Untuk kalian, Sahabatku.
Apa yang terjadi sekarang?. Kita kira ini adalah
akhir dari apa yang kita lakukan selama lima puluh lima tahun ini. Fase dimana
kita akan pensiun dari apa yang kita sebut sebagai aktivis. Situasi dimana
jarak kita kalungkan dan ego kita kibarkan. Tapi, nyatanya, tidak bisa bukan?.
Percaya atau tidak. Entah mengapa ikatan ini terasa
sulit sekali untuk aku lepas sendirian. Semakin ingin aku melepaskan ikatan. Untuk
hendak kabur dan mengacuhkannya. Malah justru semakin sering aku membincang dan
memikirkannya. Entah itu berasal dari diriku sendiri atau provokasi. Mereka menganggap
dirinya sebagai kader
Apakah ini, tulah sumpah diatas Qur’an dan obor
lilin tempo hari itu? Ataukah, jangan-jangan kita sudah sampai pada maqom kader? Ah, masa iya?. Setidaknya, itu yang
aku rasakan kini.
Mari acuhkan saja semua itu. Bukankan dari dulu
kita tidak pernah mempecayainya. Kader itu hanya ada dalam ruang hampa kegagalan,
umpatan, imajinasi, doktriner dan alibi. Sebagaimana kita bisa saksikan: tak
ada yang benar-benar berkader.
Ia hanya datang untuk keperluan, maksud, tujuan,
intrik dan modusnya sendiri. Demi rentetan kegiatan ritual-foto selfie. Demi deretan setifikat:
perkaderan formal-khusus. Demi akses jaringan: senior-junior, populer-partisan.
Demi pasangan idaman: Immawan-Immawati. Atau demi bungkusan kekuasan: tim sukses-capres.
Kalaupun ada hendak berkader. Itulah mereka yang
gila. Yang trouble maker.
Yang terbuang. Yang tak populer. Yang tak berpikir-bergerak biasa-biasa.
Kini. Memang benar adanya. Berkader seakan
kehilangan batas rasional, metodologi dan orientasi. Hingga tak mampu
menghadirkan resistensi dan refleksi. Tiap kali perayaan tahunan. Sementara,
menciptakan akademisi Islam yang berakhlak mulia tidak bisa dilakukan dengan
cara karbitan, instans dan singkat.
Biarkan saja itu berlalu secara percuma. Setidaknya
kita sudah pernah mengingatkan dan melakukannya. Sejauhmana yang kita bisa. Toh! Kita tidak mempercayainya,
bukan?
Cumi! Itulah yang pantas kita ucapkan sekarang. Kalau
kelelawar merah secara lebih cepat beradaptasi dengan cara mereka. Beradu dengan
keyakinan dan pilihan mereka. Sedang apa yang terjadi dengan kita saat ini? Tetap
setia dengan ketidakpercayaan kita itu.
Artefak kita. Yang sesaat lalu kita pahat bersama. Bekal
pensiun kita dimasa depan: cerita untuk anak cucu. Hingga kini masih mencari
kaum pembacanya sendiri. Apalagi, ia seakan dianggap dan dihujad sebagai angan
masa lalu. Yang tak tercapai dan tak teraplikasikan. Bukan sebuah gagasan yang
diproduksi dan dioperasikan bersama. Yang tampak terlihat terang benderang
hasilnya. Lewat filantropi gerakan, suksesi struktur, komitmen-loyalitas. Atau
aktefak itu sendiri.
Percayalah, mereka yang menghujad itu. Memang benar-benar
belum membaca, memahami, mengkonsep dan menggerakkan. Tentang sejarah, gagasan
perkaderan dan tentang masa depan.
Mari kita
pulang saja. Barangkali, bersama rumah pilihan kita masing-masing itu. Kita
menemukan tempat berteduh dan berbaring. Sekadar mengumpulkan tenaga, semangat
dan bekal. Untuk cita suatu hari nanti bisa membangun Rumah Perjuangan. Bukan
sekadar racau dan kicauku. tentang kaum merah satu, dua, tiga, empat dan
seterusnya. Tapi, rumah merah perjuangan yang sudah sering kita diskusikan
tempo hari. Banyak kamar, halaman dan ruang diskusi juga buku-buku. Tempat
dimana kita: akan berkumpul suatu hari nanti.
Bro! Sekalipun kita telah melepas baju aktivis. Semoga
Tuhan selalu merangkul kita semua. Dengan segala angan, gagasan dan impian kita.
Sebagai ikatan persahabatan dan saudara seperjuangan..
Kita ketemu lagi. Dalam waktu dan keadaan yang tak
biasa..
Sahabatmu—Rahim Merah
Ps : Diambil dari bab terakhir novel saya yang berjudul "Rahim Merah".
0 comments:
Posting Komentar