Pertemuan Yang Belum Selesai

Tiap mengakhiri pertemuan kuliah diakhir semester. Entah, karena lebay. Saya selalu merasakan ada hal yang hilang atau ada yang belum selesai. Lebih-lebih, pertemuan tersebut adalah kelas semester tujuhyang kemungkinan besar tidak akan bertemu kelas lagi. Kecuali bagi para mahasiswa yang harus mengulang matakuliah saya. Itu pun jarangmalah nyaris belum pernah. 

Hal yang hilang dan yang belum selesai, tentu waktu untuk belajar bersama dengan merekapara mahasiswa yang mengambil matakuliah saya. Sekalipun, saya selalu menyadari bahwa kualitas mengajar saya di kelas biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tetapi, kehilangan bagi saya adalah sesuatu begitu sulit untuk saya jelaskan: makna dan suasananya. Oleh sebab itu, saya selalu memberikan selembar kertas kepada mahasiswa untuk menilai cara saya mengajar selama satu semester. Untuk memberikan sifat rahasia saya pun mensyaratkan agar mereka tidak perlu mencantumkan nama atau NIM dalam lembar penilaian tersebut

Jawaban yang diberikannya pun berbeda-beda. Ada yang menilai saya terlalu banyak memberikan materi kuliah, terlalu cepat dalam menyampaikan materi (lebih kepada gaya bicara), teknik mengajar yang monoton, harus lebih sabar, hingga ada yang menulis saya mengajar terlalu banyak duduk. Itulah sebagian penilaian yang saya dapatkan dari mahasiswa sayayang akan terus saya evaluasi diri tiap memasuki masa perkuliahan baru. 

Namun, khusus semester ini sengaja saya tidak memberikan lembar evaluasi diri. Hal tersebut saya lakukan karena dua alasan. Pertama, saya ingin memberikan ruang refleksi bagi diri saya untuk menilai diri saya sendiri. Sebab, bisa jadi apa yang selama ini sampaikan hanya berorientasi pada pemenuhan ruang-ruang kognitif, sehingga berakibat pada pemenuhan tercapainya materi pertemuan sebagaimana tertuang pada silabus. Sementara hal terpenting dalam proses pembelajaran adalah bagaimana tercapainya target materi. Ya target, bukan materi pertemuan. Sehingga proses pembelajaran tidak lagi berpaku pada portofolio pertemuan. Kedua, saya ingin melihat suasana kesadaran belajar, bukan hanya motivasi belajar yang sewaktu-waktu kabur dimakan hilangnya sang motivator. Sebab, kesadaran belajar pada hakikatnya akan menentukan bagaimana kita mengarungi proses pembelajaran secara integratif: mahasiswa belajar kepada dosen begitu pula sebaliknya. Bukankah semua ruang dan waktu itu adalah guru terbaik. 

Barangkali, proses saya belajar adalah proses yang belum selesai. Dan entah sampai kapan harus saya menjalaninya. Makanya, tiap akhir pertemuan kuliah semester tujuh. Semacam ada haru dalam dada yang belum saya temukan jawabannya. Kadang bahagia melihat mereka akan selesai kuliah, namun kadang pula merasa bersalah bila alumni masih belum menemukan pekerjaan alias menganggur. Tentu saja, apa yang saya rasakan ini, barangkali juga dirasakan oleh para pengajar lainnya.

Itu sebabnya, belajar adalah ruang dan waktu yang tidak ada putus-putusnya.


0 comments: