Malu! Barangkali, itulah yang
saya rasakan saat beberapa waktu mewawancarai Ibu Elida Djazman—seorang
IMMawati, sekaligus istri almarhum Djazman Alkindi: salah seorang pendiri IMM.
Ibu Elida nampak begitu bersemangat menceritakan tentang pengalamannya berkutat
dengan kelahiran IMM. Organisasi yang oleh para pendirinya, para kader
diharapkan masa depannya menjadi pemimpin masa depan yang
berintelektual—seperti yang ada dalam lagu IMM “cendikiawan berpribadi”.
Sekalipun, harus meyakinkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dikarenakan kemarahan H. Djarnawi Hadikusumo terhadap Djazman Alkindi: karena kader
IMMawan dan IMMawati bercampur dalam satu forum. Disamping adanya kader
IMMawati yang memakai rok selutut. “Jadi jangan dilihat sekarang, lihat kedepannya” kira-kira begitulah
jawaban Djazman Alkindi, sebagaimana diceritakan Buk
Elida Djazman. Spirit
filosofi surat al-Maun yang pernah
diajarkan KH. Ahmad Dahlan harus senantiasa direduksi sesuai konteks zaman. Sehingga bisa mengeliminir pertanyaan mengapa
angkatan muda tidak banyak terlibat keberpihakan kaum tertindas? Barangakali,
karena angkatan muda banyak yang miskin, jadi susah bergerak. Angkatan muda
kita masih dhuafa. Spirit al Ma’un itulah yang harus terus dipupuk di semua
kader IMM.
Dalam kesempatan yang sama,
saya mewawancarai Sjamsu Udaya Nurdin—salah satu pendiri dan deklator
berdirinya IMM. Saya pun kembali menundukkan kepala—karena, lagi-lagi malu
terhadap orang tua yang berusia senja ini. Sjamsu Udaya Nurdin masih tetap
bersemangat menceritakan mengenai IMM. Sebab baginya, berorganisasi dalam tubuh
IMM harus dengan sikap ikhlas—sebagaimana juga berlaku di Muhammadiyah.
lebih-lebih, warna “merah” merupakan simbol bahwa IMM itu—pro rakyat, berpihak
kepada rakyat. Dan selalu berpihak pada kepentingan rakyat. Artinya, kalau
berpihak kepada rakyat dan negara, berarti berpihak kepada Tuhan—sekalipun,
merah itu bukan selalu harus dimaknai partai politik tertentu. Tapi, bagi Sjamsu Udaya Nurdin sudah saatnya IMM
mengambil peran dalam hal negarawan, tapi bukan sebagai peran sebagai politisi
yang korup. Tapi sebagai sebagai negarawan. Selamatkan negara ini. Dan dalam
kehidupan modern kita boleh kecewa, sedih atau marah, tapi kita harus objektif.
Maka, tepat hari ini 14 Maret
2014. Saat saya dan kedua orang sahabat saya—Amin dan Halim. Menemui HM. Alfian
Darmawan (DPP IMM 1975-1985). Saya pun kembali merasa cukup malu. Kali ini HM.
Alfian Darmawan begitu menyentil keras alam bawah sadar kami bertiga. Ia
menjelaskan mengapa dulu ia hidup dalam ruang struktur yang begitu sulit
koordinatif—jarak, terbatasnya alat komunikasi, kesibukan para pengurus dan
berbagai keterbatasannya lainnya. Berimplikasi pada sempat vakumnya IMM selama
10 tahun. Tapi, bukan ini yang hendak saya bicarakan, melainkan proses mereka
yang panjang: tak hanya kuliah, tapi juga dalam berkader. Sehingga menyebabkan
mereka lebih matang dalam mempersiapkan segala sesuatu—yang dibutuhkan ikatan,
maupun masa depannya. HM. Alfian Darmawan pun menanyakan apapun dengan sangat
kritis, menanyakan apa yang sudah kita lakukan untuk membesarkan dan menjaga
organisasi ditengah ancaman “ketidakpercayaan diri” kader yang semakin
membesar. Jangankan untuk bertindak, berfikirpun saat ini kader takut
salah—entah, karena takut dianggap liberal, konservatif atau pun Marxis.
Padahal sebagai kaum muda dan mahasiswa—berfikir ekstream kanan atau
kiri—sepanjang bisa mempertanggung jawabkan dan tidak merusak tatanan
organisasi.
Mengapa saya malu? Alasannya,
cukup sederhana—karena, masih sering bertanya “apa yang sudah saya
kontribusikan terhadap IMM”. pertanyaan itu seakan menjadi gium yang terus
menggrogoti alam pikiran, meski sudah sekitar 8 tahun ini—berproses bersama di
IMM. Barangkali, hal itu juga dirasakan oleh kedua sahabata saya—Halim dan
Amin, yang hingga kini masih saja selalu sering bertanya dengan pertanyaan yang
sama tadi. Tak berdosa, kita gelisah memikirkan peran kita masing-masing:
sebagai kader IMM—atau bahkan kabur dengan meninggalkan IMM, tanpa sepatah kata
pun dengan alasannya sendiri-sendiri. Artinya, semua kader berhak memiliki perasaan
dan kegelisahaan kepada organisasi ini. Besar-kecil, luas-sempit, tinggi-rendah—dan
semua lebel mengesahan lainya, untuk menagasikan bahwa tidak semua kader harus
berlaku sama.
