Pada hari Kamis, 27 Agustus 2015, bertempat di RSIA Duta Mulia Majenang Cilacap telah lahir anak pertama kami secara operasi caesar berjenis kelamin perempuan dengan berat 2,8 kg dan panjang 48 cm.
Saya dan istri memberinya nama Revoluna Azalia Makhadi dan memanggilnya Luna. Revoluna diambil kata dasar revolusi sebagai sebuah perubahan yang berlangsung secara cepat dan mendasar dalam berbagai bidang. Disamping semangat aktivis saya yang masih menggebu-gebu. Azalia, yang dalam bahasa Ibrani bermakna yang dikasihani oleh Tuhan, sekaligus nama gabungan nama mertua dan istri. Makhadi, adalah gabungan dari nama saya.
Pemberian nama tersebut, hendak maksud berdoa agar supaya kelak ia bisa melakukan perubahan-perubahan yang disayangi Allah Swt, setidaknya untuk kami, keluarganya. Sebab, hidup adalah perjalanan yang menghendaki perubahan-perubahan cepat dan mendasar, baik besar ataupun kecil. Dan dalam pemahaman tertentu, perubahan dimaknai sebagai “proses” kehidupan yang tentunya, ingin selalu dicintai Tuhan semesta alam.
Awalnya kelahiran Luna direncanakan normal, namun karena posisi bayinya dalam kandungan miring, dimana kaki dan kepala masih silang, sehingga Dokter menyarankan supaya kelahirannya harus dilakukan secara caesar. Saya dan istri datang ke rumah sakit sehari sebelumnya dan membawa semua kebutuhan yang telah dipersiapkan oleh istri.
Tibalah detik-detik istri harus memasuki ruang operasi, ia meminta saya didoakan yang terbaik. Tentu saja, tanpa diminta pun saya pasti mendoakan yang terbaik untuk istri dan anak saya. Saya menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan tidak menentu, hanya doa dan dzikir yang terus mengalir dalam hati dan bibir saya. Hampir sekitar dua jam kami menunggu.
“Bayi atas nama ibu Zulaekha Lestari Putri” ujar seorang perawat sembari menggendong bayi. Ia pun meminta saya mengikutinya ke ruangan inkubasi bayi, sekalipun saya diminta berada di ruangan.
Deg! batin saya bergejolak. Saya merasa takut sekali terjadi apa-apa dengan anak dan istri saya. Apalagi, istri masih berada di ruang operasi dan saya meminta tolong supaya ibu mertua menunggu istri bila telah keluar.
“Tenang saja, Pak. Bayi Ibu dan Bapak sedikit kuning masih membutuhkan perawatan terlebih dahulu. Besok bila sudah memungkinkan bisa sambil dijemur” ujar si perawat.
Saya melihat Luna dari luar ruangan dan tanpa disuruh air mata mengalir begitu deras. Saya tidak bisa berkata apa-apa, sekalipun dada terasa sesak. Andai saja saya diperbolehkan, saya akan mendekap dan mencium Luna dengan penuh rasa bangga. Namun, apa daya semua harus tertunda sementara waktu. Saya tetap berdoa supaya semuanya baik-baik saja.
Dengan berat hati. Saya harus meninggalkan Luna tetap berada di ruangan inkubasi, saya harus menunggu istri kembali untuk memastikan ia juga baik-baik saja. Tidak lama setelah saya sampai di depan ruang operasi, istri saya pun keluar ruangan dengan keadaan berbaring dan diantar ke ruangan rawat inap.
“Anak kita gimana, Yah?” tanya istri saya setiba di ruangan. Semacam ia tidak memperdulikan rasa sakit yang dialaminya.
“Alhamdulillah, semua baik Nda. Sekarang masih di ruang inkubasi, karena bayinya kuning. Lagi ditangani sama perawat” jawab saya untuk menenangkan istri.
“Insya Allah, semua baik-baik saja” imbuh saya.
Saya pun mencium kening istri saya. Sembari mengucapkan terima kasih sudah berjuang sampai sejauh ini.
Kami tidak bisa menjelaskan bagaimana kegembiraan dan kebahagiaan saat Luna lahir, selain adalah bagaimana kami mengucap syukur terdalam. Alhamdulillah, ya Allah semua sehat dan sempurna.
Hari ini, tahun 2024. Luna genap berusia 9 tahun. Selamat ulang tahun ya Nak. Seluruh doa terbaik untukmu. 😘
---
Cerita dimuat dalam buku Keluarga Paruh Waktu Cinta Penuh Waktu (klik unduh)
0 comments:
Posting Komentar