Hari ini secara mendapat mendapat kabar bahwa Kiai Anwar wafat. Beliau salah satu kiai muda paling bersahaja di kampung saya—di Madura. Kabar wafatnya beliau yang mendadak tersebut, telah menyisakan rasa sedih mendalam bagi para warga yang mengenalnya, tidak terkecuali saya sendiri. Namun, bagaimana pun Allah Swt selalu memiliki cara terbaik untuk seluruh hamba-Nya.
Kiai Anwar, selamanya ini saya lebih sering memanggilnya Lora Anwar. Ya, Lora. Sebuah panggilan bagi anak laki Kiai Madura (panggilan Gus kalau di Jawa). Saya sama Lora Anwar satu angkatan sewaktu masih Sekolah Dasar di tahun 1991, hanya saja beliau mendapatkan jalur khusus yakni mengikuti kelas akselerasi, sehingga beliau lulus cepat dari saya—yang malah tidak kelas di kelas dua.
Jaman SD waktu itu, disaat anak-anak laki-laki memakai celana pendek selutut untuk bersekolah, namun beliau memakai celana panjang untuk bersekolah. Di sekolah kami hanya beliau yang memakai celana panjang—yang lebih menutup aurat laki-laki waktu itu. Sekalipun sekolah kami adalah sekolah negeri, namun pihak sekolah tetap memperbolehkan Lora Anwar memakai pakaian yang berbeda di banding siswa yang lain.
Setelah menamatkan sekolah, Lora Anwar mondok di salah satu pondok di Pamekasan, sebagaimana lazimnya anak Kiai pada umumnya. Sementara saya tetap menjadi santri “nyolok” atau “kalong” alias santri yang tidak menetap di lingkungan pesantren yang diasuh oleh Kiai Tohir (ayah dari Lora Anwar) yakni Pondok Pesantren Sambi Umbul. Di pondok inilah saya mempelajari dasar-dasar ilmu agama—yang pada akhirnya menjadi bekal sampai saat ini.
Berjalannya waktu, Lora Anwar memilih melanjutkan studinya ke Yaman. Di sana beliau banyak belajar ilmu agama—yang pada akhirnya mampu menggantikan posisi Kiai Tohir ketika wafat. Lora Anwar yang memiliki komunikasi yang bagus menyebabkan ceramah dan petuah beliau begitu tegas, lugas, dan mudah dipahami. Bahkan ceramah-ceramah beliau sampai diunggah ke Youtube dan media sosial lainnya. Tentu saja, saya pun menonton ceramah-ceramah beliau sekalipun tidak tinggal di Madura.
Sekitar 2008, ketika beliau mendengar saya telah aktif di Muhammadiyah. Beliau berpesan kepada Bapak saya supaya saya sowan ke beliau apabila saya mudik. Maka, ketika saya mudik, saya pun menghadap beliau. Dalam pertemuan tersebut beliau lebih banyak mendengar terhadap penjelasan saya mengenai Muhammadiyah dengan berbagai gerakan dan amal usahanya. Maklum saja, di kampung saya—Desa Bangkes waktu itu hanya saya satu-satunya yang bisa dianggap Muhammadiyah karena saya sekolah dan aktif di ortom Muhammadiyah.
Melalui pertemuan tersebut, Lora Anwar sangat menghargai pilihan saya untuk aktif di Muhammadiyah dibandingkan aktif di NU. Sebagaimana lazimnya Kiai pada umumnya, ada banyak nasihat yang beliau berikan kepada saya. Terlebih Pondok Pesantren yang beliau asuh terbilang pondok Salafiyah, sehingga dalam beberapa bagian cukup berbeda dengan Muhammadiyah yang cenderung modernis. Selain itu, beliau juga meminta saya untuk cukup menyebut Lora dan tidak perlu memanggil Kiai—sebagaimana biasanya selama ini.
Lora Anwar adalah sosok sederhana, bersahaja, dan tegas. Beliau memilih menjadi seorang pendidik masyarakat secara kultural dengan menekankan kekuatan aqidah dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan agama Islam. Semoga Allah Swt menerima seluruh kebaikan dan amal salih beliau serta ditempatkan di surga-nya. Aamiin..
Alfatihah..
0 comments:
Posting Komentar