Full Day School

Beberapa hari terakhir ini kita disibukkan dengan pemberitaan mengenai gagasan Mendikbud yang hendak mengadakan full day school bagi para siswa pendidikan sekolah dasar (SD dan SMP). Maksud diadakannya program ini agar pembangunan karakter para siswa dapat terbentuk sejak dari dini--sekaligus menjadi salah satu bagian nawacita yang diusung oleh pemerintahaan Jokowi. Wacana full day school ini pun mendapatkan tanggapan di masyarakat--ada yang pro, adapula yang kontra. Lebih-lebih diberbagai lini masa media sosial wacana ini menjadi trending topic tersendiri. Namun, bagaimana pun Pak Menteri selalu memiliki alasan tersendiri dalam mengeluarkan wacana atau kebijakan.

Terus terang saya sendiri pun tidak mengerti betul mengenai apa itu full day school. Barangkali, hal tersebut dikarenakan saya terlahir dalam sistem pendidikan yang harus mengapalkan nama-nama Menteri dan harus paham cara baris berbaris. Saat itu, hanya ada dua sudut pandang melihat dunia pendidikan yakni sekolah umum dan sekolah agama. Sekolah umum adalah Sekolah Dasar yang mengajarkan ilmu-ilmu umum dan hanya memberikan beberapa jam pendidikan agama tiap minggunya. Sementara sekolah agama adalah sekolah yang materi pembelajarannya hanya berisi tentang persoalan agama--atau pada posisi yang lebih tinggi bernama Pesantren. Saya pun belajar pada sistim pendidikan keduanya itu.

Kira-kira begitu waktu belajarnya. Ibu saya membangunkan saya menjelang shalat subuh, pada saat adzan berkumandang saya pun berangkat ke Mushola untuk mengaji sampai sekitar jam 06.00 pagi. Setelah itu saya pun harus mempersiapkan diri untuk berangkat untuk sekolah SD sekitar jam 06.30 sampai dengan 13.00. Habis makan siang sekitar 13.45 saya harus berangkat ke sekolah Madin (Madrasah Diniyah) sampai jam 16.30. Baru setelah itu saya ada kesempatan untuk bermain bola kasti hingga jelang maghrib--yang setelah itu harus berangkat lagi ke Mushola untuk mengaji sampai usai shalat isya' yang kemudian saya lanjutkan dengan menonton sinetron "Jin&Jun dan Tersanjung". Barangkali, itu sebabnya saya pernah tidak naik kelas waktu SD.

Tentu saja, apa yang sama ini masih terasa lebih mending ketimbang apa yang dialami oleh anak-anak Pesantren yang sebagian besar waktunya dihabiskan di lingkungan Pondok. Hanya saja, apa yang dialami oleh anak Pondok selalu menemukan cerita tersendiri--biasanya yang paling banyak diingat adalah persoalan pelanggaran atas peraturan Pondok dan berbagai kegiatan jahil lainnya. Barangkali, hal itulah yang tidak saya miliki sebagai santri kalong di sekolah Madin. Tidak memiliki cerita istimewa dan tingkat kematangan membaca kuning.

Maka, wacana full day school yang diwacanakan oleh Pak Mendikbud--jangan-jangan tidak lain merupakan reinkarnasi menggabungkan sekolah umum dan sekolah agama--atau mungkin lebih tepatnya "Pesantrenisasi" bagi para siswa dasar. Bila hal ini betul adanya, maka yang harus dilakukan adalah "kelapangan dada" bagi para murid, wali murid, dan sekolah untuk bagaimana memberikan peran lebih terhadap lembaga pendidikan dalam mendorong pembentukan karakter positif terhadap para siswa dan generasi bangsa. Sebab nyatanya, saya sendiri yang lahir dengan sistem pendidikan dua wajah saja masih dengan leluasa bermain kasti, nonton sinetron, mengerjakan PR, dan berbagai kegiatan khas anak kecil pada umumnya. Apalagi, saat ini yang penuh dengan hutan rimba media sosial dan games online semua siswa menjadi siapa saja diluar dirinya.

Dan memang sudah menjadi rahasia umum: kalau ganti Menteri ganti pula kebijakannya. Kita lihat saja apa yang akan terjadi kedepan. Lanjut atau mandeg--hanya sekadar wacana.


0 comments: