Penyakit syndrome post-structure berawal dari "keinginan" untuk
melakukan sesuatu yang belum terwujud--atau lebih tepatnya keinginan
diri yang tidak terwujud. Maka, hal yang biasa dilakukan yakni
memaksakan kehendak diri yang dibungkus apik melalui sikap dan keputusan
bersama. Sehingga terkesan menjadi keputusan kolektif yang harus
diterima bersama oleh generasi berikutnya--layaknya takdir kepemimpinan.
Persoalan pun muncul, manakala mereka yang syndrome post-structure tersebut
beranggapan bahwa dirinyalah yang paling baik, paling tahu, paling
memahami--bahkan paling shalih memimpin. Akibatnya, generasinya harus
berkiblat pada dirinya--yang tanpa disadari telah membentuk sikap taqlid
kepemimpinan. Maka, "keinginan" yang melekat pada mereka yang lagi
syndrome post-structure akan terus membesar--seiring berkembangnya sikap
besar isi kepala dan melebarnya daun kuping karena riuh puji sanjungan.
Maka, untuk mengantipasi hal tersebut dapat dilakukan dengan
memperbesar sikap, tanggung jawab, dan kaderisasi yang mengedepankan
"kebutuhan" dalam setiap level kepemimpinan. Mengapa harus "kebutuhan"?
Sebab, pada "kebutuhan" inilah kita akan diajarkan, dipersepsikan, dan
digerakkan sesuai dengan spealisasi dan kualifikasi dalam setiap level
kepemimpinan. Tentu, melalui "kebutuhan" ini juga, sikap dan perasaan
kolektif dapat dibangun--yang akan mengeyampingkan ego diri--senioritas.
Barangkali, ada benarnya bahwa setiap seorang pemimpin akan menjadi pemimpin pada generasinya sendiri--atau yang lebih ekstrem tidak terkait sama sekali dengan generasinya, karena adanya ruang, waktu dan kontekstualisasi yang berbeda dimana seorang pemimpin berada. Dan bisa jadi gium "orang tua akan membicarakan masa lalu, dan anak muda membicarakan masa depan" bermula dari paradigma dan praktik "keinginan" dan "kebutuhan" tersebut diatas.
Selamat merenung dan merefleksi.
Barangkali, ada benarnya bahwa setiap seorang pemimpin akan menjadi pemimpin pada generasinya sendiri--atau yang lebih ekstrem tidak terkait sama sekali dengan generasinya, karena adanya ruang, waktu dan kontekstualisasi yang berbeda dimana seorang pemimpin berada. Dan bisa jadi gium "orang tua akan membicarakan masa lalu, dan anak muda membicarakan masa depan" bermula dari paradigma dan praktik "keinginan" dan "kebutuhan" tersebut diatas.
Selamat merenung dan merefleksi.
0 comments:
Posting Komentar