Kita berhak menjadi apa saja.
Sesuai dengan apa yang sudah kita rencakan dan kita mimpikan. IMM barat seorang
Muadzin, hanya memanggil untuk sama-sama sadar untuk belajar. Tanpa perlu kita
meributkan siapa yang menjadi Muadzin, ataupun bagaimana ritme nada suaranya.
Yang paling penting, bagaimana hati kita terpanggil dan bergerak untuk
menghampiri seruan Adzan tersebut. Sebab itu, tidak seorang Muadzin tidak
menentukan kualitas kekhusyukan kita dalam bersholat—atau IMM menentukan kita
menjadi “apa” dan “siapa”. Kita hanya perlu memawas dan memantaskan diri untuk
khusyuk dalam berjuangan, tanpa harus memikirkan hasil yang kita
usahakan—Ibarat shalat tadi, hanya Allah yang menentukan niat, khusuk dan
pahala hasil ibadah kita. Barangkali, motif, proses, kontribusi, komitmen,
loyalitas, militansi dan progsifitas membaca masa depan—yang menjadi ruang kita
mendapatkan hasilnya.
***
Sebagai kader yang pernah lahir
dari “Rahim” IMM AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta. Dan mengalami serangkaian
doktrinasi value, komitmen dan
loyalitas yang kadang memabukkan hati dan pikiran—berikut bersama rangkaian
sejarahnya: yang selalu dianggap heroik. Barangkali, hal itulah yang membuat
saya setahun lalu terasa agak mual melihat Milad IMM, malah mirip “Harlah”
kendaraan bermotor. Ada panggung hiburan, umbul-umbul, deretan hadiah, pawai—dan
beragam rangkaian atribut organisasi yang tentunya simbolik, justru menimbulkan
kesan sulit membedakan: mana format acara harlah kendaraan bermotor atau Milad
IMM. Maka, seakan ingin mengulangi perayaan yang sebelumnya. Kali ini acara
Milad-nya, justru menampilkan agenda yang jauh tambah “konyol”, ada lomba makan
krupuk, pawai, tarik tambang—hingga adu tangkas memasak.
Benak pun kembali tergelitik
dan perasaan gelisah pun semakin mual. Jika setahun lalu saya, Amin dan Halim
mampu memprovokasi beberapa kader untuk menulis sehingga lahirlah buku “TakSekadar Merah”. Mendorong rasa pencaya diri melalui testimoni dan memoar
dirinya sebagai seorang kader IMM. Maka, dengan perasaan yang sama dengan tahun
lalu pun—hasil riset yang telah kami lakukan terhadap 10 orang kader AR untuk
kebutuhan buku yang sedang kami persiapkan dengan rencana judul “Genealogi Kaum
Merah”, menunjukkan hasil yang cukup mengagetkan: hanya ada 1 orang dari 10
orang yang menjadikan buku “Tak Sekadar Merah” sebagai buku referensi buku IMM.
Hanya ada 2 orang dari 10 orang yang menjadikan pemikir gerakan sebagai tokoh
yang mempengaruhi pemikirannya—bahkan 3 orang dari 10 orang menyebut Trapol
(Training Politik) sebagai lembaga creative
minority yang berfungsi sebagai lembaga atau sekolah pengembangan
intelektual. Seakan tidak bisa membedakan mana yang disebut dengan training,
mana pula yang disebut dengan lembaga.
Entahlah. Kami pun juga tidak
tahu, harus dari mana mulai mengurai benang kusut disorientasi kaum gerakan dan
ahistoris pemahaman gerakan yang dibangun secara tersistematik oleh para
pemekar IMM Kota Jogja. Lebih-lebih, kami tidak memiliki kepentingan apa-apa.
Tidak pula ingin mencalonkan diri sebagai kontestan dalam ritual muktamar,
sehingga harus banyak cari muka. Tidak pula kami ingin mencari jabatan, sebab
kami sudah pernah menjabat puncak pimpinan daerah. Tidak pula ingin membangun
senioritas, sehingga harus membentuk junior. Tidak pula ingin mencari
keuntungan atau royalti dari buku yang hendak kami terbitkan. Sebab faktanya,
kami sepeser pun tak pernah memintanya: karena sama-sama ingin menghidupkan
kembali lembaga yang sempat jadi “mumi”. Tidak pula ingin cari kerjaan, sebab
kami memiliki pekerjaan agar dapur tetap mengepul. Tidak pula juga kami ingin membentuk
fatsun angkatan, sebab faktanya kami solid sebagai kader atau seorang sahabat. Dan
segala motif tersembunyi lainnya..
Apa yang kami lakukan—atau
bahkan apa yang saya tulis ini. Bukan bermaksud ingin mengerdilkan peran para
kader yang telah berkeringat. Atau bahkan ingin mencari popularitas. Saya hanya
ingin mengajak kita untuk saling berefleksi satu sama lain. Apakah harus dengan
cara seperti ini, kita berijtihad dalam gerakan melalui program gerakan. Namun,
secara diam-diam menyelingkuhi value
dan identitas gerakan—sebagai gerakan mahasiswa Islam? Apakah kita tidak cukup lelah
dengan minimnya literatur tentang IMM, sehingga tidak perlu melakukan “jihad
intelektual” untuk sekedar menuliskan gagasan tentang IMM: sebagai penambah
khazanah keilmuan dan kajian gerakan?, Ataukah kita juga tidak bisa membedakan
mana yang disebut organisasi gerakan Islam, organisasi professional-pragmatis
ataupun paguyuban?, Ataukah barangkali yang terakhir “kita sudah merasa cukup
pintar dan pantas untuk melakukan hal-hal konyol—yang sebenarnya tidak ada
relevansinya value dan identitas gerakan?”. Ah!
masa iya..
Terakhir, apa yang saya tulis
ini tidak lain merupakan refleksi, koreksi dan kepedulian terhadap
IMM—lebih-lebih, bagi mereka yang menyebut kader AR. Tak perlu marah dengan
celotehan saya ini. Atau bahkan, terasa diiris kupingnya dengan kritik.
Bukankah kita akan menjadi orang semakin tinggi martabat dengan selalu memawas
diri dengan kritik. Sebab, bisa jadi tanpa kritik dan refleksi: IMM ataupun AR
hanya menjadi diskusi masa lalu—mati secara value,
gerakan, perkaderan dan masa depan cara bermimpi para kadernya. Meminjam
istilah Kanda M. Sobar “saya tidak ingin berta’ziyah ke Solo, diusia IMM yang masuk
setengah abad”. Dan untuk Milad IMM ke-50 tahun ini, saya juga mengutip catatan
awal buku Tak Sekadar Merah “Lewat cara ini kami ingin menyampaikan kepada
seluruh kader IMM, bahwa peringatan ritus kelahiran bukan hanya diperingati
dengan cara euphoria, melainkan dengan cara bersikap reflektif dan kredo
berfikir”. Kita bisa menyelamatkan semua itu dengan hanya satu cara:
PERKADERAN!
3 comments:
ada yg mungkin menjadi nilai tambah yg diperlihatkan oleh temen2 HMI yg mana itu tak akan pernah kita dapatkan yg katanya "Ikatan" ini, bentuk tali kasih sayang adik ke kakak dan bentuk kasih dn perhatian kakak ke adik, padahal kita pergerakan berbasis kekeluargaan dn perkaderan,. banyak sekali contoh kesantunan dan kasih sayang kakak ke adik yg diperlihatkan temen2 HMI, terhadap adik yg dililit masalah besar sekalipun, http://manado.tribunnews.com/2014/01/11/ini-pernyataan-hmi-sulut-gorontalo-terkait-penahanan-anas-urbaningrum, http://www.tempo.co/read/news/2013/02/27/078464176/Didatangi-Tokoh-Anas-Bukan-Galang-Kekuatan, http://health.kompas.com/read/2013/02/26/09290321/Tamu.Lintas.Partai.di.Rumah.Anas.Urbaningrum, masih banyak lagi pemberitaan yg memprlihatkan kesantunan kakak ke adik,. dan sekali lagi semua itu tak akan didapatkan di "Ikatan ini".
kami menghargai atas perhatian IMMawan/IMMawati yg telah demisioner, karna kami yakin kalian adalah kakak2 kami dn kelaurga besar kami,. kalian mengajarkan kami kesantunan dalam bertindak, kami pun amini hal itu, apa pun yg menjadi masukan kakak semua menjdi rekomendasi awal kami dlm berbuat, tolong jgn cidrai rasa ini. kami berusaha utk menjadwalkan bertemu kakak semua, (karna ntah kenapa kami tak melihat apa yg diperlihatkan senior2 HMI kami jumpai di Ikatan ini), namun bukan tak bisa, melainkan periode kami yg begitu sempit dgn berbgai rutinitas yg begitu banyak,.
kami adik2mu ini tolong disupport dgn kesantunan dn keperhatian, mungkin adik2mu minta maaf jika hanya sekedar minta "materi" ke kakak semua, namun kami pun maklum jika kakak semua tak memberi, masih banyak keperluan pribadi yg perlu kakak semua penuhi, kami tak paksa, karna kami bisa meminta kelain bahkan jika perlu kami sisihkan uang yg org tua adik2 mu ini beri tuk kesuksesan semua agenda2 ikatan, krna ntah kenapa rasa iktan ini serasa cukup ketika hanya bergelut langsung dgn ikatan, ndak tau setelah tak bergelut, apakah rasa ikatan dn kekeluargaan ini masih ada atau tidak,.
salam tuk kakak semua, dari adik2mu yg merindukan dn menginginkan support dari kakaknya,.
Tak baik membandingkan diri dengan yang lain. Bisa jadi yang lain itu sebenarnya "sama" dengan kita karena "ketidakthuan" kita sendri. Mari perbaiki semua ini secara bersama, tanpa panas dengan kritik. :))
Posting Komentar