Akrobat


Akhir-akhir ini, Zivara. Dinamika kehidupan kian menjemukan. Tiap hari silih berganti beragam masalah, terutama tentang kekerasan sosial-ekonomi atas nama pribadi dan kelompok. Semua seperti semacam episode dalam sinetron yang bisa berganti kapan saja. Dan dilanjutkan kembali bila ratingnya penonton meningkat dengan dialog dan plot—yang menghipnotis perasaan. Ada yang mengaku paling benar, paling baik, paling amanah—dan segala bentuk pandangan yang justru menyebabkan: kian lenyapnya “kejujuran”. Seakan sibuk menjadi orang lain, bukan dirinya sendiri. Sebab ia telah tersandera oleh branding imej yang harus senantiasa terpelihara elektabitasnya. Seorang teman menyebutnya sebagai komidi kaum  para pembual.

Ya! komidi kaum pembual. Barangkali, cukup asing dan aneh kita mendengarnya. Sebab hal itu, selalu kita temui dengan berbagai ajakan kebaikan yang hadir ditiap hari, saban minggu dan empat tahunan. Siapa yang menyangka, saat ini kaum pembual itu semakin binal. Mereka menjadi sampah visual yang menempel ditiap persimpangan jalan. Mereka menyamar sebagai “pembela”, ada pula “penyelamat” atau bahkan “bungkusan masa lalu”. Merekalah yang menyamar—calon [Wakil Rakyat] itu orangnya. Aku tak membenci mereka, atau bahkan tidak mendukung. Aku hanya butuh bukti atas apa yang pernah dan apa yang hendak mereka kerjakan. Bukankah kadang-kadang, pilihan itu butuh keyakinan agar tidak menghasilkan pembangkangan. Inilah yang disebut temanku, Halim sebagai “makin merajalelanya kaum munafik: alias retaknya antara kata dan perbuatan”

Dalam banyak pengertian, komidi dipahami sebagai pertunjukan kepandaian berbagai keterampilan—akrobat. Maka, bisa jadi hajatan lima tahunan—yang berwujud tuan pemilu itu, adalah ruang dimana kaum pembual itu berakrobat. Setuju-tidak setuju, pendukung-rival, jujur-bohong, serta sederet tabiat yin dan yang akan bercampur jadi satu kesatuan dalam wujud akrobat. Siapa yang lihai memanfaatkan panggung pertunjukan dengan keterampilannya: maka, bisa dipastikan lolos dengan segala nilai yin dan yang-nya tadi. Akhirnya, proses “selektif” menjadi penting sebagai pembelah atas bentuk kecurangan selama dalam proses. Oleh karena itu, bisa jadi pula—apa yang dialami mereka itu, menimpa diri kita sendiri meski bukan ruang yang sama.

Menjadi orang yang hati-hati dengan tindakan dan pilihan adalah pali atas pembelah “selektif” tadi. Sebab berbagai simbol dalam akrobat—selalu akan menutupi wajah yang sebenarnya. Sehingga motif dari apa yang menjadi tujuan senantiasa akan tampak pasca proses berjalannya waktu. Nah, dari sinilah hukum pelanggaran atas tidak seimbangnya: yin dan yang akan berlaku. Apakah mereka dan kita sendiri akan taat atas kata dan perbuatan, ataukah menyalahi: termasuk dengan segala keyakinan, yang awal melekat sebagai bentuk identitas.

Zivara, jadi kamu tidak perlu menutup matamu. Kala melihat banyak bendera partai yang menggunakan simbol agama melebihi simbol aslinya. Ini hanya soal waktu terpilih, bukan soal banyaknya atribut. Ini juga soal proses perjalanan, bukan siapa yang menjadi apa. Pasca tuan pemilu mengumumkan hasil, disitulah mulai tampak watak yang sesungguhnya. Sebab itu, Ulama seperti Kiai Ahmad Dahlan sebagaimana ada dalam pelajaran keenam dalam 7 falsafah ditulis salah seorang muridnya: Hadjid, Kiai mengingatkan “kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah”. Pesan Kiai tersebut tampaknya selaras kekhawatiran Ali Syariati soal getirnya watak manusia. Ia berpandangan bahwa “Manusia sesungguhnya merupakan masalah yang paling rumit di alam semesta oleh karena itu ia memerlukan pencurahan perhatian yang besar”.

Namun, jika kita berkaca pada diri sendiri. Biasanya, pasca kita melakukan penuh kesalahan, penyesalan itulah wujud kita yang sebenarnya. Penyesalan bisa menjadi magnum opus atas tindakan akrobat yang kita lakukan. Jadi, kadang-kadang menjadi salah itu penting, untuk segera menemukan kilas balik tersebut. Meski “tak ada yang sia-sia dengan perbuatan baik kita lakukan”, kira-kira begitu, pungkas temanku Amin—dalam sebuah pertemuan.

0 comments: