan?” tanya seniorku itu padaku—seakan melupakan Ucup yang duduk disebelahku.

“Ya, karena anak organisasi lain itu telah mempredeli bendera Ikatan. Jelas itu merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Apalagi, sampai dilempar ke kita. Itu namanya penghinaan terhadap simbol Ikatan, Bang”

“Oke. Apa benar dengan begitu kamu merasa terhina dengan keikatanmu? Bukankah cara kalian yang menegur mereka yang mempredeli atribut itu—juga dalam keadaan emosional. Jika ada perbuatan seperti itu, harusnya dilakukan dengan cara komunikatif melalui cara-cara dialog tanpa perlu berujung pada kerusuhan”

“Ya, itu Bang. Mereka yang memancing dengan melemparkan bendera itu kearah kami”

“Oke. Kalau itu yang menjadi alasan kalian, silahkan. Tapi, kalian tahu tidak. Gara-gara ulah kerusuhan kemarin itu. Ada tujuh kapling kantin yang perlu direhap ulang dan ada banyak dagangan pedagang kantin yang rusak dan hilang. Terus siapa yang akan bertanggung jawab terhadap semua itu?. Dan perlu kalian tahu sebagian besar para pedagang kantin itu merupakan dhuafa yang diberdayakan pihak kampus”

“Sikap emosional dan menang sendiri. Tidak saja membuat kehidupan cara berorganisasi kalian menjadi lebih barbar dan eksklusif, tapi juga gampang tersulut akibat persoalan sepele. Celakanya, bahkan minim analisa dan penalaran. Cara-cara seperti itu bukan sikap seorang seorang aktivis atau pembela gerakan Ikatan yang memberikan pencerahan dan kedamaian dalam berperilaku dan berpikir dalam situasi apapun—termasuk sekalipun pada saat tertindas untuk melawan. Harusnya, kalian merefleksikan ulang mana yang disebut kompetitor, mana pula musuh. Organisasi yang mencopot atribut kemarin itu kompetitor—organisasi saling sama-sama berlomba untuk maju bersama dalam mengembangkan diri para kadernya. Musuh kalian itu kebodohan, kemiskinan/ketidakberdayaan, korupsi—dan yang lebih luas kapitalisme tidak saja membuat kalian menjadi bodoh dan emosional dalam menjalani kehidupan”

“Jadikan kampus sebagai Indonesia mini—dimana masyarakatnya keberagaman dan penuh perbedaan. Jika, hanya karena perbedaan pilihan dan pandangan politik menjadi saling hujad dan bahkan adu jotos. Seperti yang kalian saksikan dalam ritual Pemilu tiap lima tahun itu. Kalau kalian tidak bisa menjadikan kampus sebagai media membangun peradaban dan masa depan. Dan berorganisasi tidak bisa menjadi media melebur ego dan kepentingan diri sendiri. Serta dibiarkan secara berlarut-larut, kedepan bisa dipastikan tidak akan pernah ada lagi masa depan di negeri ini. Sebab semua hal harus didebatkan dan diributkan. Sekali lagi, jangan bodoh mengambil keputusan atas masalah, apalagi berujung dengan kerusuhan. Saya ada rapat dan keperluan di luar kota, kita lanjutkan lain kali saja” ujar seniorku, tanpa memberiku jeda untuk menyanggah. Pertemuan singkat ini tidak saja membuatku menundukkan kepala—tapi, juga membuatkan merasa malu atas sikapku kemarin itu. 

“Kapan, bisa ketemu lagi Bang? Untuk masalah yang kedua tadi?”

“Minggu depan. Ajak sekalian anak-anak di tempat warung soto biasanya itu..” jawab seniorku sambil membereskan tasnya.

“Di soto Jancuk Bang?”

“Iya, Jancuk!”

“Eh, iya. Di warung soto Jancuk” ucap seniorku sambil bercanda—ia seakan tahu bagaimana mencairkan suasana dengan cara bercanda. Soto yang ia maksud tadi sudah menjadi langganannya—soto Surabaya, yang warungnya bernama Soto Jancuk. Aneh sekali memang!

Dengan penuh kecurigaan beberapa kader Ikatan melakukan investigasi terhadap kasus kedua yang berkaitan dengan pelemparan tai dan foto menduduki bendera Ikatan. Bermodal sikap curiga dan alat bukti seadanya, mereka melakukan investasi yang malah seperti melakukan perjalanan tanpa peta dan tujuan. Termasuk melakukan interogasi terhadap beberapa kader organisasi lain—yang sempat dicurigai sebagai pelaku. Saat itu sempat terjadi adu urat syaraf, sekalipun tidak terjadi kerusuhan. 

Hasil dari investigasi tersebut hanya menghasilkan pelaku yang menduduki bendera Ikatan. Ternyata pelakunya merupakan kader baru Ikatan, bukan kader organisasi lain. Awalnya, kami sempat tidak percaya. Namun, setelah dilakukan kroscek terhadap kader yang bersangkutan—hal tersebut memang tindakan dirinya yang dilakukan beberapa bulan lalu tanpa kesengajaan dan ketidaktahuan dalam sebuah acara IMM. Dan maksud mengunggah foto tersebut ke Facebook, semata-mata hanya untuk eksistensi diri (selfie) dan romantisme bersama kader yang lain. Ia pun meminta maaf dan mendelete foto tersebut dari akun Facebooknya.

“Tindakakan konyol!” keluh Ucup. 

**
Hari pun beranjak siang. Beberapa pimpinan Korkom sudah berkumpul semua di meja panjang telah disediakan warung soto Jancuk di daerah Sonosewu. Kira-kira jumlah kami ada sepuluh orang. Tak lama berselang senior kami pun datang, yang sebenarnya rumahnya  tidak jauh dari warung ini. Ia pun duduk ditengah kami—kami pun jadi agak ringkuh.

“Eh, gimana kok pelakunya malah kader sendiri?” singgung senior kami tersebut memulai pertanyaan.

“Iya, Bang. Dia anak baru. Jadi belum tahu apa-apa” jawab Ucup

“Owh.. Ayo silahkan pesan” ucap senior yang agak nyintrik itu untuk segera memesan soto, sambil mengeluarkan notebook dari dalam tasnya. Kami pun diminta menjelaskan mengenai hasil investigasi kasus kedua—sekalipun, nyatanya kami hanya bisa menyelesaikan satu kasus yang sudah diketahuinya. Jujur saja, kami merasa sangat malu menceritakan aib kami sendiri—apalagi hal tersebut berkaitan dengan persoalan etika moral sebagai seorang kader.

Seakan menyadari kegagapan kami dalam menyelesaikan persoalan dan mengerti perasaan kami. Senior kami tersebut, memutar sebuah video yang menayangkan tentang stand Ikatan yang ia peroleh dari CCTV gedung rektorat yang tak jauh dari stand Ikatan waktu kejadian. Pada menit ke-48 terlihat seorang laki-laki agak kumal dengan penampilan urakan berhenti dan duduk dengan menjongkok di stand kami.

“Ngapain orang itu di stand malam-malam” celetuk si Ucup. Tanpa dipedulikan kader yang lain yang juga asik menonton.

Tayangan video itupun terus belanjut. Kira-kira menit ke-56, laki-laki yang duduk di Stand Ikatan dengan cara menjongkok tadi itupun berdiri. Dan menendang-nendang tempat yang ia duduki—ia seperti ingin mengusir sesuatu yang habis didudukinya. Ternyata, menurut penuturan sang senior—laki-laki tersebut adalah orang gila yang masuk kampus tanpa sepengetahuan penjaga gerbang. Jadi, adanya tai (kotoran manusia) di stand Ikatan bukan disebabkan oleh kader organisasi lain, yang tidak senang dengan keberadaan Ikatan di kampus kami. Melainkan orang gila—seperti yang ada dalam tayangan video CCTV tersebut.

“Jiann..cukk!” ucap kotor si Ucup.

“Husshh!!” tegur kami serentak. Kami pun tertawa—menertawakan kebodohan kami sendiri yang cenderung gagap menyelesaikan persoalan. Kami menjadi manusia reaktif yang kesekian kalinya dihadapan senior—yang sempat kami ragukan keberpihakannya.

“Nah, sekarang kalian sudah tahu semuanya. Segala sesuatu yang didasarkan pada sikap kecurigaan dan luapan emosi, tanpa data valid hanya menjatuhkan diri kita sendiri. Bayangkan, gimana perasaan kader organisasi lain yang telah kalian interogasi itu? bukankah hal itu sama dengan fitnah sesama organisasi gerakan?. Atau mungkin lebih tepatnya—masalah yang belakangan ini hadir dalam tubuh Ikatan itu, sebenarnya lahir dari ulah kita sendiri. Entah, akibat ketidakpedulian, kesoktahuan, tindakan reaktif, merasa besar jadi tuan rumah di kampus sendiri—hingga ketidakpahaman kita terhadap esensi perjuangan Ikatan ini” ujar senior kami—yang seperti menampar muka kami sendiri. 

Lebih jauh, kami yang sudah menjadi pimpinan Korkom—kembali harus menerima tamparan ucapan. Saat senior kami itu menanyakan tentang maksud dan tujuan Ikatan, dan nyaris tidak ada diantara kami yang hapal secara redaksional. Ditanya ideologi persyarikatan, tak seorang pun mengetahuinya. Dirusuh menjelaskan tentang Nilai Dasar Ikatan, kami tidak bisa menyebutkan jumlahnya, apalagi untuk menjelaskannya. Bahkan celakanya lagi—disuruh menyanyikan Mars Ikatan secara bergilir satu-satu, hampir semuanya tidak hapal.

“Lantas kalian bisa apa? Hal paling mendasar dalam tubuh Ikatan ini pun kalian tidak hapal dan mengetahuinya. Bagaimana mau menggerakkan dan memperjuangkannya: jangan-jangan apa yang kita perjuangkan selama ini hanya sebuah gium perjuangan yang minim makna—kering!. Tidak perlu menyalahkan pihak lain, kalau mereka menuntut hal yang sama di kampus kita itu. Toh, pada kenyataanya—kita sendiri tidak pernah acuh terhadap diri dan isensi mengapa Ikatan ini didirikan. Atau bahkan kita tidak pernah menyiapkan diri sebagai penggerak, pelopor dan penyempurna sebagai kader persyarikatan. Kaidah perguruan tinggi yang mengatur keberadaan Ikatan—bukan secara merta hanya menjadikan kita sebagai anak emas yang manja. Tapi, tidak tahu menjaga rumah dan amanah besar kita sendiri”

“Pada suatu hari nanti. Ikatan ini akan dipimpin orang-orang yang tidak pernah melakukan perkaderan secara berjenjang. Tidak matang: baik secara leadership maupun perkaderannya. Fenomina itu bisa kalian lihat, dimana pimpinan pusat Ikatan dipimpin oleh mereka yang hanya selesai perkaderan dasar. Dan tanpa melalui perkaderan formal lanjutan dan kepemimpinan yang linier dibawahnya. Cara-cara seperti itu tak ubahnya merupakan bentuk penghinaan terhadap diri dan falsafah Ikatan—sebagai organisasi perkaderan. Oleh sebab itu, berakhlak mulia dalam berorganisasi, bermasyarakat dan berkader itu sebuah keharusan. Setidaknya, memahami dan mengamalkan kaidah yang berlaku dalam Ikatan. Bukan karena dasar suka dan tidak suka. Setuju dan tidak setuju—apalagi menang-kalah. Tapi, karena kesadaran revolusioner yang telah mengakar keras dalam hati, pikiran dan tindakan kita sebagai kader. Percayalah! Ikatan ini hanya bisa digerakkan oleh para kader yang tidak lagi memperhitungkan—untung rugi yang telah ia terima, melainkan karena tujuan untuk berkader yakni bagaimana memberi sebanyak mungkin: untuk sama-sama berkader dan berproses. Apa yang kita pikirkan, kita usahakan dan kita gerakkan—itulah yang akan petik” Ucap senior kami sembari menghela nafas panjang. Seakan ia menelan rasa khawatir yang cukup besar terhadap Ikatan ini.

“Intinya, berkader di Ikatan itu adalah proses berbuat baik seumur hidup. Berlomba-lomba dalam kebaikan pekerjaan kehidupan yang terus berlanjut dalam ruang dan waktu—dimanapun dan kapanpun” pungkas senior kami itu. Ia pun mengajak kami untuk menimati soto yang sedari tadi melambai untuk segera dimakan.

“Ayo, makan Cuk!” ajak senior kami pada Ucup yang sedari tadi masih bengung.

... kami pun sama-sama tertawa lepas.

0 comments: