Mentalitas Masyarakat Pembanding

Bila kita memiliki akun media sosial—wabil khusus fesbuk. Barangkali, tidak sedikit lini masanya selalu menghadirkan bentuk sikap kontradiktif, nyinyir, manyunan—atau kita sebut saja sebagai: pembanding. Yah! pembanding. Saya menyebutnya sebagai pembanding sebab pada sebagian besar nitizen kian berangkat dari sudut pandang dan keintiman kediriannya sendiri. Meski, hal masih tetap halal untuk dilakukan.

Fenomena tersebut diatas, bisa kita lihat dengan adanya beberapa status, twit, dan postingan yang selalu menghadirkan dua hal yang kadangkala sebenarnya tidak sebanding. Misalnya, seorang Presiden dibanding-bandingkan dengan panglima hulubalangnya—bahkan yang lebih mengerikan dengan pohon yang ada dibelakangnya. Atau pada momen yang lebih lawas Presiden diibaratkan dengan "kebo". Sekali lagi saya garis bawahi yang dibandingkan itu: presiden. Sosok yang dimenangkan dengan setengah penduduk negeri ini. Bukan gerombolan manusia jomblo yang masih belum menemukan jawaban atas kerisauan urusan asmaranya.

Bila hal tersebut terus menerus dilakukan yang menyebabkan habibus pembanding, tentu saja hal ini akan mengancam kehidupan harmoni di masyarakat nyata. Orang akan lebih mudah mencari musuh ketimbang kawan, sekalipun dalam dunia maya memiliki ribuan dan jutaan teman. Padahal, bila ditinjau dari segi sudut terminologis masyarakat adalah society, socius, atau dalam bahasa yang religius syaraka yang dapat pahami sebagai ikut serta dan berpartisipasi. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau berinteraksi yang didasarkan pada adat istiadat tertentu secara kontinyu—yang menurut Koentjaraningrat memiliki empat ciri yakni: intraksi antar warganya, adat istiadat, kontinyuitas waktu, dan rasa idenititas yang kuat mengikat masyarakat. 

Sikap sebagai masyarakat pembanding yang dimulai dari berbagai status, twit, dan postingan di media sosial harusnya disudahi dan diakhiri. Sebab, dalam jangka panjang disadari atau tidak, media sosial semacam menghadirkan para manusia ansosial—yang tercerabut dari akar sosialnya. Kesana kemari sibuk dengan telpon pintar dan mengabaikan lingkungan sekitarnya. Sekalipun, memang adapula dampak positif dari media sosial dengan kemudahan komunikasi dan intraksinya. Maka, mentalitas sebagai masyarakat pembanding—atau dalam sudut pandang ilmiah kita pinjam teorinya Leon Festinger tentang social comparison theory, dimana individu mengevaluasi pendapat dan kemampuannya dengan membandingkan dirinya dengan pihak lain demi menghindari ketidakpastian yang terjadi. Dalam teori ini juga mencakup perbandingan sosial keatas dan kebawah (sebut: bos dan pekeja) dan model perbandingan sosial—lebih jelasnya silahkan baca bukunya :)

Maka, bila kita tidak pernah suka dibandingkan dengan sesuatu hal: baik atau buruk. Baiknya, sudahi dan akhiri kebiasaan membandingkan sesuatu—terlebih dengan sesuatu yang sebenarnya tidak sebanding. Mentalitas pembanding adalah mentalitas sakit, dimana kecemburuan, kebencian, dan permusuhan dipupuk yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpedulan dan rasa menang sendiri.

Selamat merefleksi.



0 comments: