“Yah, dari kantor, jadinya Nda yang
akan dimutasi ke Mergo untuk menggantikan CS lagi cuti. Lumayan jauh sih dari
rumah” telpon istri saya beberap waktu lalu. Istri saya memang sudah
mengutarakan sebelumnya kepada saya terkait hal tersebut. Barangkali, keputusan
kantornya memilih istri saya karena telah lebih lama bekerja.
“Ya, sudah. Tidak apa-apa. Anggap
saja sebagai risiko pekerjaan” jawab saya untuk menenangkan istri saya. Kami
pun mencari jalan keluar akan kedekatan kami sebagai orang tua dengan anak
kami—luna tidak terkurangi ditengah kesibukan pekerjaan kami.
Sepulang saya ke rumah. Keesokan
harinya saya pun mengecek kantor baru istri saya. Jaraknya dari rumah kurang
lebih 28 KM dari rumah. Lebih jauh 13 KM dari kantor lama yang jaraknya hanya
15 KM dari rumah. Cukup jauh memang, tapi hal itu harus dihadapi istri saya
sebagai sebuah pilihan dan risiko pekerjaan. Terlebih, saya tidak bisa
menjemputnya tiap hari untuk bisa mengantar dan menjemputnya pulang dari
kantornya. Sebab, saya hanya bisa pulang tiap weekend ke rumah di Majenang yang
jaraknya sekitar 89 KM—tentu, hal tidak bisa pulang-pergi setiap hari.
Memang, tidak sedikit beberapa
rekan saya dan istri—yang menyarankan agar kami tinggal bersama. Maksudnya,
saya dan istri menetap di Purwokerto. Persoalannya memang tidak sesederhana
itu, sebab persoalan saya dan istri untuk sementara memilih berjauhan seperti
yang kami jalani ini, semata-mata bukan masalah pekerjaan. Melainkan karena
permintaan orang tua—mertua saya, yang menginginkan istri saya tinggal di
Majenang dikarenakan istri saya anak terakhir.
Barangkali, bukan persoalan mudah
memutuskan—permintaan orang tua, pekerjaan dan keluarga kecil. Semuanya, memang
harus dijaga perasaanya. Maka, apa yang sedang saya dan istri pilih—bekerja dan
berkeluarga secara berjauhan ini semoga memberikan kematangan dan kedewasaan
kami dalam berumah tangga. Dan tentunya, setiap orang memiliki cara sendiri
untuk bisa memahami apa yang dikerjakannya. Begitupula, dengan mensyukuri apa
yang telah diusahakannya. Artinya, pekerjaan bukan sekadar memupuk penghasilan,
memperbesar gaji, mempercepat karir—atau bahkan memperluas relasi. Barangkali,
pekerjaan merupakan serangkaian hal yang saling berkelindan dengan berbagai
hal—yang tentunya tiap orang berbeda memahaminya satu sama lain.
Kadang-kadang, saya merasa malu
terhadap istri saya. Terutama, bila ia pulang kerja sampai malam. Ia harus mengurus,
merawat dan menjaga Luna sendirian. Karenanya, tiap akhir pekan dan hari libur semaksimal
mungkin saya meminta istri saya untuk istrihat—dan jadilah saya sebagai bapak
rumah tangga. Saya dan istri memang bersepakat agar semaksimal mungkin tidak
mengandalkan asisten rumah tangga yang selama ini telah membantu pekerjaan
domistik kami. Pada titik ini, saya tidak pernah lagi meributkan tentang bias
gender yang selama ini menjadi polemik dalam ruang-ruang wacana diskusi. Barangkali,
apa yang telah dikerjakan istri—tidak saja membantu kebutuhan domistik kami. Ia
mampu menjadi ibu dan sekaligus bapak pada saat saya berada di Purwokerto,
begitu pula sebaliknya—saya juga belajar terhadap istri saya. Mungkin, bisa
dibilang istri saya—selalu setia untuk melayani—sebagaimana visi kantornya ia
bekerja. Melayani para nasabahnya dan juga keluarga kecilnya.
0 comments:
Posting Komentar