Entah apa alasannya. Rasanya, aku ingin menulis surat untukmu, istriku. Surat yang barangkali sebenarnya lebih tepat sebagai caraku untuk menuangkan apa yang dalam pikiran dan benakku. Barangkali, ini agak berlebihan—atau bahkan aku terlalu baper terhadap beberapa kejadian yang selama ini kita lalui bersama. Kadang-kadang, menulis surat itu semacam perjalanan menulis peta. Kita harus berjalan sambil menulis apa yang kita jalani—sebagai petunjuk, arahan dan sejarah untuk pejalan yang berikutnya. Ya! apa yang aku tulis ini—sama seperti menulis peta dalam perjalanan kita. Yang bisa jadi nanti berguna bagi Luna dan generasi setelah kita. Aku menyebut peta tersebut sebagai—sambung perasaan.
Sambung perasaan adalah dimana posisi diri saling terikat satu sama lain. Sebuah ritme bersama tentang detakan bathin. Atau bahkan bisa disebut sebagai tali rasa antar keluarga. Seorang teman menanyakan padaku: apakah aku akan selamanya berada ditanah rantau—menetap di tanah rantau, sehingga akan tidak lagi kembali ke kampung halaman. Waktu itu, aku tidak menjawabnya—dan lebih memilih untuk hanya sebagai pertanyaan bathin dalam diri. Aku tahu menyadari bahwa kebiasaan merantai dalam kehidupan orang Madura—hanya perjalanan sementara. Sebab, pada hakikatnya ia akan kembali pulang saat-saat jelang lebaran hari raya yang kemudian dikenal dengan istilah Toron. Sebagaimana banyak ditayangkan di televisi tiap jelang Idhul Adha. Barangkali, inilah kebiasaan dan tradisi yang telah berlangsung lama.
Namun, bukan hal itu yang hendak aku bicarakan, sayangku. Apa yang aku jelaskan tadi hanya tradisi perjalanan fisik, dimana kita kita bisa berkumpul bersama keluarga secara fisik. Yang aku maksud dalam hal ini adalah sambung rasa, sambung perasaan—sambung jiwa. Dimana tidak sedikit diantara kita yang memiliki keterikatan keluarga, namun pada hakikatnya malah saling menjauh. Ada yang merasa sudah sukses, sudah merasa puas, sudah merasa mandiri atau bahkan sudah merasa tidak perlu membutuhkan orang lain, termasuk keluarganya sendiri. Inilah persoalan kita saat ini, tidak sedikit diantara kita dengan mudah saling bertengkar dan bermusuhan hanya hanya karena perbedaan pemikiran, adat, daerah, mazhab keagamaan, partai politik, ormas dan berbagai persoalan lainnya—yang semakin menjauhkan perasaan saling keterikatan bathin satu sama lain, sekalipun dengan keluargaanya sendiri.
Barangkali, perjalanan kita kedepan akan senantiasa menemukan dengan persoalan tersebut diatas. Namun, percayalah hal itu akan menjadikan lebih dewasa dan bijak dalam menyelesaikan tiap persoalan yang ada. Itu sebabnya, aku menulis surat ini secara tidak tertata dan kesana kemari—tidak fokus pada satu persoalan. Mungkin, itu sebabnya aku ingin selalu menulis surat untukmu—apapun itu bentuknya. Mungkin ini agak berlebihan. Dan itulah aku, yang ingin selalu belajar merawat cinta, perasaan dan perjalanan kita.
0 comments:
Posting Komentar