Bodoh Tapi Jadi Dosen

Sebagai anak kampung, lahir dari keluarga pas-pasan, dan dihantam krisis moneter. Sewaktu saya kelas 5 SD, saya memakai kresek untuk membungkus buku saya agar tidak basah. Saya tidak punya tas setelah tas dari kelas 1 tidak bisa dipakai lagi karena rusak. (unduh)


Namun, beruntungnya itu semacam hal lumrah bagi anak-anak sekolah di kampung saya waktu itu. Sebab kondisi kondisi mereka hampir sama dengan yang saya alami yakni babak belur ekonomi keluarganya. Bagi yang tidak kuat, pilihannya berhenti sekolah dan merantau. Hanya itu pilihannya. Kalaupun ada anak yang pakai tas dan memakai sepatu yang ada lampunya, itu hanya anak pebisnis tembakau sukses yang sedikit terkena krisis moneter atau orang tuanya sukses di tanah rantau.


Saya yang dibilang "bodoh" oleh teman SD dan pernah tidak naik kelas tetap bersekolah meski bukan karena pintar, melainkan karena saya senang belajar. Bahkan pada saat saya MTs. saya harus membagi waktu antara sekolah dan bekerja. Siang hari saya harus sekolah dengan berjalan kaki kurang lebih 7 Km, sementara malam harinya harus bekerja ared red (menata tembakau untuk dijemur). Maka, jadilah bola mata saya selalu merah karena kurang tidur. Persis maling ayam. Wkwk.


Kini, setelah lebih 20 tahun berlalu. Rasa-rasanya mentalitas itulah yang mendidik saya saat ini. Terus bekerja keras, tidak mudah menyerah, dan terus belajar meski dibilang bodoh. Hehe. Makanya, bila ada yang bertanya kapan saya bercita-cita menjadi dosen? selalu saya jawab itu baru tahun 2011, kira-kira setelah satu tahun lulus S1 dan memutuskan kuliah lagi. Saya merevisi cita-cita saya yang awalnya ingin menjadi pedagang. Saya hanya merevisi dan memperbesar cita-cita saya, bukan meninggalkan cita-cita saya. Itu sebabnya, meski saya memilih profesi sebagai dosen, tapi masih tetap berdagang melalui Penerbit Litera.


Di sisi lain. Saya selalu senang melihat adik tingkat, rekan sejawat, dan senior yang penuh prestasi akademik. Apapun bentuknya. Sembari saya belajar mengejar ketertinggalan jauh dari mereka. Ya, meski harus lebih banyak berkeringat dikarenakan seperti yang disampaikan teman SD saya di atas. Hehe.


Maka. Itu sebabnya setiap kali melihat polah anak saya Luna. Saya semacam melihat sebagian kelakuan masa kecil. 😁


0 comments: