Semacam Pledoi Lamaran

Lima tahun lalu. Saya yang seorang mahasiswa magister tingkat akhir dan tidak memiliki pekerjaan memberanikan diri untuk melamar pacar (istri) saya dengan ala kadarnya. Waktu itu, saya memang harus segera melamar pacar saya tersebut karena desakan mertua: apakah saya benar-benar serius terhadap anak ragil perempuannya—yang telah saya pacari selama lima bulan dengan cara jarak jauh. Saya di Jogja dan istri saya di Majenang.

Dalam posisi yang agak dilematis. Saya pun harus menyakinkan kedua orang tua saya
—bahwa saya memang benar-benar serius untuk segera berkeluarga. Terlebih, jarak saya dilahirkan di ujung Jawa Timur dan setelah menikah saya pun harus menetap di ujung Jawa Tengah—sebagian bagian hukum kausalitas menikahi anak ragil orang Jawa. Belum lagi faktor akademik yang belum usai dan kondisi saya yang pengangguran menjadi persoalan lain mengapa orang tua saya butuh ruang lobi yang tidak cukup sekali. Terkait saya mengganggur--sebenarnya saya memang memilih untuk tidak bekerja selama bulan secara berturut, termasuk diantaranya mengebiri sendiri bisnis usaha yang telah jalani. Hal tersebut saya lakukan agar tesis kuliah saya kelar tepat waktu demi terhindar dari tambahan biaya biaya paket kuliah. Maklum saja, saya kuliah S2 dengan biaya sendiri. 

Kembali lagi pada masalah lamaran. Akhirnya, setelah mengalami berkali-kali pembicaraan orang tua saya pun merestui saya melamar pacar saya.

Pada 5 September 2013 dengan bermodal cincin emas 2 gram
—yang saya beli dari sisa modal usaha jualan buku, catering dan gorengan yang telah gulung tikar. Saya pun nekat melamar pacar saya yang telah bekerja di salah satu bank nasional itu dengan cara yang menegangkan. Mulai dari adik saya yang baru punya SIM harus menyetir mobil yang penuh penumpang anggota keluarga, hingga saya pun harus melaksanakan adat Madura—yakni harus meminta (bicara) sendiri—untuk melamar pacar saya di tengah kepungan anggota keluarga kami berdua.

Syukur, Alhamdulillah. Allah Tuhan pemegang segala kuasa hati, kehidupan dan status sosial. Melapangkan lamaran saya tersebut dengan hasil: DITERIMA. Dan tanggal akad nikah pun diketok palu.

Bahkan saking nekat dan tegangnya proses lamaran tersebut. Adik saya yang mengetag foto prosesi lamaran saya dari laman Facebooknya ini pun tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa menyetir mobil dengan jarak tempuh ratusan kilometer itu. 

"Kalau dipikir-pikir sekarang. Aku kok bisa nyetir sampai Majenang dengan jalan naik-turun-belok itu? Kayaknya dulu itu dituntun malaikat. Asli! aku nggak kuat kalau disuruh ulang lagi hari ini" kenang adik saya sore tadi yang sedang main ke Purwokerto.

Namun, hal terpenting dari semua itu adalah tentang desakan mertua saya. Sebab pasca lamaran tersebut kesehatan bapak mertua saya terus menurun, hingga harus melakukan cuci darah sebanyak dua kali dalam seminggu—dokter memvonis beliau gagal ginjal. Barangkali, desakan mertua saya tersebut semacam isyarat agar tanggung jawab sebagai orang tua diselesaikan sebelum sakitnya kian memburuk. Allah pun memang selalu punya rencana terbaik, bapak mertua saya meninggal pada tanggal 27 Maret 2016 bertepatan dengan tanggal lahir anak saya Luna dan bulan lahir saya.

Saya pun menyadari bahwa segala hal yang harus saya jalani pada saat lamaran hingga menjalani pernikahan adalah pilihan. Maka, sebagai sebuah pilihan, saya pun tidak akan pernah menyesali segala proses yang telah dijalani selama ini, sebab saya sangat meyakini semua orang akan menemukan jalannya sendiri dalam proses dan mengarugi samudera rumah tangganya. Barangkali, itu sebabnya pernikahan selalu menghadirkan segala macam kejutan-kejutan. Aha!

Terakhir. Semoga mertua sayaAchmad Abdul Aziz selalu mendapatkan tempat terindah disisi Allah. Amien YRA.


0 comments: