#UAStaghfirullah


“Menurut Bapak, bagaimana dengan Dosen yang memberi soal yang sama pada saat ujian dengan tahun sebelumya?” tanya salah seorang mahasiswa saat saya dalam perjalanan pulang dari kampus.

“Maksudnya?” saya tanya balik.

“Soal ujiannya sama persis dengan tahun sebelumnya, Pak? Itu boleh tidak kita mempelajari dan membahasnya terlebih dahulu sebelum ujian” jelas mahasiswa tersebut.

Saya pun menoleh kearahnya. Sembari menatapnya lekat-lekat. Agaknya, mahasiswa saya tersebut tidak terlalu polos-polos amat.

“Ya, silahkan. Itu boleh saja. Barangkali, sang dosen tidak sempat membuat soal yang baru” ujar saya.

“Tapi, tidak begitu juga, Pak. Kan ilmu itu harus up to date. Begitu juga dengan soal ujian biar kita sebagai mahasiswa juga belajar lebih serius” keluh mahasiswa tersebut. Baru kali ini saya melihat seorang mahasiswa yang begitu gelisah dengan soal ujian yang ia hadapi. Biasanya—sama seperti pada saat saya masih kuiah, hal semacam ini adalah berkah untuk menjawab soal ujian lebih cepat dan cenderung benar.

“Oh, ternyata kamu tidak seperti mahasiswa kebanyakan. Ya, sudah jawablah soal ujian tersebut sama seperti ujian yang lain dalam mengerjakannya. Kerjakan dengan serius. Ujian itu hanya bagian dari proses perkuliahan, bukan tujuan akhir perkuliahan. Ini semacam evaluasi saja terhadap materi yang disampaikan saat perkuliahan berjalan” terang saya.

“Iya, Pak. Makasih” jawab mahasiswa tersebut sambil menjabat tangan saya.

Barangkali, hal seperti sudah lazim kita temui saat masih sekolah dan kuliah. Kadang-kadang seorang guru atau dosen belum sempat melakukan perubahan dan membuat soal baru terhadap apa yang diajarkannya. Alasannya, tentu sangat beragam, entah karena kesibukan, deadline pekerjaan—atau bahkan membuat soal baru. Secara pribadi saya tidak bisa menyalahkan—sebab setiap guru atau dosen memiliki hak dan kebebasan akademik terhadap apa yang diajarkannya.

Selain itu, dari sudut pandang yang lain. Saya juga melihat status seorang mahasiswa yang menulis status di media sosial dengan menggunakan #UAStaghfirullah. Hal ini semacam ujian akhir semester bagaikan musibah yang dihadapi, dikerjakan dan dihasilkan dengan sangat berkelindan dengan musibah. Bisa jadi, ia merasa stres dengan soal yang begitu sulit untuk dikerjakan. Menjadi sangat sulit dikarenakan ia tidak belajar atau tidak mempersiapkan belajar secara lebih serius dalam menghadapi ujian akhir semester.

Alangkah tidak ada salahnya—bila seorang guru ataupun doses dalam membuat soal ujian juga memperhatikan muatan, materi dan kemampuan murid ataupun mahasiswa yang diajarnya. Artinya, soal yang harus dikerjakan merupakan semacam evaluasi dan refleksi terhadap seluruh proses pembelajaran yang dilakukannya. Bukan berdasarkan naluri dirinya sehingga sebuah soal ujian harus sulit , rumit dan membuat stres anak didiknya.

Ya! barangkali, ujian apapun dalam tradisi dan iklim akademik harus diseleraskan antara relasi murid dengan guru, mahasiswa dengan dosen –secara saling seimbang. Artinya, ujian akhir bisa jadikan semacam evaluasi dan refleksi bersama bahwa apapun hasilnya—dari hasil ujian tersebut juga harus memperhatikan proses berlangsungnya proses pembelajaran itu sendiri.

Terima kasih kepada seluruh mahasiswa yang telah mengikuti proses perkuliahan yang saya ampu. Hakikatnya, saya bukan siapa-siapa tanpa kalian. Dan mari tetap dan selalu belajar bersama. Kebahagiaan menuntut ilmu begitu sederhana yakni ketika bisa belajar dan berproses bersama. 

Sukses untuk kita semua.


0 comments: