Dalam hidup. Segala sesuatu selalu mengalami siklus tertentu. Tidak terkecuali dalam musik dangdut
Dua pekan dalam sebulan. Biasanya saya pulang ke Majenang dengan naik bis. Kadang naik bis Bina Sehat Keluarga (BSK), Harum, Aladin, Sakura, Budiman dan Mandala—bis yang sering ngebut di jalan—khas Jawa Timur. Namun, hal paling unik dari serangkaian bis yang telah saya naiki tersebut adalah pengamen yang datang silih berganti.
Tentang pengamen di bis Purwokerto-lewat Majenang. Sebenarnya pada tahun 2014 lalu saya pernah menulis di blog ini dengan judul "Republik Pengamen" yang memuat mengenai lagu favorit pengamen Purwokerto—yang sarat dengan bagaimana getir dan satirnya kehidupan lingkungan mereka. Mulai dari lagu Iwan Fals, Slank, Opick hingga lagu berbahasa Jawa yang entah siapa penyanyinya.
Waktu pun berlalu, termasuk selera musik pengamen. Belakangan setelah booming sosok Via Vallen dan Nella Kharisma dengan lagu khas dangdut koplo. Turut meledakkan selera lagu para pengamen yang awalnya selalu getir dan satirnya lingkungan kehidupan mereka. Kini, saya lebih sering mendengar para pengamen menyanyikan lagu Via Vallen atau Nella Kharisma, ketimbang Iwan Fals, Opick dan lainnya.
Tentu saja. Hal tersebut bukan hal yang salah. Sebab bisa jadi lagu dangdut koplo yang mereka nyanyikan itu turut mewakili perasaan mereka. Toh! hampir rata-rata isi lirik dangdut koplo, baik yang dinyanyikan Nur Bayan, Via Vallen, Nella Kharisma hingga Sodiq selalu terkait dengan realitas kehidupan masyarakat. Tentang bagaimana realitas kehidupan anak jaman now dalam lagu Sayang, tentang cinta bertepuk sebelah tangan dalam Jaran Goyang, tentang kerja keras dengan tetap satu hati dalam lagu Aku Cah Kerjo—sampai dengan kehidupan domistik rumah tangga dalam lagu Bojo Galak. Ha!
Demam dangdut koplo pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari perkembangan musik dangdut secara umum. Menurut laman tirto.id dijelaskan dangdut koplo memiliki tabuhan "dang" lebih banyak dua kali daripada "dut" serta memiliki tempo tabuhan yang lebih cepat dari dangdut biasanya. Maka, dari alunan irama inilah yang menjadi asal mula istilah "koplo". Adanya istilah koplo merupakan konotasi dari pil koplo yang mudah diperloleh serta menyebabkan penggunanya nge-fly (berhalusinasi). Penyamaan istilah pil koplo dengan dangdut dikarenakan pil tersebut murah dan mudah didapatkan semua kalangan. Sehingga dalam pemaknaan yang lebih luas istilah musik koplo adalah musik rakyat (akar rumput).
Rasa-rasanya, makin meroketnya dangdut koplo menyababkan menipisnya mainstream batas selera musik seseorang. Barangkali, beberapa tahu tahun silam, musik dangdut selalu diidentik dengan selera musik orang ndeso yang seleranya rendahan, sementara anak gaul keceh berselera musik rock, hip hop, jazz—dan intinya bukan musik dangdut. Maka, kini saat dangdut koplo mampu menyihir alam bawah sadar seseorang menyebabkan dangdut pun menjadi selera bersama. Kalau tidak percaya, setel saja salah satu lagu Via Vallen, Nella Kharisma atau Sodiq. Setelah itu, saya jamin pasti akan terngiang-ngiang dalam isi kepala--dan secara refleks mulut bernyanyi dan jempol bergoyang.
Makin melambungnya dangdut koplo tidak mengherankan bila penghasilan ratu dangdut koplo seperti Via Vallen dalam sekali manggung bisa menerima honor sampai dengan 60 juta rupiah hal itu belum lagi dari ruang bisnis endorse, iklan, bisnis kue dan properti yang konon sampai dengan 1.5 miliar tiap bulannya. Sementara raja dangdut koplo Cak Sodiq yang memiliki ciri rambut gimbal dan ragam sensasi atas panggung untuk sekali tampil memasang tarif 20 juta rupiah bersih—bahkan berdasarkan laporan dari laman mojok.co dalam sebulan Sodiq bisa mengantongi pendapatan bersih hingga 227,5 juta. Sugih!
Nampaknya, industri dangdut koplo ini masih akan terus terang seterang lampu neon. Kalaupun mau dipaksa meredup, mungkin hanya bisa dilakukan oleh dua hal yakni: pertama, bis jurusan Jawa Timur-an berhenti menyetel dangdut koplo dan menggantinya dengan lagu Kangen Band. Kedua, meredupnya "ngiang-ngiang" salah satu lagu dangdut koplo dari dalam alam bawah sadar kita.
Kalau menurut saya sebagai realitas sosial. Ya, dinikmati saja dulu. Aselole!
Rasa-rasanya, makin meroketnya dangdut koplo menyababkan menipisnya mainstream batas selera musik seseorang. Barangkali, beberapa tahu tahun silam, musik dangdut selalu diidentik dengan selera musik orang ndeso yang seleranya rendahan, sementara anak gaul keceh berselera musik rock, hip hop, jazz—dan intinya bukan musik dangdut. Maka, kini saat dangdut koplo mampu menyihir alam bawah sadar seseorang menyebabkan dangdut pun menjadi selera bersama. Kalau tidak percaya, setel saja salah satu lagu Via Vallen, Nella Kharisma atau Sodiq. Setelah itu, saya jamin pasti akan terngiang-ngiang dalam isi kepala--dan secara refleks mulut bernyanyi dan jempol bergoyang.
Makin melambungnya dangdut koplo tidak mengherankan bila penghasilan ratu dangdut koplo seperti Via Vallen dalam sekali manggung bisa menerima honor sampai dengan 60 juta rupiah hal itu belum lagi dari ruang bisnis endorse, iklan, bisnis kue dan properti yang konon sampai dengan 1.5 miliar tiap bulannya. Sementara raja dangdut koplo Cak Sodiq yang memiliki ciri rambut gimbal dan ragam sensasi atas panggung untuk sekali tampil memasang tarif 20 juta rupiah bersih—bahkan berdasarkan laporan dari laman mojok.co dalam sebulan Sodiq bisa mengantongi pendapatan bersih hingga 227,5 juta. Sugih!
Nampaknya, industri dangdut koplo ini masih akan terus terang seterang lampu neon. Kalaupun mau dipaksa meredup, mungkin hanya bisa dilakukan oleh dua hal yakni: pertama, bis jurusan Jawa Timur-an berhenti menyetel dangdut koplo dan menggantinya dengan lagu Kangen Band. Kedua, meredupnya "ngiang-ngiang" salah satu lagu dangdut koplo dari dalam alam bawah sadar kita.
Kalau menurut saya sebagai realitas sosial. Ya, dinikmati saja dulu. Aselole!
0 comments:
Posting Komentar