Tawa Ahok

Selama ini saya telah menahan diri untuk tidak tidak mengomentari tentang apa pun tentang Pilkada DKI. Tapi, entah mengapa kok rasanya tidak kuat menahan nafsu untuk sekadar meracau tentang proses politik yang mengharu biru itu. Nyaris semua media sosial menjadikan topik Pilkada sebagai bagian perbindangan tidak ada habis-habisnya. Bahkan hape saya yang merk China pun harus hang, akibat tidak kuat menahan file percakapan dan sampah gambar dalam berbagai grup WatstApp--yang saya dipaksa masuk menjadi anggotanya.

Ihwal hape hang inilah yang menjadi pemicu saya ikut meracau. Sebagaimana halnya Ahok yang cukup kesal menjelasankan--bahwa ia tidak berniat melecehkan agama yang tidak imaninya. Sampai menyeretnya duduk di kursi pesakitan dengan rentetan sidang berseri. Tidak hanya itu, percakapan tentang Ahok semacam menjadi khas buah bibir media sosial--entah mereka yang mendukung dan memusuhinya. Bagi mereka yang Anti-Ahok apapun yang dilakukan Ahok selalu menjadi bensin yang mendekati tungku masak mesin politik. Sementara yang Pro-Ahok, dialah sosok pemimpin tegas dan apa adanya--dengan segala macam tulah omongannya.

Kemenangan Ahok berdasarkan hitung cepat lembaga survei, memberikan gambaran bagaimana angin politik dapat berhembus dan membadai kemana saja: sesukanya sendiri. Ahok semacam menjawab kritik dan kasus penistaan agama yang menyapanya belakangan ini dengan kemenangan. Ya! menang. Bukan sekadar kira-kira. Bahkan bisa jadi, ia akan menjadi lebih pede atau kepedean untuk bisa bertarung pada putaran kedua Pilkada DKI, karena ia mampu melewati lubang cacing yang belakangan ini diri dan elektabilitasnya. Pada titik ini--saya akan menggunakan kata "seandainya" yang beberapa waktu lalu saya dicecar habis-habisan dengan kata itu. 

Ya! seandainya. Saya mau pakai kembali. Seandainya Ahok memenangkan putaran kedua. Maka, ia akan tertawa terpingkal-pingkal terhadap para lawan politik yang selalu mendiskreditkan dirinya. Termasuk para nitizen yang selama ini begitu shalih memberitakan keburukan dan kesalahannya. Bisa jadi Ahok akan tertawa lebih keras sebagaimana ia telah lakukan pada saat si Mpok tidak mampu memberikan pertanyaan kepada Mas Anies dalam debat kedua jelang Pilkada atau pada saat ia teringat Fitsa Hats. Namun, bisa jadi Ahok tidak akan tertawa--tetapi, memberikan kesempatan terhadap Bang Djarot untuk menjelaskan mengenai kebaikan diri dan lawan-lawan politiknya: sebagaimana terjadi pada debat terakhir beberapa waktu lalu. Itupun kalau seandainya Ahok menang--kalau kalah? Entahlah.

Lantas. Apa sebenarnya arah tulisan yang sedang saya ini? Mendukung atau memilih Ahok? Tentu saja tidak. Karena saya ber-KTP sudah Cilacap dan sudah mencoblos nomor dua, meski bukan gambar dan nama Ahok. Soal Ahok menjadi Gubernur DKI biarlah para pemegang paku coblosan, palu hakim persidangan dan Mendagri yang menentukan. Saya kurang nyaman melihat perilaku dan suka umbar perilaku orang lain yang begini begitu tanpa melihat pada lentara hatinya sendiri. Atau bahkan pada refleksinya sendiri.

Ingin Tawa Ahok? Setel saja Metro dan Kompas TV.

 *Gambar : Kompas.com

0 comments: