Pekan lalu setelah lebih dari tiga tahun saya tidak bertemu langsung dengan kedua orang tua akibat tidak bisa mudik. Kami semua dipertemukan di Jogja dikarenakan ada acara keluarga. Saya mengajak istri, anak, dan mertua yang tujuannya ikut silaturahmi keluarga dan sekalian liburan.
Mula-mula saya berpikir adalah bagaimana saya
melepas rindu mendalam kepada orang tua dan saudara. Namun, ternyata tidak
demikian. Ternyata, paman dan bibi (istri dari almarhum paman) ikut datang ke
Jogja dari Madura. Saya pun baru menyadari setelah sampai di Jogja bahwa hanya
mereka berdua dan istri paman yang masih hidup. Lima lainnya telah meninggal.
Seakan tidak mau menyisakan jarak ruang
kebersamaan di usia senjanya. Saya mendapati Bapak dan Paman pergi salat ke
Masjid Gedhe Kauman atau pagi-pagi berjalan kaki mengitari Alun-Alun Utara.
Hanya mereka berdua, tidak ada yang lain. Ini semacam mereka ingin melipat
waktu puluhan tahun lalu sewaktu menjadi remaja yang selalu bersama untuk
berdagang atau bertani bersama saudara yang lain. Ini sebuah momen yang belum
tentu akan bisa ulang kembali.
Umumnya masyarakat di Madura, kami selalu
dinasihati agar selalu kompak, saling bantu, saling sayang, dan saling jaga.
Tentu ini merupakan hal tidak mudah bagi kami selaku anak dan cucu mereka.
Apalagi, sebagian besar memilih merantau dibandingkan hidup di Madura. Termasuk
saya sendiri.
"Jek koloppaeh se moleyah" (Bahasa Madura, artinya jangan lupa pulang) selalu pesan Bapak kepada saya dan saudara yang lain.
Makan bersama keluarga besar bagi seorang anak
bila telah dewasa atau berkeluarga adalah waktu dan momen yang sangat berharga.
Sebab, dengan berbagai alasan kesibukan dan kepentingan lainnya kerasa sulit
menemukan waktu. Seketika waktu begitu menderu pendek. Susah, sulit, dan tidak
bisa dibagi.
Barangkali, situasi berbeda ada waktu masih
kecil dan berkumpul bersama. Dimana suasana makan bukan lagi tentang menu,
tetapi soal rasa, porsi, siapa yang memasa, hingga ambil lauk saudara yang
belum makan yang umumnya telah dibagi orang tua pada saat memasak.
Makan bagi keluarga, wabil khusus keluarga di
Madura bukan selalu soal mengisi dengan makanan. Kami selalu dituntut makan
bersama apapun menu masakannya. Telor dadar bisa terbelah-belah, ikan menjadi
lebih asin, kerupuk tinggal remukan. Tetapi, makan harus bersama. Sebab bagi
keluarga kami pada saat makan bersama kami saling bertukar pikiran,
bercengkrama, hingga minta uang saku tambahan (biar pun itu sungguh sulit
terjadi).
"Makan yang kenyang. Nanti nggak perlu
jajan" sanggah ibu. Pokoknya selalu itu jawabannya kalau terkait uang saku
🤣
0 comments:
Posting Komentar