Beberapa yang waktu lalu. Saya pernah meretweet sebuah ciutan dalam akun Twitter saya terkait berita meninggalkan mantan Presiden RI BJ. Habibie. Waktu itu beberapa teman mention saya mengenai kebenaran berita tersebut—benar meninggal atau tidak. Saya pun menelusuri perihal berita tersebut pada media nasional, namun tidak satupun ada yang mengangkat tentang meninggalknya Pak Habibie tersebut. Saya pun tetap membiarkan ciutan saya tersebut bertengger di akun twitter saya—sampai akhirnya, sekitar setengah jam kemudian ada konfirmasi dari akun Fecebook Habibie Center yang menerangkan bahwa Pak Habibie dalam keadaan sehat dan saat itu sedang berada di Jerman. Saya pun menghapus retweet tersebut dari akun Twitter saya.
Tetapi, lain halnya dengan grup WatsApp (WA) yang saya bergabung didalamnya. Berita tersebut masih terus dengan menggelinding, sembari mendapatkan untaian doa keselamatan dari para anggota grup. Sampai akhirnya, satu sama lain saling memposting bahwa berita tersebut palsu atau hoax. Dan semacam hal yang lumrah, bila arus informasi yang kadang direpost pada tiap grup semacam WA mengalami keterlambatan informasi dan konfirmasi mengenai sebuah berita. Itu sebabnya, kadang-kadang sebuah grup WA sangat menjemukan—dengan beragam perdebatan tidak produktif dan tanpa sumber yang valid.
Secara pribadi, saya sendiri pun tidak bisa mengelakkan hoax dalam
beberapa informasi dan berita yang saya terima. Hal ini, sangat lumrah dikarenakan kecepatan arus informasi dan berita yang biasa ditemui—khususnya, pada lini masa media sosial. Hanya saja, kebiasaan saling kroscek pada sumber berita lain dan konvensional juga harus senantiasa dilakukan agar berita yang diterima mendapatkan pembanding. Ohya, saya lupa memberikan pengertian mengenai apa itu Hoax?. Berdasarkan Wikipedia pengertian pemberitaan palsu atau hoax yang saya kutip lengkap adalah :
Usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya. Suatu pemberitaan palsu berbeda dengan misalnya pertunjukan sulap; dalam pemberitaan palsu, pendengar/penonton tidak sadar sedang dibohongi, sedangkan pada suatu pertunjukan sulap, penonton justru mengharapkan supaya ditipu.
Berkaitan dengan semakin meresahkannya berita palsu atau hoax. Hari ini, beberapa koran nasional memuat mengenai perang melawan hoax. Bahkan Republika menjadikan hoax sebagai headline beritanya yang menjelaskan mengenai Israel yang hendak menuklir Pakistan. Barangkali, adanya berita palsu (hoax) ini sudah menjadi kegelisahan, keresahan, kemarahan, ketidaknyamanan, dan kepalsuan informasi yang kita terima. Apalagi, keberadaan hoax ini semakin mendapatkan wadah yang luas dengan adanya media sosial—dimana arus informasi dapat diakses secara cepat, tanpa terbatas dalam ruang dan waktu.
Demam media sosial yang kian mewabah di seluruh dunia dengan segala bentuk variasi dan apilikasinya. Menyebabkan seorang pengguna media sosial dengan begitu dapat melakukan like, comment, dan share terahadap berbagai berita, status, dan postingan yang berderet pada lini masa media sosial yang dimiliki. Pada konteks hoax—pola share menjadi hal yang paling dominan dilakukan tanpa mempertimbangkan benar/palsunya sebuah berita. Celakanya, hal ini dipengaruhi oleh judul berita yang dianggap "foyah" dan provokatif—tanpa mempertimbangkan link sumber berita yang sebenarnya abal-abal. Atau pada tingkat yang lebih ekstrim cukup doyan menyebarkan berita yang berbau kebencian, kebohongan, dan sara.
Pada titik ini keberadaan pemerintah yang melakukan pemblokiran terhadap situs tertentu. Malah dipandang nyinyir dan dipandang sebagai mengekangan terhadap media, berpendapat—dan bahkan agama tertentu. Barangkali, upaya pemerintah tersebut bisa jadi benar, bisa juga salah. Sebab, adanya sikap nyinyir tersebut lebih didasari pada hubungan emosional dan masih minimnya klafikasi dan konfirmasi: mengapa sebuah media diblokir. Akibatnya, para nitizen—wabil khusus jamaah situs tersebut melakukan pembandingan terhadap situs yang dianggap menjadi selingkuhan pemeritah: kenapa tidak ikut di blokir.
Nah! lebih selektif dalam memilih—membaca berita, menyebarkan berita, dan mengkampanyekan berita merupakan pilihan bagi kita selalu penikmat berita. Oleh sebab itu, pilihan menjadi seorang selektif, bukan dipahami membatasi sumber bacaan. Melainkan, mengupayakan diri mencari sumber berita pembanding yang juga memberitakan hal yang sama. Sehingga, hidangan bacaan kita menjadi lebih valid, bermakna, dan memberikan banyak perspektif. Bukan hanya deretan sampah huruf yang hanya menyebarkan kebencian, kedengkian, kekerasan, dan permusuhan—demi deretan angka pengunjung link sumber berita—yang akhirnya selalu terkait dengan pendapatan: UANG!
Sekali lagi, menjadi seorang yang selektif dalam menerima, membaca, dan membagi berita—adalah pilihan. Hoax senantiasa hadir dalam setiap dimensi kehidupan manusia yang bisa dipahami sebagai relasi antara kebaikan-keburukan, benar-salah, putut-tidak patut, dan seterusnya. Maka, perlawanan terhadap para penyebar hoax harus senantiasa galakkan dan dikampanyekan.
0 comments:
Posting Komentar