Sedari dulu saya selalu memandang gelar sarjana ataupun gelar akademik di atasnya sebagai lambang supremasi manusia beken. Mereka yang berada di jalan jalan sunyi ini akan selalu berhadapan situasi apapun–dengan berbagai dinamika dan permasalahannya masing-masing. Namun, hal paling umum adalah menyelesaikan tugas akhir. Utamanya, skripsi. Ada orang yang dengan mudah mengerjakan skripsi, namun ada pula yang malah phobia dengan skripsi dengan alasan yang beragam, sehingga muncullah ungkapan skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai.


Belakangan ini, telah banyak kampus yang memberikan pilihan untuk menyelesaikan tugas akhir, sehingga tidak harus skripsi. Mereka bisa memilih jalur artikel ilmiah di jurnal, prototype, buku ber-ISBN, dan bentuk lainnya dapat dikonversi atau direkognisi dengan skripsi. Para mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Purwokerto mulai melirik jalur “ninja” ini sejak pandemi Covid-19 lalu termasuk di Prodi saya bernaung yakni HES UMP. Hasilnya, mereka pun lulus tanpa harus repot dengan dokumen skripsi yang tebal itu.


Rasanya, selalu ada rasa bangga dan haru ketika mahasiswa telah dipandang selesai kuliahnya–yang ditandai dengan adanya yudisium ataupun pelepasan. Artinya, mereka telah mampu melakukan perjalanan intelektual dengan memaksa diri untuk berlatih disiplin, mengatur waktu, rajin membaca, dan rajin menulis. 


Hari ini FAI UMP melakukan pelepasan terhadap 129 calon wisudawan/wati untuk periode wisuda September 2025. Alhamdulillah, terdapat 76 calon wisudawan/wati yang telah bekerja sebelum diwisuda dengan berbagai profesi pekerjaan, sehingga fakultas memberikan penghargaan terhadap mereka. Hal telah dilakukan oleh fakultas selama 4 periode wisuda terakhir.  


Akhirnya, merekalah para manusia beken itu.




Selalu senang melihat mahasiswa makin kreatif dan bersemangat mengerjakan tugas akhirnya. Apalagi, tradisi yang berlaku di fakultas selama ini bahwa tugas akhir adalah “gong” atas seluruh mata kuliah. Artinya, mahasiswa yang hendak melaksanakan munaqasyah telah harus lulus semua mata kuliah. 


Mereka begitu bersemangat dan gigih. Bahkan di antara mereka ada yang sampai bimbingan empat kali dalam sepekan. Selain itu, semester gasal ini makin banyak mahasiswa yang mengambil jalur non- skripsi yaitu dengan melakukan publikasi di jurnal. Kali ini cukup variatif, ada yang di jurnal internasional dan jurnal terakreditasi di SINTA. 


Mengapa bisa demikian? Di prodi saya bernaung, Hes Ump sudah dua tahun ini memberlakukan magang berbasis luaran (artikel ilmiah di jurnal dan HKI) di semester 5 magang di lembaga keuangan syariah dan semester 6 Pengadilan Agama/Mahkamah Agung. Itupun belum lagi kolokium yang diselenggarakan oleh prodi. Makanya mahasiswa telah terlatih untuk memilih jalan “ninja” non skripsi dikarenakan mereka telah mampu menghasilkan minimal tiga paper di luar tugas perkuliahan dan konversi skripsi. 


Sulit? Tentu saja tidak. Karena “writing” tresno jalaran soko kulino 




Khawla. Diusianya yang telah melewati empat tahun, ia sudah mulai ingin mengerjakan apa-apa sendiri. Mulai dari makan, pakai baju, mandi, sekolah (PAUD) sudah tidak mau ditunggui, bahkan ia tidak mau digendong.


"Ayah. Dedek bukan bayi lagi. Jangan digendong" keluhnya saat saya masih suka menggendong dan menciumnya.


"Eh, sampai kapanpun saya anak tetap bayi" jawab saya tegas dan otoriter. Wkwk.


"Tidak mauu.." Imbuhnya.


Di situlah saya selalu menyadari bahwa anak-anak makin besar. Alias saya semakin tua 😂




 Sama seperti tahun sebelumnya.


Waktu itu...

Saat kita memutuskan untuk melepaskan status kesendirian kita. Mulai hari-hari itu, kita selalu diselimuti beragam serangkaian peristiwa yang kadang membuat kita mengerutkan dahi. Perbedaan pendapat tentang ini-itu tidak jarang kita selami. Sebagai bagian dari serangkaian peristiwa dimana kita sama-sama harus meleburkan ego "ke-aku-an"dalam diri kita masing-masing.

Hari dan bulan pun berganti. Segala bentuk persiapan dan deretan hasil persiapan itu telah terbentang dalam ruang simpanan. Tapi, entah mengapa kita masih terasa ringkih. Padahal pertemuan kita sudah berjalan sekitar tujuh tahun lamanya. Rasanya, terasa masih ada yang mengganjal dalam diri kita. Sesuatu yang tidak bisa kita jelaskan: apa itu sebenarnya. Sampai akhirnya hari itu pun tiba.

Pada hari itu. Aku mengenakan kemeja putih lengan panjang berbalut jas hitam dan peci sisa lebaran. Oleh perwakilan keluargamu, aku diminta duduk di tengah-tengah mushola sebelah rumahmu. Sementara aku sendiri tidak tahu, di mana kamu berada. Tetapi, secara tiba-tiba kamu menghampiriku dari belakangan dengan pakaian yang membuatmu kupandang lebih cantik dari sebelumnyaDan kita pun menyelesaikan proses tegang dan bahagia itu dengan penuh hikmat sampai akhirnya kita dinyatakan sebagai pasangan: suami-istri. Hingga rasa ringkih dan hal-hal yang mengganjal sebelum prosesi tersebut menguap begitu saja. Hilang!

Kini. Hari-hari yang menegangkan itu telah memasuki tahun ke-11. Dan aku pun selalu berusaha mengingat semua seorangkaian peristiwa itu sebagai rasa syukur yang tidak terkira. Apalagi, Luna dan Khawla telah mengubah seluruh hal dalam hidup kita. Semuanya! Meski secara perlahan kita diajarkan memegang amanah dan karunia Allah untuk kita dekap bersama, hingga ia menjadi pribadi penuh bakti dan kasih sayang.

Rasanya. Bila kita mengingat kembali setiap obrolan menjelang tidur yang kita lalui. Tanpa terasa secara perlahan rangkaian puzzle impian kita mulai tersusun secara rapi dan teratur. Dan seperti biasanya, kita hanya perlu tetap sabar berusaha menyusun sisa-sisa puzzle itu secara perlahan dan hati-hati. Sampai akhirnya, rangkaian puzzle yang utuh nanti itu, disempurnakan oleh Sang Maha Sempurna menjadi saksi hidup bagi para generasi kita. Kelak.

Ohya. Maafkan aku. Bila belakangan ini cukup sok-sibuk dengan diriku sendiri. Sehingga entah mengapa aku tidak bisa menulis banyak-banyak dan panjang-panjang: tentang kita, tentang Luna dan Khawla. Namun setidaknya buku "Keluarga Paruh Waktu Cinta Penuh Waktu" dapat menjadi satu artefak perjalanan kita bersama. Tapi, percayalah, cintaku pada kalian bertiga selalu bertambah banyak-banyak dan panjang-panjang. He!

Selamat ulang tahun ke-11 pernikahan kita, Nda. Kita berdoa dalam-dalam di hati kita. Tidak perlu dalam tulisan ini.

Muach!




Dalam hidup, terkadang kita tidak harus tahu semuanya. Sebab dengan begitu kita bisa memahami secara baik apa yang masih misteri. Sama seperti pesan yang dikirim istri saya di laman fesbuk saya 16 tahun yang lalu. Atau pesan 5 tahun sebelum kami menikah.


Saya pun tidak mengira dan menyangka bahwa kami akan menjadi pasangan suami istri. Namun, barangkali itulah yang disebut sebagai misteri–sebagai tabir kehidupan yang dirahasiakan Tuhan. Kita tidak perlu merasa paling tahu atau bahkan harus tahu akan sesuatu yang akan terjadi ke depan. Karena pada hakikatnya fitrah manusia itu adalah menerima, menjalani, dan mensyukuri.




Anakku Khawla,

Sejak menjelang sahur pagi itu Bundamu aku lihat telah sibuk memilah pakai untuk kami kenakan selama berada di rumah sakit. Dalam masalah ini aku mengikuti saja apa yang telah menjadi hak veto Bundamu.

Seperti biasanya aku hanya menitip sarung dan kaos seadanya, lainnya Bundamu yang memilih di tengah kondisi perutnya yang semakin membesar. Ia tidak memilah bajumu, sebab seluruh bajumu jauh hari telah ia masukkan ke dalam tas khusus—yang siap dibawa ketika kamu ingin keluar dari alam rahim.

Siang harinya, selesai salat dhuhur. Aku dan Bundamu menuju rumah sakit Duta Mulya. Sepanjang perjalanan aku lihat Bundamu terus mengelus perutnya. Aku tahu itu bukan karena sakit, tetapi hanya ingin memberitahumu bahwa semua akan baik-baik saja, sehingga kamu merasa nyaman, tenang, dan selamat.

Setibanya di rumah sakit. Aku mengurusi seluruh persiapan administrasi, sementara Bundamu duduk di pojok ruang pemeriksaan sambil menjaga jarak dengan para pasien lain, karena masih berlakunya pandemic Covid-19. Aku pun harus berbuka puasa di rumah sakit agar tetap selalu mendampingi Bundamu.

“Enak?” tanya bundamu tiba-tiba. Aku menghentikan langkah suapan makan.

“Iya..” aku menjawab lirih.

“Kenapa?”

“Senang melihat Ayah makan begitu” ucap bundamu. Aku pun makan semakin lahap.

Berdasarkan hasil observasi dokter malam itu. Persalinan kelahiranmu akan dilakukan dengan operasi sesar dengan mengikuti bekas sayatan operasi sesar kelahiran kakakmu, Luna. Aku tahu Bundamu lebih siap dengan kondisi apapun. Aku hanya mengikuti apa saja, sepanjang membuat semuanya nyaman, sehat, dan selamat.

Jadi, malam itu kami menginap di rumah sakit, sebab jadwal kelahiranmu telah dijadwalkan keesokan harinya. Ternyata Bundamu mengalami Hb (hemoglobin) rendah dan harus dilakukan penambahan darah untuk mengantisipasi terjadinya pendarahan yang berakibat vatal terhadapmu dan  nyawa Bundamu.

Kali ini aku baru mendengar bundamu mengeluh saat transfusi darah. Katanya, sakit campur ngelu, apalagi pada saat mampet. Aku mencoba menenangkan sebisa yang aku lakukan, hingga ia tertidur pulas.

Pagi harinya aku sengaja mandi lebih pagi dan memakai kemeja yang pernah dibelikan oleh Bundamu. Bundamu bertanya mengapa aku memakai baju kemeja, sementara ia telah membawakan kaos di dalam ransel.

“Kita akan kedatangan tamu agung” jawabku mantab. Inilah perbincangan sebelum Bundamu memasuki ruang operasi.

Usai Bundamu dibawa oleh perawat ke ruangan operasi. Aku menunggu di depan pintu kelar ruang operasi dengan penuh harap dan cemas yang bercampur menjadi satu. Aku hanya terus berdoa agar semua sesuai dengan harapan bersama. Sekitar satu jam kemudian, tepatnya pada tanggal 25 April 2021 jam 10.59 kamu lahir dengan berat badan 3,3 dan panjang 50.  

Kamu kamu keluar pertama dari ruang operasi. Waktu kamu tidak langsung menangis dan hanya tersenyum sambal mengecap bibir. Seorang perawat meminta agar kamu dibawa ke dalam kamar sembari Bundamu selesai. Aku yang baru bersujud syukur kembali waswas dengan keadaan Bundamu.

Sekitar setengah jam aku harus mengalami campur aduk rasa bahagia dan rasa was-was, hingga Bundamu datang menghampiri kita berdua dengan rasa penuh haru. Ia kemudian memelukmu, menciummu, memperkenalkanmu, dan memintamu agar memanggilnya Bunda. Memintamu agar memanggilku Ayah. Memintamu agar kamu mengenal kakakmu. Semuanya…

Kami telah sepakat memberimu nama Khawla Raushani Makhadi. Dan hari ini, usiamu telah empat tahun. Selamat milad anakku, Khawla.

Ayah, Bunda, dan Kakak selalu bangga kepadamu.



Sekitar 2,5 bulan lalu Bapak sakit dan terpaksa harus dirawat. Diagnosisnya gelaja typus dan demam berdarah, sehingga harus dirawat inap di rumah untuk pertama kalinya dalam hidup. Ya! Pertama kalinya Bapak harus rawat inap. Sebab selama ini ia tidak pernah mau untuk dirawat inap–bahkan ketika pandemi Covid-19, ia tetap berakvitas seperti biasanya. Namun, karena sakit dua bulan lalu tersebut telah melewati sepekan tidak kunjung sembuh. Akhirnya, disepakati untuk rawat inap–dengan cara dipaksa.

Selama sakit dan dirawat inap, Bapak berhenti merokok dan minum kopi. Ia telah menyalahi kebiasaan berpuluh-puluh tahun tersebut yang biasanya dilakukan usai salat subuh di kursi kebesarannya di depan mushola atau rumah. Bahkan ketika saya pulang ke Madura, saya masih tetap menemani Bapak merokok dan ngopi sampai tengah malam untuk mengobrol apa saja–yang penting mengobrol tentang apa pun. Dalam kondisi demikian bukan persoalan isi obrolannya, melainkan waktu berharga antara anak yang dewasa dan bapaknya telah menua dimakan usia.

“Aku sudah membelikan rokok kesukaan Bapak sampai tiga bungkus. Tetap aja Bapak nggak mau merokok lagi setelah sakit” ujar adik saya. Rokok kesukaan Bapak adalah gudang gabah Suryo (diplesetin biar tidak iklan).

Menurut penuturan adik saya tersebut. Setelah Bapak sembuh dari sakitnya, Bapak merasa  lidahnya kebas ketika merokok dan baunya menjadi kurang enak. Begitu dengan kebiasaan ngopinya yang terasa tidak menagih sama sekali–mengopi atau tidak pusing lagi. Tentu saja, apa yang dirasakan Bapak sekarang menjadi kabar gembira bagi saya yang telah lama berhenti merokok. Kini bapak lebih memilih bermain dengan para cucu-cucunya bila sedang berkumpul para anak dan menantu yang sedang merokok. Kasih sayang Bapak kepada para cucunya terkadang mengalahkan kasih sayang kepada anak-anaknya. Misalnya, ketika saya menelpon rumah, hal pertama yang ditanya setelah salam bukan kabar saya, melainkan kabar anak-anak. Luna dan Khawla apa kabar? Mereka sehat?. Saya menjadi urutan kesekian. 

Tak hanya itu. Bapak juga memperlakukan hal yang sama kepada semua cucu-cucunya. Bahkan kambing peliharannya pun ia berikan untuk acara aqiqahan. Tampaknya kini bapak ingin merasakan ketenangan bersama dengan para anak dan cucunya. Saya pun belakangan mengamati Bapak sudah tidak sekeras dulu untuk berdagang maupun bertani–lagipula saya tidak pernah melarang maupun menyuruh untuk beliau bekerja. Sebab apabila dilarang untuk bekerja secara perlahan menguras kesehatannya. Bapak maupun Ibu saya sakit bila tidak bekerja, sehingga kami membiarkan apa saja–sebagai sebuah aktivitas. Barangkali, memang begitu urat sisa-sisa kompeni. He!

Saya bersama dengan saudara yang lain telah bersepakat. Apapun yang membuat kedua orang tua kami senang, bahagia, dan sehat akan kami kerjakan, apalagi kedua orang kami telah menginjak kepala tujuh. Rasanya, dengan demikian akan memberikan ruang kepada keduanya untuk terus mengisi bekal kesehariannya dengan ibadah. 

“Membaca shalawat di waktu luang itu juga ibadah” sering pesan Bapak.





Mereka bukan pasangan yang romantis. Mereka adalah pasangan yang apa adanya. Nyaris tidak ada yang tidak ditutup-tutupi sebagai pasangan suami-istri. Sebab semua seakan berjalan secara alami–apa adanya sebagaimana pasangan suami di Madura pada umumnya. Memang harus diakui Bapak adalah tipikal seorang suami–sekaligus orang tua yang keras dalam mendidik. Tak pernah ada kompromi untuk hal-hal yang sudah menjadi keputusan dan pilihannya. Makanya, sewaktu kecil saya sering menganggap Bapak sebagai orang tua yang egois. 


Bagi Bapak, seorang laki-laki harus bisa dipegang omongan (perkataan) dan tindakannya. Bila kedua hal itu tidak bisa dipegang atau tidak bisa dipercaya, maka laki-laki akan jatuh harga dirinya di dalam keluarga dan lingkungannya. Barangkali, akibat sikap dan pendirian keras itulah yang menyebabkan Bapak tidak pernah main-main untuk urusan sekolah kepada para anak-anaknya. Makanya, sewaktu kecil barangkali saya anak yang paling sering terkena sapu lidi dari Bapak apabila tidak mau sekolah ataupun tidak mau mengaji.   


Lain Bapak, lain pula dengan Ibu. Apabila Bapak sudah memarahi saya ataupun saudara saya yang lain, ibu selalu bilang “Makanya, dengerin apa yang dibilang sama Bapak”. Artinya, bukannya kami mendapatkan pembelaan, malah mendapatkan bonos marah dari Ibu. 


Berjalannya waktu, ketika saya dan sebagian saudara yang lain telah berkeluarga dan memiliki anak–memiliki kewajiban dan tanggung jawab. Apa yang telah dilakukan Bapak dan Ibu dulu begitu sangat berat–apabila kelakuan kami selalu aneh-aneh. Saya yang dulu sering memandang Bapak begitu egois, kini menyadari bahwa apabila tanpa adanya sikap dan tindakan Bapak yang keras tersebut, barangkali tidak mungkin ada saya seperti saya sekarang ini–sekalipun belum menjadi Wamen. Ha! Sementara ibu sebagaimana Ibu pada umumnya, beliau selalu menjadi rumah untuk berteduh dan berkeluh kesah. Nasihat jangan lupa mengaji dan salat selalu beliau sampaikan kepada saya dan saudara yang lain. Seakan saya mengajar di Fakultas Agama Islam masih dirasa belum cukup untuk ibu saya. He!


Saya menyadari orang tua saya bukan orang tua sempurna. Tetapi, saya selalu menyadari bahwa mereka berdua adalah orang tua terbaik. Saya dan saudara-saudara lain begitu sangat bersyukur kedua orang tua kami masih sehat wal afiat. Ibu masih selalu konsisten bangun salat malam, mengaji sambil menunggu subuh, dan memasak untuk seluruh anggota keluarga, sekalipun beberapa tahun terakhir beliau lebih sering berpuasa (puasa daud). Begitupula dengan Bapak yang cenderung lebih kalem dan sekarang sudah berhenti merokok. Berhenti merokok! Sesuatu yang sulit terbayangkan sebelumnya. 


Samogeh, teros sehat..