Menolak Ojek Online

Penolakan beberapa daerah terhadap keberadaan ojek/taksi online terus terjadi dengan alasan yang beragam. Bahkan penolakan tersebut berujung dengan keributan dan kekerasan. Adanya penolakan terhadap ojek/taksi online juga terjadi di Purwokerto Banyumas--yang ditandai dengan edaran bupati 'kiye bae lanjutna', termasuk diantaranya rencana membuat ojek online 'Nyong Jek).
Pada sudut pandang pandang pengguna--termasuk saya pribadi. Tentu, membutuhkan transportasi mudah, cepat, murah. Barangkali, hal inilah yang mampu ditangkap oleh para pendiri bisnis transportasi online. 
Misalnya, pagi ini saya dari terminal Bulu Pitu Purwokerto ke Stasiun Purwokerto, saya cek di aplikasi Gojek bila bayar tunai Rp. 10.000. Kemudian, saya pun naik TOP (tukang ojek pengkalan), si Abang TOP memasang tarif Rp. 25.000, tetapi saya pun menawar.
"20.000 aja mas. Sebagai penglaris" ujar Bang TOP menurunkan harga. Kami pun sepakat. Saya pun diantar ke stasiun.
Bila sudut pandang saya sebagai pengguna. Tentu saya rugi, sebab harus membayar dua kali lipat. Namun, dalam konteks relasi sosial saya untung: sebab saya mampu membangun interaksi sosial secara nyata mengenai kehidupan masyarakat--yang tidak mampu disediakan oleh semua lini aplikasi online. 
Mantra kata 'sebagai penglaris' Bang TOP adalah doa dan harapan apa yang dikerjakannya. Namun, di sisi lain. Adanya bisnis bersifat daring jelas tidak di tolak: apa pun alasannya sebagai sebab-akibat perkembangan teknologi. Dalam istilah Joseph Schumpeter disebut 'creative destruction'.
Jadi. Semua kembali pada kita sendiri untuk memutuskannya. 
Numpak sepur wae. 
Loh!


0 comments: