Setelah 12 Tahun Tidak Bertemu

Setelah 12 tahun tidak bertemu. Kami bertemu dalam suasana dan rencana acara yang tidak disangka-sangka. Tahun 2010-2012 dalam organisasi kami pasangan ketua dan sekretaris, Hendro sebagai ketua dan saya sebagai sekretaris umum.

“Aku mau kamu jadi sekretarisku, Cak!. Nggak ada yang lain” ucap Hendro pada Musyda empat belas tahun lalu itu. Sementara saya sendiri adalah kader yang “tidak mendapat rekomendasi” dan terbuang karena perbedaan pilihan. Ibarat kata, Hendro sebagai ketua terpilih dan Mas Anang sebagai ketua demisioner yang mau memungut saya dengan segala kelakuannya.

Dalam berbagai dinamika itu. Saya menerima dan mendampingi Hendro sebagai sekretaris. Dari dia saya belajar menjadi orang kedua dan selalu belajar untuk tidak pernah menjadi orang pertama. Mulai mengelola internal organisasi, membangun suksesi aklamasi anak sultan menjadi ketua K*PI, diskusi lintas gerakan, hingga kalah dalam Muktamar. Kami lalui itu dengan cara tertawa.

Jelang berakhirnya masa jabatan. Kami pun memilih melakukan konsolidasi masing-masing. Ibaratnya, Hendro itu adalah klan Banteng yang selalu menang dan sulit dikalahkan, sementara saya sebagai Mulyono yang membutuhkan kemenangan untuk membangun kekuatan supaya klan-nya pernah menjadi ketua. Maka, saya pun berkonsolidasi dengan Ahid sebagai klan Gemoy, sebab selama berkader para senior kami selalu berbeda pandangan. Maka, jalan satu-satunya adalah berkoalisi dan tanpa memikirkan luka masa lalu. Tentunya itu tanpa sepengatahuan Hendro.  

Saya menciderai Hendro yang pernah memungut saya yang pernah dalam kondisi terendah. Hal tersebut harus saya lakukan supaya klan saya menang dan pernah menjadi ketua untuk pertama kalinya. Hasilnya pun terbukti menang!.

Setelah kejadian itu, hubungan saya dengan Hendro serasa hambar. Tidak seperti sebelumnya. Saya yang merasa segan dengan Hendro memilih untuk mengasingkan diri dengan rasa bersalah—tanpa memberikan kabar apapun dengannya. Kalaupun ada kabar, itupun hanya saling “like” di media sosial.

Dua hari lalu, ia mengabari saya kalau akan acara agenda di Purwokerto. Saya menyambut baik supaya kami saling bertemu sekaligus membasuh dan menyiram luka-luka struktural masa lalu. Saya meminta maaf atas perbedaan pilihan dua belas tahun lalu itu. Ia pun tertawa seperti biasanya.

“Santai aja, Cak. Sebenarnya, klan ku itu juga belum siap. Ha!” jawabnya sambil tertawa.

Kami pun menikmati Soto dan Bakso Sami Asih. Barangkali, soto kecik ini yang mempersatukan kami kembali 😂




0 comments: