Hal paling tidak mengenakkan menjadi mahasiswa saat sudah memasuki semester tua. Kira-kira antara semester 6 sampai 8—bila lebih dari itu menjadi mahasiswa aselole (asal lulus'e). Dianggap tidak enak, sebab segala bentuk persoalan mengenai kuliah yang tadinya sebelum kuliah—anak kuliahan itu keren: tidak pakai seragam, kuliah bisa siang, kongkow larut malam, dan anak gaul masa kini. Namun, ternyata kenyataan berbanding terbalik dengan harapan mengawang itu.
Pada rentang masa semester Tua itu. Munculnya pertanyaan kapan lulus, kapan wisuda, kapan nikah semacam pertanyaan yang selalu datang kapan, dimana, dan oleh siapa saja. Apalagi, kalau sudah memasuki hari raya lebaran, pertanyaan itu lebih banyak ketimbang angpau yang kita terima. Tapi, sabarlah para kaum semester Tua. Saya juga mengalami hal yang sama, sebab S1 saya selesaikan selama 4 tahun 8 bulan 10 hari. Atau tepatnya 5 tahun. Saya pun mahasiswa aselole!
Beberapa hari terakhir. Mahasiswa saya—sebutlah mereka mahasiswa semester tua. Begitu galau dengan rencana kelulusan mereka yang bisa jadi tidak bisa lulus tepat waktu. Persoalanya terbilang sederhana, tetapi berdampak sistemik dalam kehidupan yakni mereka belum mendapatkan syahadah (sertifikat) mengaji yang menjadi salah satu syarat mengikuti KKN. Jadi, di kampus saya mengajar: mampu membayar untuk kegiatan KKN dan IPK tinggi saja tidak cukup, tapi harus bisa mengaji, Maka, jadilah lembaga yang mengurusi syahadah di kampus mendadak seperti stasiun kereta api jelang lebaran. Saya hanya menyarankan agar mereka tetap semangat untuk belajar mengaji. Bila pun telat mendapatkan syahadah untuk persyaratan KKN, setidaknya mereka sudah mendapatkan pahala dari usahanya mempelajari sumber utama ajaran agama Islam. Toh! tidak kata terlambat untuk belajar agama, bukan? dan tentu saja, saran saya tersebut tidak menyelesaikan persoalan yang dihadapi mahasiswa tersebut.
Pada dasarnya para mahasiswa aselole memiliki prinsip: lulus cepat itu pilihan. Lulus cepat tanpa memiliki kemampuan softskill dan kekuatan jaringan hanya menyebabkan pembengkakan penggangguran pada level sarjana di negeri ini. Sementara lulus lama pun terpecah menjadi 3 klan yakni, pertama, memilih lulus lama secara ideologis—kelompok ini biasanya para aktivis kampus yang keseharian dan malamnya berada di lingkungan kampus, entah diskusi, kongkow-kongkow, gitaran atau ngegame di sekre organisasi. Kedua, lulus lama karena alasan terkendala pembiayaan, sehingga lulus cepat bukanlah orientasi yang harus segera dikejar, sebab menyelesaikan kuliah seberapa pun lamanya harus dilaksanakan—maka, klan inilah yang harus diprioritaskan untuk bela (kaum mustadh'afin). Ketiga, lulus lama karena urusan fakir asmara, entah karena terlalu lama menjomblo atau tidak acuh terhadap perasaan dalam batinnya yang terlalu lama sendiri atau merasa mender karena tidak ada pendamping saat foto wisuda—klan ini selalu punya alasan tersendiri yang selalu unik.
Kekuatan mahasiswa aselole ini terletak pada imunitas kejiwaannya menghadapi para pimpinan kampus—dalam segala hal apapun. Maka, kalaupun ada mahasiswa yang offsite dari klan ideologis, kendala biaya, dan fakir asmara. Seperti nilai jelek, nilai tidak keluar, tidak lulus—hal ini lebih didasarkan pada ketidakmampuan diri dalam membaca pikiran dan perasaan para dosen. Jadi, tidak mengherankan bila ada mahasiswa nilainya jelek, sementara ia selalu hadir dalam tiap pertemuan perkuliahan dengan keadaan raga dalam kelas dan pikiran berada sama sang mantan. Tapi, bagaimana pun, semuanya harus dinikmati sebagai proses.
... Proses menjadi menjadi manusia beken: sarjana. Yang memberi manfaat dan inspirasi terhadap diri dan laingkunganya.
Pada dasarnya para mahasiswa aselole memiliki prinsip: lulus cepat itu pilihan. Lulus cepat tanpa memiliki kemampuan softskill dan kekuatan jaringan hanya menyebabkan pembengkakan penggangguran pada level sarjana di negeri ini. Sementara lulus lama pun terpecah menjadi 3 klan yakni, pertama, memilih lulus lama secara ideologis—kelompok ini biasanya para aktivis kampus yang keseharian dan malamnya berada di lingkungan kampus, entah diskusi, kongkow-kongkow, gitaran atau ngegame di sekre organisasi. Kedua, lulus lama karena alasan terkendala pembiayaan, sehingga lulus cepat bukanlah orientasi yang harus segera dikejar, sebab menyelesaikan kuliah seberapa pun lamanya harus dilaksanakan—maka, klan inilah yang harus diprioritaskan untuk bela (kaum mustadh'afin). Ketiga, lulus lama karena urusan fakir asmara, entah karena terlalu lama menjomblo atau tidak acuh terhadap perasaan dalam batinnya yang terlalu lama sendiri atau merasa mender karena tidak ada pendamping saat foto wisuda—klan ini selalu punya alasan tersendiri yang selalu unik.
Kekuatan mahasiswa aselole ini terletak pada imunitas kejiwaannya menghadapi para pimpinan kampus—dalam segala hal apapun. Maka, kalaupun ada mahasiswa yang offsite dari klan ideologis, kendala biaya, dan fakir asmara. Seperti nilai jelek, nilai tidak keluar, tidak lulus—hal ini lebih didasarkan pada ketidakmampuan diri dalam membaca pikiran dan perasaan para dosen. Jadi, tidak mengherankan bila ada mahasiswa nilainya jelek, sementara ia selalu hadir dalam tiap pertemuan perkuliahan dengan keadaan raga dalam kelas dan pikiran berada sama sang mantan. Tapi, bagaimana pun, semuanya harus dinikmati sebagai proses.
... Proses menjadi menjadi manusia beken: sarjana. Yang memberi manfaat dan inspirasi terhadap diri dan laingkunganya.
0 comments:
Posting Komentar