Sama seperti tahun sebelumnya.


Waktu itu...

Saat kita memutuskan untuk melepaskan status kesendirian kita. Mulai hari-hari itu, kita selalu diselimuti beragam serangkaian peristiwa yang kadang membuat kita mengerutkan dahi. Perbedaan pendapat tentang ini-itu tidak jarang kita selami. Sebagai bagian dari serangkaian peristiwa dimana kita sama-sama harus meleburkan ego "ke-aku-an"dalam diri kita masing-masing.

Hari dan bulan pun berganti. Segala bentuk persiapan dan deretan hasil persiapan itu telah terbentang dalam ruang simpanan. Tapi, entah mengapa kita masih terasa ringkih. Padahal pertemuan kita sudah berjalan sekitar tujuh tahun lamanya. Rasanya, terasa masih ada yang mengganjal dalam diri kita. Sesuatu yang tidak bisa kita jelaskan: apa itu sebenarnya. Sampai akhirnya hari itu pun tiba.

Pada hari itu. Aku mengenakan kemeja putih lengan panjang berbalut jas hitam dan peci sisa lebaran. Oleh perwakilan keluargamu, aku diminta duduk di tengah-tengah mushola sebelah rumahmu. Sementara aku sendiri tidak tahu, di mana kamu berada. Tetapi, secara tiba-tiba kamu menghampiriku dari belakangan dengan pakaian yang membuatmu kupandang lebih cantik dari sebelumnyaDan kita pun menyelesaikan proses tegang dan bahagia itu dengan penuh hikmat sampai akhirnya kita dinyatakan sebagai pasangan: suami-istri. Hingga rasa ringkih dan hal-hal yang mengganjal sebelum prosesi tersebut menguap begitu saja. Hilang!

Kini. Hari-hari yang menegangkan itu telah memasuki tahun ke-11. Dan aku pun selalu berusaha mengingat semua seorangkaian peristiwa itu sebagai rasa syukur yang tidak terkira. Apalagi, Luna dan Khawla telah mengubah seluruh hal dalam hidup kita. Semuanya! Meski secara perlahan kita diajarkan memegang amanah dan karunia Allah untuk kita dekap bersama, hingga ia menjadi pribadi penuh bakti dan kasih sayang.

Rasanya. Bila kita mengingat kembali setiap obrolan menjelang tidur yang kita lalui. Tanpa terasa secara perlahan rangkaian puzzle impian kita mulai tersusun secara rapi dan teratur. Dan seperti biasanya, kita hanya perlu tetap sabar berusaha menyusun sisa-sisa puzzle itu secara perlahan dan hati-hati. Sampai akhirnya, rangkaian puzzle yang utuh nanti itu, disempurnakan oleh Sang Maha Sempurna menjadi saksi hidup bagi para generasi kita. Kelak.

Ohya. Maafkan aku. Bila belakangan ini cukup sok-sibuk dengan diriku sendiri. Sehingga entah mengapa aku tidak bisa menulis banyak-banyak dan panjang-panjang: tentang kita, tentang Luna dan Khawla. Namun setidaknya buku "Keluarga Paruh Waktu Cinta Penuh Waktu" dapat menjadi satu artefak perjalanan kita bersama. Tapi, percayalah, cintaku pada kalian bertiga selalu bertambah banyak-banyak dan panjang-panjang. He!

Selamat ulang tahun ke-11 pernikahan kita, Nda. Kita berdoa dalam-dalam di hati kita. Tidak perlu dalam tulisan ini.

Muach!




Dalam hidup, terkadang kita tidak harus tahu semuanya. Sebab dengan begitu kita bisa memahami secara baik apa yang masih misteri. Sama seperti pesan yang dikirim istri saya di laman fesbuk saya 16 tahun yang lalu. Atau pesan 5 tahun sebelum kami menikah.


Saya pun tidak mengira dan menyangka bahwa kami akan menjadi pasangan suami istri. Namun, barangkali itulah yang disebut sebagai misteri–sebagai tabir kehidupan yang dirahasiakan Tuhan. Kita tidak perlu merasa paling tahu atau bahkan harus tahu akan sesuatu yang akan terjadi ke depan. Karena pada hakikatnya fitrah manusia itu adalah menerima, menjalani, dan mensyukuri.




Anakku Khawla,

Sejak menjelang sahur pagi itu Bundamu aku lihat telah sibuk memilah pakai untuk kami kenakan selama berada di rumah sakit. Dalam masalah ini aku mengikuti saja apa yang telah menjadi hak veto Bundamu.

Seperti biasanya aku hanya menitip sarung dan kaos seadanya, lainnya Bundamu yang memilih di tengah kondisi perutnya yang semakin membesar. Ia tidak memilah bajumu, sebab seluruh bajumu jauh hari telah ia masukkan ke dalam tas khusus—yang siap dibawa ketika kamu ingin keluar dari alam rahim.

Siang harinya, selesai salat dhuhur. Aku dan Bundamu menuju rumah sakit Duta Mulya. Sepanjang perjalanan aku lihat Bundamu terus mengelus perutnya. Aku tahu itu bukan karena sakit, tetapi hanya ingin memberitahumu bahwa semua akan baik-baik saja, sehingga kamu merasa nyaman, tenang, dan selamat.

Setibanya di rumah sakit. Aku mengurusi seluruh persiapan administrasi, sementara Bundamu duduk di pojok ruang pemeriksaan sambil menjaga jarak dengan para pasien lain, karena masih berlakunya pandemic Covid-19. Aku pun harus berbuka puasa di rumah sakit agar tetap selalu mendampingi Bundamu.

“Enak?” tanya bundamu tiba-tiba. Aku menghentikan langkah suapan makan.

“Iya..” aku menjawab lirih.

“Kenapa?”

“Senang melihat Ayah makan begitu” ucap bundamu. Aku pun makan semakin lahap.

Berdasarkan hasil observasi dokter malam itu. Persalinan kelahiranmu akan dilakukan dengan operasi sesar dengan mengikuti bekas sayatan operasi sesar kelahiran kakakmu, Luna. Aku tahu Bundamu lebih siap dengan kondisi apapun. Aku hanya mengikuti apa saja, sepanjang membuat semuanya nyaman, sehat, dan selamat.

Jadi, malam itu kami menginap di rumah sakit, sebab jadwal kelahiranmu telah dijadwalkan keesokan harinya. Ternyata Bundamu mengalami Hb (hemoglobin) rendah dan harus dilakukan penambahan darah untuk mengantisipasi terjadinya pendarahan yang berakibat vatal terhadapmu dan  nyawa Bundamu.

Kali ini aku baru mendengar bundamu mengeluh saat transfusi darah. Katanya, sakit campur ngelu, apalagi pada saat mampet. Aku mencoba menenangkan sebisa yang aku lakukan, hingga ia tertidur pulas.

Pagi harinya aku sengaja mandi lebih pagi dan memakai kemeja yang pernah dibelikan oleh Bundamu. Bundamu bertanya mengapa aku memakai baju kemeja, sementara ia telah membawakan kaos di dalam ransel.

“Kita akan kedatangan tamu agung” jawabku mantab. Inilah perbincangan sebelum Bundamu memasuki ruang operasi.

Usai Bundamu dibawa oleh perawat ke ruangan operasi. Aku menunggu di depan pintu kelar ruang operasi dengan penuh harap dan cemas yang bercampur menjadi satu. Aku hanya terus berdoa agar semua sesuai dengan harapan bersama. Sekitar satu jam kemudian, tepatnya pada tanggal 25 April 2021 jam 10.59 kamu lahir dengan berat badan 3,3 dan panjang 50.  

Kamu kamu keluar pertama dari ruang operasi. Waktu kamu tidak langsung menangis dan hanya tersenyum sambal mengecap bibir. Seorang perawat meminta agar kamu dibawa ke dalam kamar sembari Bundamu selesai. Aku yang baru bersujud syukur kembali waswas dengan keadaan Bundamu.

Sekitar setengah jam aku harus mengalami campur aduk rasa bahagia dan rasa was-was, hingga Bundamu datang menghampiri kita berdua dengan rasa penuh haru. Ia kemudian memelukmu, menciummu, memperkenalkanmu, dan memintamu agar memanggilnya Bunda. Memintamu agar memanggilku Ayah. Memintamu agar kamu mengenal kakakmu. Semuanya…

Kami telah sepakat memberimu nama Khawla Raushani Makhadi. Dan hari ini, usiamu telah empat tahun. Selamat milad anakku, Khawla.

Ayah, Bunda, dan Kakak selalu bangga kepadamu.



Sekitar 2,5 bulan lalu Bapak sakit dan terpaksa harus dirawat. Diagnosisnya gelaja typus dan demam berdarah, sehingga harus dirawat inap di rumah untuk pertama kalinya dalam hidup. Ya! Pertama kalinya Bapak harus rawat inap. Sebab selama ini ia tidak pernah mau untuk dirawat inap–bahkan ketika pandemi Covid-19, ia tetap berakvitas seperti biasanya. Namun, karena sakit dua bulan lalu tersebut telah melewati sepekan tidak kunjung sembuh. Akhirnya, disepakati untuk rawat inap–dengan cara dipaksa.

Selama sakit dan dirawat inap, Bapak berhenti merokok dan minum kopi. Ia telah menyalahi kebiasaan berpuluh-puluh tahun tersebut yang biasanya dilakukan usai salat subuh di kursi kebesarannya di depan mushola atau rumah. Bahkan ketika saya pulang ke Madura, saya masih tetap menemani Bapak merokok dan ngopi sampai tengah malam untuk mengobrol apa saja–yang penting mengobrol tentang apa pun. Dalam kondisi demikian bukan persoalan isi obrolannya, melainkan waktu berharga antara anak yang dewasa dan bapaknya telah menua dimakan usia.

“Aku sudah membelikan rokok kesukaan Bapak sampai tiga bungkus. Tetap aja Bapak nggak mau merokok lagi setelah sakit” ujar adik saya. Rokok kesukaan Bapak adalah gudang gabah Suryo (diplesetin biar tidak iklan).

Menurut penuturan adik saya tersebut. Setelah Bapak sembuh dari sakitnya, Bapak merasa  lidahnya kebas ketika merokok dan baunya menjadi kurang enak. Begitu dengan kebiasaan ngopinya yang terasa tidak menagih sama sekali–mengopi atau tidak pusing lagi. Tentu saja, apa yang dirasakan Bapak sekarang menjadi kabar gembira bagi saya yang telah lama berhenti merokok. Kini bapak lebih memilih bermain dengan para cucu-cucunya bila sedang berkumpul para anak dan menantu yang sedang merokok. Kasih sayang Bapak kepada para cucunya terkadang mengalahkan kasih sayang kepada anak-anaknya. Misalnya, ketika saya menelpon rumah, hal pertama yang ditanya setelah salam bukan kabar saya, melainkan kabar anak-anak. Luna dan Khawla apa kabar? Mereka sehat?. Saya menjadi urutan kesekian. 

Tak hanya itu. Bapak juga memperlakukan hal yang sama kepada semua cucu-cucunya. Bahkan kambing peliharannya pun ia berikan untuk acara aqiqahan. Tampaknya kini bapak ingin merasakan ketenangan bersama dengan para anak dan cucunya. Saya pun belakangan mengamati Bapak sudah tidak sekeras dulu untuk berdagang maupun bertani–lagipula saya tidak pernah melarang maupun menyuruh untuk beliau bekerja. Sebab apabila dilarang untuk bekerja secara perlahan menguras kesehatannya. Bapak maupun Ibu saya sakit bila tidak bekerja, sehingga kami membiarkan apa saja–sebagai sebuah aktivitas. Barangkali, memang begitu urat sisa-sisa kompeni. He!

Saya bersama dengan saudara yang lain telah bersepakat. Apapun yang membuat kedua orang tua kami senang, bahagia, dan sehat akan kami kerjakan, apalagi kedua orang kami telah menginjak kepala tujuh. Rasanya, dengan demikian akan memberikan ruang kepada keduanya untuk terus mengisi bekal kesehariannya dengan ibadah. 

“Membaca shalawat di waktu luang itu juga ibadah” sering pesan Bapak.





Mereka bukan pasangan yang romantis. Mereka adalah pasangan yang apa adanya. Nyaris tidak ada yang tidak ditutup-tutupi sebagai pasangan suami-istri. Sebab semua seakan berjalan secara alami–apa adanya sebagaimana pasangan suami di Madura pada umumnya. Memang harus diakui Bapak adalah tipikal seorang suami–sekaligus orang tua yang keras dalam mendidik. Tak pernah ada kompromi untuk hal-hal yang sudah menjadi keputusan dan pilihannya. Makanya, sewaktu kecil saya sering menganggap Bapak sebagai orang tua yang egois. 


Bagi Bapak, seorang laki-laki harus bisa dipegang omongan (perkataan) dan tindakannya. Bila kedua hal itu tidak bisa dipegang atau tidak bisa dipercaya, maka laki-laki akan jatuh harga dirinya di dalam keluarga dan lingkungannya. Barangkali, akibat sikap dan pendirian keras itulah yang menyebabkan Bapak tidak pernah main-main untuk urusan sekolah kepada para anak-anaknya. Makanya, sewaktu kecil barangkali saya anak yang paling sering terkena sapu lidi dari Bapak apabila tidak mau sekolah ataupun tidak mau mengaji.   


Lain Bapak, lain pula dengan Ibu. Apabila Bapak sudah memarahi saya ataupun saudara saya yang lain, ibu selalu bilang “Makanya, dengerin apa yang dibilang sama Bapak”. Artinya, bukannya kami mendapatkan pembelaan, malah mendapatkan bonos marah dari Ibu. 


Berjalannya waktu, ketika saya dan sebagian saudara yang lain telah berkeluarga dan memiliki anak–memiliki kewajiban dan tanggung jawab. Apa yang telah dilakukan Bapak dan Ibu dulu begitu sangat berat–apabila kelakuan kami selalu aneh-aneh. Saya yang dulu sering memandang Bapak begitu egois, kini menyadari bahwa apabila tanpa adanya sikap dan tindakan Bapak yang keras tersebut, barangkali tidak mungkin ada saya seperti saya sekarang ini–sekalipun belum menjadi Wamen. Ha! Sementara ibu sebagaimana Ibu pada umumnya, beliau selalu menjadi rumah untuk berteduh dan berkeluh kesah. Nasihat jangan lupa mengaji dan salat selalu beliau sampaikan kepada saya dan saudara yang lain. Seakan saya mengajar di Fakultas Agama Islam masih dirasa belum cukup untuk ibu saya. He!


Saya menyadari orang tua saya bukan orang tua sempurna. Tetapi, saya selalu menyadari bahwa mereka berdua adalah orang tua terbaik. Saya dan saudara-saudara lain begitu sangat bersyukur kedua orang tua kami masih sehat wal afiat. Ibu masih selalu konsisten bangun salat malam, mengaji sambil menunggu subuh, dan memasak untuk seluruh anggota keluarga, sekalipun beberapa tahun terakhir beliau lebih sering berpuasa (puasa daud). Begitupula dengan Bapak yang cenderung lebih kalem dan sekarang sudah berhenti merokok. Berhenti merokok! Sesuatu yang sulit terbayangkan sebelumnya. 


Samogeh, teros sehat..




Menikah adalah ibadah yang sangat mulia, tetapi juga sangat berat. Berat bukan hanya sekadar menyatukan dua insan, tetapi menyatukan dua keluarga, kebiasaan, adat, dan sebagainya. Setiap insan dan keluarga pasti memiliki kelebihan dan kurangannya masing-masing. Tinggal pandai-pandai mengelola keduanya.


Hari ini adik saya Mohammad Makbul mempersunting belahan hatinya yakni Shabrina Indah Rastika yang berasal dari Purbalingga. Ada kejadian unik dan tidak disangka-sangka. Saya menjadi wakil dan keluarga dan komandan Kokam Ndan Iwan Fakhruddin, Ph.D. mewakili pihak keluarga mempelai perempuan. Padahal, kami selama kerap beda pendapat dan pilihan khususnya Pilpres. He! Namun, hari ini bersatu untuk kesukesan pernikahan ini. 


Selamat menjalani bahtera rumah tangga, Makbul dan Shabrina. Semoga Allah Swt selalu memberkahi..aamiin.




Hari ini saya memenuhi permintaan istri yang mengajak motoran dari Majenang ke Purwokerto yang berjarak sekitar 83 Km. Katanya untuk mengajarkan anak-anak perjalanan pekanan saya selama ini—sekaligus mencari suasana baru. Sebenarnya saya kasihan karena perjalanannya cukup jauh dengan jalan yang naik turun dengan motor Beat yang seusia pernikahan kami. Saya memberi syarat sebelum saya menyanggupi: dilarang mengeluh dan dilarang bertanya kapan sampai.


Perjalanan tersebut kami tempuh sekitar 3,5 jam dengan 6 kali berhenti—yang normalnya saya hanya sekitar 2 jam tanpa berhenti. Namun, kali ini saya cenderung lebih santai dan berhenti untuk sekadar istirahat, jajan, dan mengisi BBM. Sepanjang perjalanan hanya Luna yang banyak bertanya dan bercerita yang kadang-kadang saya terasa sayup mendengarnya, sementaranya Khawla sebagian besar dalam perjalanan ia habiskan untuk tidur.


Saya selalu menganggap apa yang kami jalani selama ini adalah bagian dari perjalanan spiritual. Melipat jarak puluhan kilometer yang telah berjalan selama satu dekade ini terkadang bukan persoalan yang mudah. Ini persoalan bagaimana membagi rasa bakti, menghormati, dan mengasihi harus dipupuk bersamaan. Saya harus menerima kenyataan bahwa istri saya harus membagi baktinya kepada saya dan ibu mertua saya yang telah sepuh dan sendirian.


“Mengapa tidak dibawa ke Purwokerto?”


Barangkali itu adalah pertanyaan yang sering saya dengar dari beberapa kawan yang saya kenal. Namun, kenyataannya ibu mertua tidak terlalu betah di rumah Purwokerto. Ia lebih memilih tinggal di rumah Majenang, dimana ia bersama dengan bapak mertua membangun seluruh mimpi dan harapan terhadap diri dan anak-anaknya. Sebagai seorang perantau yang jauh dari keluarga. Tentu saja, saya tidak setega itu membawa anak terakhirnya.


Sulit! Tentu. Maka, saya harus menghormati berbagai pilihan-pilihan itu. Termasuk saya tidak sepenuh waktu menemani dan mendidik anak-anak. Namun, saya cukup beruntung ditengah kealfaan saya tersebut, Ibu mertua saya selalu mengajak anak-anak saya untuk salat ke Mushola sepanjang waktu dan mengajarkannya mengaji. Posisi mereka salat selalu saya lihat berada di shof depan sebelah kiri. Sementara untuk mengaji dibimbing selesai salat Maghrib dan Subuh—awalnya, saya lakukan sebagai kontrak Luna bisa bermain HP.


Kadang-kadang, hidup memang tidak selamanya harus sama dengan kehidupan orang lain. Adakalanya harus berbeda untuk kebermanfaatan yang lebih besar.


Ubur-ubur ikan ikan lele. Sabar Le!

 


Sedari kecil saya tidak pernah bercita-cita menjadi dosen. Sebab cita-cita dan pikiran saya sedari dulu hanya ingin menjadi wirausahawan. Namun, setelah kuliah S-1 entah mengapa saya mulai mengalami ketertarikan untuk menjadi dosen–itu berkat organisasi yang saya ikuti yang mengharuskan saya terbiasa mengisi training perkaderan. Dan di samping itu, saya pernah diminta mewakili tempat kerja saya untuk mengampu matakuliah “filantropi Islam” di kampus saya kuliah, sekalipun hanya satu semester.


“Kayaknya asik ini jadi dosen” pikir saya waktu itu. Maka, saya pun memutuskan untuk melanjutkan studi magister secara lebih serius. Dan benar saja, setelah saya diwisuda hari Sabtu, kemudian pada hari Senin ada lowongan dosen di Prodi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan sigap saya dan mendaftar mengikuti seluruh rangkaian seleksinya.

Alhamdulillah, saya pun diterima sebagai dosen dan mendapatkan surat tugas untuk mengantor pada tanggal 20 Maret 2014. Kerennya lagi, saya diterima sebagai dosen dua bulan sebelum saya melaksanakan hari pernikahan (tentang ini saya tulis dalam buku saya: Rumah Tangga Paruh Waktu Cinta Penuh Waktu). Saya bahagia menjalani dan membersamai Prodi, mahasiswa, dan rekan-rekan selama di Prodi Hes Ump dimana saya bernaung.

Tak lama saya diterima menjadi dosen. Saya langsung terlibat dalam kegiatan akreditasi Prodi untuk pertama kalinya, sebab prodi ini baru berdiri pada tahun 2011. Lazimnya, para dosen muda, saya harus belajar dan bekerja lebih giat untuk mengerjakan apa saja yang diperlukan dalam akreditasi–bahkan kegiatan lembur sampai malam bersama dengan rekan-rekan prodi pun menjadi hal biasa. Namun, persoalan pun timbul pada malam hari jelang visitasi–saat itu Purwokerto mengalami hujan lebih yang menyebabkan drainase dekat fakultas tidak mampu menampung debit kerasnya air. Alhasil air bah tersebut memasuki ruangan sekalipun hanya semata kaki, namun hal itu menyebabkan tim task force yang rumahnya dekat dengan kampus harus merapat ke kampus untuk menyalamatkan dokumen akreditasi.

Proses akreditasi Prodi HES pun berjalan dengan lancar dan mendapatkan hasil hasil “B”. Alhamdulillah, itu sudah sangat bagus untuk prodi yang baru pertama mengajukan terakreditasi, sebab kerjasama tim dan pimpinan fakultas serta universitas membuahkan hasil yang diinginkan. Tetapi, persoalan lain pun timbul–manakala tiga orang dosen dari Prodi HES harus pindah tugas ke Prodi lain. Maka, tersisalah saya dengan Pak Encep, sekalipun tidak lama setelah itu bergabunglah Bu Safitri dan Bu Isti. Dari keempat orang inilah kami pun menyusun strategi untuk meningkatkan akreditasi sebagai salah satu indikator pengelolaan Prodi itu berkualitas atau tidak. Maka, pada tahun 2019 kami pun melakukan kerja-kerja lebih serius dari sebelumnya untuk mengejar akreditasi “A”, sebab berdasarkan asesmen awal prodi oleh tim Universitas kami mampu meningkatkan peringkat akreditasi.

Maka bersamaan dengan itupula, kami pun harus menyusun dua Borang akreditasi sekaligus yaitu borang akreditasi Prodi HES dan Prodi PAI S-1 yang hanya selisih dua bulan saja. Nah! tampaknya, persoalan Prodi saya bernaung memang kerap akrab dengan persoalan eksternal, saya terkena syaraf kejepit sehingga mengalami keterbatasan untuk bisa mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu. Saya harus membagi waktu untuk jadwal terapi ke rumah sakit sebanyak tiga kali sepekan selama tiga bulan berturut. Dan tidak lama setelah itu datanglah gelombang Pandemi Covid-19 menyerang, sehingga memberikan batasan untuk melakukan interaksi secara langsung.

Di tengah-tengah suasana Pandemi itu. Kami mampu mengerjakan dua borang dan dokumen akreditasi secara tepat waktu dan melaksakan asesmen lapangan secara daring. Alhamdulillah, Prodi HES mendapatkan akreditasi “A”, begitupula dengan PAI S-1 juga terakreditasi A–bahkan mendapatkan skor nilai tertinggi di Universitas. Kami semua mensyukurinya dengan hati yang mendalam dan penuh dengan perlindungan oleh Allah Swt.

Beberapa bulan setelah keluarnya akreditasi A tersebut, kami diminta oleh Universitas untuk mengajukan Instrument Suplemen Konversi (ISK) supaya dapat terkonversi menjadi “Unggul”. Berhubung saya yang ditunjuk menjadi ketua tim dan merupakan tupoksi saya di Fakultas, maka saya pun membentuk tim kecil sebanyak tiga orang untuk masing Prodi dengan masa kerja hanya tiga pekan. Alhamdulillah tim kecil ini bekerja secara progresif dan tidak mengenal waktu, sehingga dokumen ISK diajukan dan akreditasi A pun terkonversi “Unggul”.

Bagaimana pun Prodi HES membutuhkan tambahan tim dengan semakin bertambahnya mahasiswa. Maka, pada tahun kemarin bergabunglah satu orang dosen yaitu Mbak Anda yang lulusan Taiwan. Kami pun mengamati diri kami sendiri–yang tidak ubahnya mirip Power Rangers. Ohya, apa yang saya tulis panjang ini adalah bagian untuk mengenang Milad Prodi HES UMP yang telah mencapai 13 tahun. Meminjam gium para mahasiswa kami “Ora HES, Ora Yes!”

Selamat Prodi HES UMP ke-13 tahun.
(14 Januari 2011-14 Januari 2024)