Barangkali, masih melekat
dalam pikiran kita mengenai kasus cinta segitiga Hafidz, Syifa
dan Sara. Hingga Sara ditemukan
tergeletak dipinggir Jalan Tol Bintara KM 49 Bekasi dengan keadaan telah tidak bernyawa. Peristiwa ini berawal
dari kecemburuan Syifa—yang telah menjadi pacar Hafidz, tetap membangun
komunikasi dengan Sara padahal keduanya telah putus—tidak ada hubungan asmara.
Kasus yang melanda Hafidz, Syifa dan Sara oleh banyak kalangan
dianggap sebagai salah satu kenalakan remaja yang berakibat fatal serta sudah
merugikan orang lain.
Usia remaja memiliki
rentang usia antara 12 sampai dengan 21 tahun. Pada rentang usia tersebut
secara seorang remaja senantiasa memiliki tingkat keingintahuan yang cukup
tinggi, termasuk diantaranya ingin melakukan, menunjukkan dan memberitahukan
tentang identitas dirinya. Oleh sebab itu, keberadaan komunitas pergaulan
kadangkala menjadi salah satu faktor bagaimana seorang remaja membentuk
mentalitas dan perilakunya. Selain itu, minimnya kontrol keluarga juga menjadi
faktor lain dimana seorang mencari pelampiasan, perlindungan, dan pengakuan
melalui komunitas yang diikutinya.
Bila kenakalan remaja dipandang sebagai penyakit dalam
kehidupan remaja atau masyarakat secara umum. Maka, hal yang paling penting
untuk dilakukan oleh semua pihak adalah mendiagnosis bagaimana penyakit
tersebut terjadi, penyebab dan dampaknya terhadap kehidupan remaja. Oleh sebab
itu, para remaja yang tervonis mengalami penyakit kenakalan remaja senantiasa
harus dilakukan pendampingan dan pengobatan sesuai dengan kadar tingkat
kesalahan yang telah dilakukannya. Tentu saja, tindakan alienasi dan pengucilan
hendaknya dihindari agar para remaja tersebut mampu menyadari—bahwa apa yang
dilakukannya: salah!
Maka, upaya menghadirkan kebiasan berdialog dalam setiap
ruang kehidupan remaja mutlak untuk dilakukan. Sebab, adanya ruang dialog akan
menyebabkan seorang remaja akan lebih mudah menyampaikan ide dan gagasan
kreatif serta dapat diaktualisasikan dalam berbagai bentuk, baik bersifat
komunitas maupun organisasi. Selain itu, kebiasaan berdialog juga memberikan
ruang aktualisasi bagi eksistensi remaja dalam menyalurkan bakat yang
dimiliki—yang bisa jadi tidak pernah terbayangkan oleh para generasi sebelumnya
yang biasanya hanya melihat kehidupan remaja—dalam perspektif kehidupan masa
lalunya.
Persoalan selanjutnya adalah memposisikan diri—kita—dalam
memandang posisi remaja yang telah terlampau jatuh dalam kubangan berbagai
bentuk kenakalan remaja, seperti tawuran, narkoba, miras, rokok, dan seks
bebas. Kita akan terlibat sebagai hakim dalam memberikan berbaga stempel yang
bisa melekat secara negatif terhadap sang remaja tersebut selamanya. Ataukah
kita dengan “berani” memahami kondisi mereka—dengan memberikan segenap
perhatian dan upaya dalam menyadarkan mereka untuk menjadi manusia baik—yang
seutuhnya. Maka, disinilah kita akan menemukan tantangan baru bahwa: sebaik-baik
manusia adalah mereka yang bermanfaat terhadap orang lain. Jadi, pilihannya
hanya sekadar tukang hujad ataukah pemberi solusi.
Buku berjudul Nakal ini merupakan hasil mini riset yang
dilakukan oleh mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Purwokerto yang mengambil matakuliah Aplikasi Komputer Pendidikan semester
Gasal 2016/2017. Kegiatan mini riset ini dilakukan secara terencana dan terbuka
kepada salah satu remaja yang dianggap telah memenuhi perbuatan kenakalan
remaja. Upaya ini dilakukan para remaja yang menjadi informan dalam mini riset
ini menyadari kesalahan atas turbulensi pergaulan dan kebiasaannya serta agar memberikan dampak pembelajaran bagi para
remaja yang lain supaya tidak terjatuh pada lubang kesalahan yang sama. Selain
itu, para informan yang disebutkan dalam buku ini sengaja tidak menggunakan
nama sebenaarnya. Hal ini dilakukan agar tidak semakin memberikan citra
negatif—terhadap diri dan kesalahan yang dilakukan oleh para informan dalam buku
ini.
Buku ini merupakan edisi
ketiga dan terakhir. Setelah sebelumnya telah terbit buku Menggugat Tuan
Presiden (2015) yang berisi surat mengenai dunia pendidikan di Indonesia
yang ditujukan kepada Tuan Presiden. Dan buku Jalan Panjang Sang Pahlawan
(2016) yang berisi mengenai mini riset kehidupan guru honorer atau guru wiyata
bakti yang sampai hari ini mengalami banyak persoalan dilematis. Oleh sebab
itu, hadirnya buku berjudul Nakal ini senantiasa melengkapi berbagai
potret dunia pendidikan kita: Indonesia. Maka, tidak berlebihan bila saya
menyebut kehadiran ketiga buku tersebut sebagai buku trilogi dunia pendidikan
dalam sudut pandang mahasiswa.
Ibarat perpisahan. Saya
merasa perlu mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh penulis buku
trilogi ini—yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, apalagi sebagian telah
menjadi alumni. Sebab saya menyadari bahwa buku trilogi ini tidak sempurna sebagaimana
lagu “Sempuna” Andra&Backbound. Tetapi, saya selalu percaya bahwa semua
penulis buku ini memiliki kegelisahan yang sama dengan para pegiat dunia
pendidikan di negeri ini dengan segala bentuk persoalannya. Selain itu, saya
meminta maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan selama saya mengampu
Matakuliah Aplikom Pendidikan ini—karena dosen juga bukan manusia sempurna.
Terakhir. Percayalah.
Semua tulisan akan menemukan pembacanya sendiri. Selamat berkarya untuk yang
berikutnya.
Dua Buku Sebelumnya :
Menggugat Tuan Presiden (2015) Jalan Panjang Sang Pahlawan (2016)
0 comments:
Posting Komentar