Saya salah satu orang yang percaya bahwa: seseorang yang telah berumah tangga akan mengalami perubahan berpikir dan bersikap. Ungkapan ini sering diungkapkan oleh orang tua di kampung saya (Madura) kepada anaknya akan dan hendak berumah tangga.
Barangkali. Bagi sebagian orang, ungkapan tersebut diatas terasa agak terlalu berlebihan. Atau paling jauh ungkapan tersebut hanya berlaku pada tiga bulan pertama pernikahan. Selebihnya, setelah itu—akan terasa biasa-biasa saja. Sebab semuanya dihadapkan pada serangkaian perbedaan, ketidakromantiasan dan ketidakperubahan seseorang. Alias kembali kepada watak awal sebelum menikah. Bila perangainya baik, maka akan tetap baik. Begitu pula sebaliknya.
Namun, bagi saya ungkapan tersebut tidaklah mengada-ada: Benar!. Sebab, secara pribadi saya semacam dihadapkan pada sebuah situasi, dimana saya sangat merasa lebih tenang dengan kondisi yang sekarang—setelah menikah. Dulu, sebelum menikah emosi saya cenderung lebih mudah meledak, gampang marah, reaktif—dan kadang-kadang terasa bisa melakukan sesuatu hal secara heroik. Barangkali, karena saya terlahir dari kultur masyarakat dan alam Madura yang keras atau kerena kehidupan lingkungan saya bergaul yang tidak jarang lebih sering mengajarkan tentang perlawanan terhadap berbagai tindak kemapanan.
Bahkan karena perangai saya tersebut. Mertua saya, sebelum saya menikahi anaknya. Cenderung enggan memiliki menantu dari ras Madura. Beliau tidak mau anaknya terjatuh pada lubang kekerasan rumah tangga. Padahal, kan tidak semua orang Madura memiliki perangai keras sebagaimana banyak terekspos selama ini—termasuk pada diri saya sendiri. Namun, karena kekuatan cinta saya kepada istri saya. Ehem! saya mampu menaklukkan benteng kokoh hati mertua saya.
Setelah menikah. Perangai buruk saya tersebut. Perlahan memudar. Meski tidak keseluruhan. Tetapi, lumayan cukup untuk menutup segel amarah sebagaimana terjadi pada Naruto yang mampu menahan kekuatan segel Srigala berekor sembilan dalam tubuhnya. Apalagi, setelah pernikahan saya dan istri lewat satu tahun baru dikaruniai Luna (Revoluna Azalia Makhadi). Rasanya, segala sesuatu dalam bathin dan alam pikiran saya menjadi meleleh. Saya lebih sering memilirkan hal-hal kecil bahkan sepele untuk menjadi bekal untuk perjalanan kehidupan kami kedepan. Dan selalu belajar mencintai istri saya dengan hal-hal terkecil yang diperbuat dan kebiasaan buruknya. Apalagi, keberadaan Luna semacam mampu merubah perangai saya, baik dalam berpikir dan bersikap. Mungkin, itulah satu keajaiban mengapa saya dan istri memberinya nama Revoluna pada nama depannya.
Tidak hanya itu, secara perlahan penyakit insomnia dan kebiasaan lupa saya semakin terlatih menjinak. Saya mulai terbiasa tidur lebih teratur dan mencatat hal-hal yang sering saya lupakan. Barangkali, itulah mengapa orang tua saya dan orang tua di kampung saya memiliki tetuah tersebut diatas. Hakikatnya, berumah tangga semacam mengajarkan kita berani melakukan perubahan-perubahan untuk mencapai keseimbangan-keseimbangan tertentu dalam hidup. Jadi, berbahagialah mereka yang telah menikah!
0 comments:
Posting Komentar