Seminggu lalu. Saya dikagetkan dengan keadaan Luna yang muntah sebanyak empat kali selama sehari. Saya baru tahu karena istri saya mengabari hal tersebut siang dan sore harinya. Awalnya, saya mengganggap hal tersebut biasa saja—mungkin karena masuk angin. Karena, malam hari sebelumnya ia pulang malam dari rumah yang momong (mengasuh) Luna. Tetapi, menjelang maghrib saya pun dikabari oleh yang momong Luna. Kalau Luna sudah muntah yang keempat kalinya. Saya pun menelpon istri saya yang masih berada di kantor—dan berencana lembur, untuk segera membawa Luna ke dokter anak biasanya Luna periksa. Alhasil, menurut diagnosis dokter, Luna mengalami dehidrasi. Awalnya, saya tidak percaya Luna bisa dehidrasi. Sebab, ia suka minum susu dan air putih. Namun, barangkali, karena cuaca yang tidak menentu menyebabkan daya tahan tubuh Luna tidak bisa menangkal penyakit dari luar. Ia pun terpaksa harus di infus dan disarankan untuk di opname.
Mendengar hal tersebut. Saya pun bergegas pulang dari Purwokerto ke Majenang, meski baru mendapat bis jam 22.30 dan sampai Majenang jam 01.30. Saya langsung menghapiri Luna yang sedang tidur berbaring dengan tangan yang sudah berinfus. Terus terang, saya tidak kuat melihat Luna dengan jarum suntik yang menancap di lengan kirinya. Apalagi, ini hal baru pertama kali Luna sakit yang menyebabkan ia harus opname. Namun, bagaimanapun hal ini merupakan perlawanan tubuh Luna terhadap penyakit dari luar tubuhnya. Jauh dari semua itu. Kejadian ini menjadi ruang dimana—saya, istri dan Luna berkumpul bersama. Barangkali, karena hal itulah Luna seperti tidak merasakan sakit sama sekali. Hal itu terlihat dari sikap Luna yang tetap bermain seperti biasanya, meski dalam keadaan saat sakit dengan tangan terinfus.
Bila pada hari-hari normal. Tidak sedikit beberapa kolega
yang bertanya: susah sekali menyediakan waktu untuk kerjaan di akhir pekan?
Adapula masalah saya tidak bisa mengisi acara kegiatan kemahasiswaan yang dilaksanakan
di akhir pekan. Bahkan saya juga harus
bergegas pulang bila ada kegiatan di luar kota untuk segera pulang bila sudah
sampai akhir pekan. Akhir pekan bagi saya—waktu yang
sangat istimewa. Yang tidak boleh diganggu oleh kegiatan apapun. Bila hal tersebut
tidak sangat mendesat dan penting. Tentu, saya hendak menyepelekan pekerjaan
dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan saya. Namun, saya juga
harus berlaku adil terhadap keluarga saya—anak dan istri, yang hanya bisa
bertemu pada saat akhir pekan dan libur saja. Ya! ini tentang masalah pribadi
keluarga saya.
"Luna sakit ini, pa agar kita bisa kumpul bareng ya, Yah?" tanya istri saya keesokan harinya—saat melihat Luna bermain seperti biasanya.
"Mungkin bisa jadi begitu" jawab saya sambil mengangkat kedua alis.
"Ih, nyebelin banget sih" ucap kesel saya sambil mencubit perut saya yang mulai membuncit.
"Hehe! Kita ambil hikmahnya aja. Mungkin bisa jadi begitu" jawab saya sambil mencium pipi istri saya—dan kabur menghampir Luna yang sedang bermain di sofa.
Luna semacam mengajarkan bagaimana kami harus mencintai secara tulus—dan merayakan kangen kami.
"Luna sakit ini, pa agar kita bisa kumpul bareng ya, Yah?" tanya istri saya keesokan harinya—saat melihat Luna bermain seperti biasanya.
"Mungkin bisa jadi begitu" jawab saya sambil mengangkat kedua alis.
"Ih, nyebelin banget sih" ucap kesel saya sambil mencubit perut saya yang mulai membuncit.
"Hehe! Kita ambil hikmahnya aja. Mungkin bisa jadi begitu" jawab saya sambil mencium pipi istri saya—dan kabur menghampir Luna yang sedang bermain di sofa.
Luna semacam mengajarkan bagaimana kami harus mencintai secara tulus—dan merayakan kangen kami.
Terima kasih, anakku Luna. Yang telah memberi peringatan akan perlunya kehangatan bagi kita sebagai keluarga yang utuh—dan mudah-mudahan kita akan selalu belajar untuk saling mengutuhkan.
0 comments:
Posting Komentar