Bapak Berhenti Merokok

Sekitar 2,5 bulan lalu Bapak sakit dan terpaksa harus dirawat. Diagnosisnya gelaja typus dan demam berdarah, sehingga harus dirawat inap di rumah untuk pertama kalinya dalam hidup. Ya! Pertama kalinya Bapak harus rawat inap. Sebab selama ini ia tidak pernah mau untuk dirawat inap–bahkan ketika pandemi Covid-19, ia tetap berakvitas seperti biasanya. Namun, karena sakit dua bulan lalu tersebut telah melewati sepekan tidak kunjung sembuh. Akhirnya, disepakati untuk rawat inap–dengan cara dipaksa.

Selama sakit dan dirawat inap, Bapak berhenti merokok dan minum kopi. Ia telah menyalahi kebiasaan berpuluh-puluh tahun tersebut yang biasanya dilakukan usai salat subuh di kursi kebesarannya di depan mushola atau rumah. Bahkan ketika saya pulang ke Madura, saya masih tetap menemani Bapak merokok dan ngopi sampai tengah malam untuk mengobrol apa saja–yang penting mengobrol tentang apa pun. Dalam kondisi demikian bukan persoalan isi obrolannya, melainkan waktu berharga antara anak yang dewasa dan bapaknya telah menua dimakan usia.

“Aku sudah membelikan rokok kesukaan Bapak sampai tiga bungkus. Tetap aja Bapak nggak mau merokok lagi setelah sakit” ujar adik saya. Rokok kesukaan Bapak adalah gudang gabah Suryo (diplesetin biar tidak iklan).

Menurut penuturan adik saya tersebut. Setelah Bapak sembuh dari sakitnya, Bapak merasa  lidahnya kebas ketika merokok dan baunya menjadi kurang enak. Begitu dengan kebiasaan ngopinya yang terasa tidak menagih sama sekali–mengopi atau tidak pusing lagi. Tentu saja, apa yang dirasakan Bapak sekarang menjadi kabar gembira bagi saya yang telah lama berhenti merokok. Kini bapak lebih memilih bermain dengan para cucu-cucunya bila sedang berkumpul para anak dan menantu yang sedang merokok. Kasih sayang Bapak kepada para cucunya terkadang mengalahkan kasih sayang kepada anak-anaknya. Misalnya, ketika saya menelpon rumah, hal pertama yang ditanya setelah salam bukan kabar saya, melainkan kabar anak-anak. Luna dan Khawla apa kabar? Mereka sehat?. Saya menjadi urutan kesekian. 

Tak hanya itu. Bapak juga memperlakukan hal yang sama kepada semua cucu-cucunya. Bahkan kambing peliharannya pun ia berikan untuk acara aqiqahan. Tampaknya kini bapak ingin merasakan ketenangan bersama dengan para anak dan cucunya. Saya pun belakangan mengamati Bapak sudah tidak sekeras dulu untuk berdagang maupun bertani–lagipula saya tidak pernah melarang maupun menyuruh untuk beliau bekerja. Sebab apabila dilarang untuk bekerja secara perlahan menguras kesehatannya. Bapak maupun Ibu saya sakit bila tidak bekerja, sehingga kami membiarkan apa saja–sebagai sebuah aktivitas. Barangkali, memang begitu urat sisa-sisa kompeni. He!

Saya bersama dengan saudara yang lain telah bersepakat. Apapun yang membuat kedua orang tua kami senang, bahagia, dan sehat akan kami kerjakan, apalagi kedua orang kami telah menginjak kepala tujuh. Rasanya, dengan demikian akan memberikan ruang kepada keduanya untuk terus mengisi bekal kesehariannya dengan ibadah. 

“Membaca shalawat di waktu luang itu juga ibadah” sering pesan Bapak.





0 comments: