Kanda Djazman,
Sengaja saya kirim
surat ini dengan cara sederhana. Ya! sederhana. Sebab, saya menuliskannya
dengan rangkaian kesibukan dan riuh perayaan milad Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) yang kini telah memasuki usia 53 tahun miladiyah. Organisasi
kemahasiswaan yang dulu pernah Kanda gawangi kelahirannya. Barangkali, tidak
bisa dibayangkan—jika dulu Kanda dan rekan-rekan Kanda enggan menjadi pelopor
lahirnya ikatan ini. Barangkali, hari ini saya tidak akan melakukan pertandingan
futsal, jalan sehat, pentas seni, reuni, dagelan, dan ikut buat buku kumpulan
tulisan.
Kadang-kadang,
dalam beberapa hal saya: terlampau miskin kreativitas, Kanda. Bagaimana tidak,
untuk sekadar mengadakan rangkaian kegiatan milad Ikatan yang berlangsung tiap
tahun ini saja—saya belum mampu menghadirkan refleksi dan resistensi secara
mendalam untuk gerakan ini di masa depan. Selain itu, barangkali saya terlampau nakal
sebagai kader—atau lebih tepatnya sebagai junior. Sebab, entah kapan pertama
dan terakhir kali, saya memanjatkan doa kebaikan untuk Kanda. Tentu, bukan
untuk mengkultuskan, melainkan untuk sekadar mengingatkan rasa terima
kasih—sebagai junior atau bapak ideologis. Saya hanya mampu menyebut nama Kanda
dalam beragam deretan huruf, lebel bendera, gedung dan papan sekretariat. Tetapi,
bagaimana pun, barangkali hal inilah proses yang harus lalui—untuk memahami
bagaimana menjadi kader yang sesungguhnya.
Kanda Djasman
yang baik,
Dalam sebuah
kesempatan, Yunda Elida begitu bersemangat menceritakan bagaimana proses awal
Ikatan ini dibentuk dan gerakkan. Dengan nada tegas Yunda Elida meniru ucapan
kanda bahwa “IMM itu masa depan. Para
pemimpin masa depan yang berintelektual, seperti yang ada dalam lagu IMM yakni cendikiawan
berpribadi. Jadi, jangan dilihat sekarang, lihat kedepannya”. Begitu kata
Yunda.
Hingga saat ini, agaknya Yunda Elida tidak
pernah merasa lelah untuk memberikan dorongan mengenai kesadaran kolektif bagi
para kader penerus ikatan ini. Baginya, apa yang ia lakukan merupakan tanggung
jawab moral yang harus diselesaikan tanpa mengenal waktu dan usia. Sehingga, bila
kini, banyak orang gelisah mengenai pentingnya masalah kuliatas moral yang
berpribadi. Baginya, Ikatan ini sudah membicarakannya sejak dari setengah abad
yang lalu atau secara ideologis telah ada sejak zaman para Nabi.
Barangkali, Kanda juga tidak akan lupa:
bagaimana ikatan ini mendapatkan restu dari presiden Soekarno atau bagaimana
simbol bendera Ikatan ini diberi warna merah. Semua itu, tentu saja bukan serba
kebetulan yang terjadi secara tiba-tiba. Sehingga kelahiran Ikatan ini semacam
dianggap kecelakaan sejarah, bukan lagi
tuntutan sejarah untuk kebutuhan besar persyarikatan di masa depan dengan
ribuan amal usaha yang dimiliki. Terlepas dari semua itu, kejadian tersebut
diatas sama halnya dengan kisah pertemuan Kanda bersama Yunda serta sepeda
onthel dan makan Kiai Dahlan—yang kesemua itu tidak serba kebetulan, tetapi
takdir dan tuntutan sejarah.
Kanda Djazman yang baik,
Perjalanan Ikatan yang tengah memasuki abad
satu abad ini. Telah banyak kemajuan yang telah dicapai oleh lapisan generasi Ikatan,
tidak hanya di dalam negeri melainkan juga di luar negeri. Bahkan ada beberapa
kader yang mengusulkan agar Kanda diusulkan menjadi pahlawan nasional, sebagaimana
hal yang dilakukan kawan sebelah yang mengusulkan Lafran Pane sebagai pahlawan
nasional.
Tetapi, saya yakin Kanda tidak butuh
pengakuan. Sebab, Kanda telah harum dan hidup dalam tiap relung hati para kader
Ikatan ini yang siap melakukan perubahan positif dalam kehidupannya diri dan
masyarakat di sekitarnya. Maka, benar saja apa yang menjadi ramalan Kanda
sekiar 25 tahun lalu bahwa “perubahan-perubahan yang terjadi di
masyarakat sejak IMM berdiri sampai sekarang, sebenarnya dapat menjadi peluang
bagi setiap organisasi apa saja, untuk menempatkan diri secara layak
ditengah-tengah arus perubahan itu. Tapi ironiknya, perubahan sering dipandang
sebagai gugatan, dan yang sering muncul adalah reaksi dan defense mechanism yang
menguras energi, disamping konflik intern yang ditimbulkan oleh perbedaan
interpretasi mengenai esensi perubahan itu”. Selebihnya, bila ada yang tidak
sesuai sesuai dengan harapan kita bersama, barangkali hal tersebut patut
dimaklumi sebab berdasarkan hasil survei terhadap kader Ikatan se Indonesia tahun
2014 menujukkan 65% kader dalam Ikatan ini bukan berasal dari keluarga, sekolah
dan lingkungan Muhammadiyah. Itu, kanda.
Kanda Djazman
yang baik,
Diakhir surat
ini. Barangkali, kita sama-sama memiliki harapan besar terhadap perkembangan
dan eksistensi gerakan Ikatan ini ke depan—dengan segala bentuk refleksi dan
resistensinya. Sehingga tujuan terbentuknya akademiki Islam yang berakhlak
mulia, benar-benar mampu terwujud serta menjadi identitas bersama yang mengakar
kuat dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat.
... abadi perjuangan!
0 comments:
Posting Komentar