Pecel Lele dan Sisa Kenangan

Hal yang paling disukai istri saya sejak sebelum menikah hingga sekarang adalah makan di warung pecel lele. Terutama di warung pecel lele di pojok alun-alun Majenang karena di sana anak-anak bisa makan sekaligus bermain. Baginya, makan di warung pecel lele mengingatkan pada masa kondisi labil ekonomi sebelum menikah. Ia sudah bekerja di salah satu bank plat merah, sementara saya masih serabutan.


Di masa-masa itulah kami lebih sering makan di pecel lele. Sebuah warung yang cukup bersahabat dari segi harga, rasa, status sosial, dan profesi. Celakanya, sebagai seorang laki-laki dengan isi dompet yang cukup mengenaskan di warung pecel lele pun kami tidak bisa memesan dan makan ayam secara bersamaan. Alasanya? Tentu saja uang saya tidak cukup.


Solusi atas kepelikan tersebut, biasanya saya lebih sering makan tempe, tahu, atau telor. Sementara saya membuarkan istri saya memesan ayam atau bebek. Bahkan tidak jarang daging ayam atau bebek tersebut kami bagi berdua agar sama-sama dapat menikmati keduanya. Lambat laun kondisi ini pun dimaklumi oleh istri saya waktu itu, malah ia mulai sering membayari makan akibat mengetahui kalau isi dompet saya sungguh begitu mengenaskan.


Kini, setelah lebih dari satu decade berlalu. Dimana isi dompet saya sudah tidak terlalu begitu mengenaskan. Istri saya masih suka mengajak makan di warung pecel lele. Ia seakan ingin mengingatkan saya supaya mampu merawat salah satu masa sulit saya dalam membina hubungan, sebab dengan demikian kemesraan, keintiman, dan rasa syukur kami dapat terpelihara secara baik dan sehat.


Saya merasa sangat bersyukur, istri saya sangat memahami keadaan dan kebiasaan sedari dulu sampai sekarang. Begitupula dengan anak-anak yang tidak protes dan selalu belajar memaklumi seluruh rangkaian proses kami supaya dapat menjadi orang tua yang baik untuk mereka. Dengan demikian, pecel lele tidak hanya soal sambel, lele, ayam, bebek, tahu, tempe, terong, dan lalapan, tetapi terkait soal kenangan.




0 komentar: