Bangga Jadi Kader

Baiklah. Kita mulai saja ini dengan sebuah serial komik One Piece dan Naruto. Tentu, tidak sedikit dari kita sudah pernah membaca komik—atau mengikuti serialnya di salah satu stasiun televisi. Dari kedua komik tersebut, kita akan dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Kita membutuhkan bantuan, peran, dan kontribusi orang lain di dalam kehidupan kita sehari-hari. 

Seorang Luffi—sebagai tokoh utama dalam serial komik One Piece. Meski ia memiliki kekuatan melentukkan seluruh badannya. Ia membutuhkan tim dalam perahunya untuk membawanya ke greenland sebagai tujuan semua bajak laut—termasuk Luffy sendiri. Dalam konteks tim perahu ini, Luffi sebagai kapten membutuhkan orang dengan kemapuan yang tentu sangat berbeda dengannya, seperti dokter, juru masak, arkeolog, pembaca peta, tukang atur strategi, dan tukang kayu. Intinya, tim yang ia bangun merupakan orang yang memiliki kompetensi dan kualifikasi yang tidak sama dengannya—berbeda. Hal ini juga akan sama dengan tokoh Naruto dalam serial komik Naruto. Ia membuhkan tim—dan guru yang mampu mengjadikannya sebagai seorang Hokage. Dimana dalam dimamika kehidupannya sebagai manusia rubah mengalami beragam dinamika—yang kadang menguras hati dan perasaan sebagai seorang tim, guru, dan sahabat.

Pada kedua serial komik diatas. Kita dapat mengambil banyak pelajaran—khususnya, untuk dapat mampu berkader secara baik, dialektis, dan progresif dalam tubuh Ikatan yang kini sudah berusia lebih dari setengah abad. Maksud dan tujuan Ikatan "mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah". Barangkali, tidak sedikit diantara kita sudah mampu memahami, mengkaji, dan menafsirkan—menggerakkan—yang bisa jadi memiliki pola yang tidak sama satu sama lain. Mungkin hal tersebut disebabkan kalimat "mengusahakan" yang menghadirkan banyak perspektif dan gerakan, sehingga apa pun dan bagaimana pun pola dan bentuk "mengusahakan" tersebut tidak perlu diukur dari meriah dan heroiknya proses pengusahaan tersebut.

Hal yang perlu kita bangun sebagai—kader Ikatan. Adalah bagaimana mendorong adanya visi bersama yang dapat berlangsung secara sistemik dalam jangka panjang. Maksudnya, dorongan visi ini harus dipandang sebagai kebutuhan bersama, melalui pemikiran dan gerakan yang tidak hanya mengedepankan pendekatan normatif-organisatoris, melainkan juga harus mengedepankan pendekatan futuris-progresif yang mampu memberikan implikasi sistemik baik secara organisasional maupun personal pada diri kader Ikatan. Barangkali, kerja-kerja ini harus menjadi persoalan bersama—bahwa hal-hal terkait masa depan perkaderan dan kepemimpinan dalam tubuh Ikatan, tidak hanya menjadi domain mereka yang sedang berada dalam struktur kepengurusan dalam tubuh Ikatan ini, melainkan harus menjadi persoalan seluruh kader Ikatan—sama hal dengan yang dilakukan oleh Luffi dan Naruto dalam mencapai tujuan bersama mereka.

Kadang-kadang, masih saja kita melihat ada seseorang yang pernah mengalami—mengikuti perkaderan dalam tubuh Ikatan. Namun, pada lain waktu masih terlihat terasa ringkih, malu, minder, atau pura-pura lupa untuk menyebut dirinya sebagai seorang kader, padahal ia sendiri sudah mengalami proses pembaiatan diri sebagai seorang kader Ikatan—atau bahkan pernah menjabat sebagai pimpinan pada level kepemimpinan tertentu dalam Ikatan. Tentu saja, dari semua serangkaian hal tersebut diatas, kita sama-sama harus menghargai apa itu alasannya. Setidaknya, dengan adanya alasan tersebut mampu memberikan pelajaran bahwa segala sesuatu itu, membutuhkan proses mencari jati diri dengan segala bentuk motif dan akibatnya.

Maka, adanya kampanye penggunaan tagar maupun bingkai foto melalui twibbon "Bangga Jadi Kader" belakangan ini, harus sama dijadikan refleksi—apakah kita benar-benar bangga menjadi kader Ikatan. Ataukah hanya sekadar mengikuti tren yang sedang marak dalam tubuh Ikatan ini. Dan pada posisi ini—semua kader tentu memiliki alasannya tersendiri. Tidak perlu diucapkan dan hanya perlu dirasakan dalam bathin masing-masing—termasuk saya sendiri.

Selamat merefleksi.

0 comments: