“Kenapa Ayah tidak pernah romantis sih?” Keluh istri saya untuk yang kesekian kalinya.
Ya, selama ini saya tidak pernah romantis. Saya seorang laki-laki yang apa adanya untuk istri yang saya nikahi satu dekade ini—Saya tidak pernah memberikan bunga mawar istri, makan di berdua di tempat mahal, berdua menonton film menye-menye, dan berbagai kegiatan berdua lainnya, sebagaimana ditampilkan oleh pasangan romantis dalam sinetron dan film Korea.
Apa yang saya lakukan ini tidak memiliki maksud apapun, sebab memang begitulah saya, apa adanya sebelum dan sesudah menikah. Bahkan sebelum menikah ia juga sering bilang begitu “laki-laki yang sama sekali tidak romantis, blas!”. Bagaimana tidak bilang begitu, kami terpisah jarak antara Majenang dan Jogja, dan kok masih berlanjut setelah menikah yang harus melipat jarak antara Majenang dan Purwokerto. Tentu saja, apa yang saya lakukan tersebut bukan berarti saya tidak mencintainya. Saya sangat mencintainya—dengan tanpa diekspresikan melalui berbagai stempel keromantisan dalam film Korea yang selalu ditonton istri.
Setelah kami memiliki anak, Luna dan Khawla. Harus diakui memang tidak banyak momentum untuk berduaan. Maka, kalau jalan-jalan, makan, berbelanja, menginap di luar kota kami selalu membawa anak-anak. Khusus dalam hal ini, saya yang selalu menyampaikan kepada istri mengapa anak-anak harus dibawa karena itu sebagai rekaman untuk mereka di masa depan. Sekalipun kami belum penuh waktu hidup serumah, tetapi komitmen kami saya yakni sebisa mungkin tidak abai terhadap anak-anak.
Dalam satu kesempatan, saking istri saya ingin berduaan dengan saya. Ia mengajak saya untuk menonton di bioskop tanpa menjelaskan film apa yang akan kami tonton—intinya, berduaan dulu. Saya pun meng-iya-kan permintaan istri saya tersebut. Namun, setiba di bioskop malah saya yang diminta untuk menentukan film yang akan kami tonton. Saya pun menut lagi untuk membeli tiket.
“Kita menonton film, Siksa Kubur!” ucap saya sembari menunjukkan tiket yang telah saya beli.
Istri saya merngot melihat kelakuan saya itu. Ia berharap menonton film yang romantis, malah terjebak dalam film horor. Namun, memang dasarnya istri seorang istri yang patuh kepada suami, maka ia pun menuruti untuk menonton film horor yang menceritakan mengenai Sita yang tidak percaya agama setelah orang tuanya meninggal akibat bom bunuh diri. Selama menonton film tersebut, istri saya hanya ada rasa takut di awal film, selebihnya ia menonton sampai akhir. Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari film besutan Joko Anwar itu.
Untuk mengobati rasa ketidak-romantisan itu. Pada tengah bulan April kemarin saya terbesit untuk menulis buku mengenai pernjalanan pernikahan kami. Saya pun bergerak cepat untuk mengumpulkan tulisan tersebar di Blog dan Instagram saya, sebab sangat berat bagi saya untuk menulis dari awal dengan keterbatasan ingatan dan waktu yang semakin mepet. Saya pun menstrukturisasi kembali tulisan-tulisan tersebut sehingga terbitlah buku berjudul “Rumah Tangga Paruh Waktu Cinta Penuh Waktu”
Buku tersebut dapat diunduh dan dibaca secara gratis (klik).
Saya mengirimkkan cover buku di atas, pada saat ulang tahun pernikahan kami yang ke-10 bersamaan dengan ucapan, harapan, dan doa terhadap terhadap biduk rumah tangga kami ke depannya. Saya tidak bisa memberikan versi cetaknya, karena buku tersebut dalam proses terbit dan cetak. Dan lagi-lagi, gagal pula romantisnya.
Di luar berbagai kejadian dan tagihan tidak romantisnya saya. Ada satu momentum pekanan yang membuat kami saling menjadi pasangan menye-menye yakni Senin pagi pada saat saya mau berangkat ke Purwokerto. Usai pamit, memeluk, cium, dan berdoa bersama istri dan anak-anak. Saya pun menghidupi motor untuk berangkat.
Sembari roda motor saya berjalan. Saya selalu menoleh ke belakang, sementara istri dan anak-anak berada di daun pintu gerbang melambaikan tangan.
Seketika itu pula selalu terbesit dalam benak saya: lindungi kami, ya Allah.
0 comments:
Posting Komentar