Dalam hidup tidak jarang kita
diharapkan pada pilihan-pilihan yang barangkali kita sendiri tidak menyukainya.
Kadang-kadang, pilihan itu bukan hadir atas kemauan kita sendiri, melainkan
hadir dari pihak lain. Barangkali, hal
itulah yang saya rasakan empat belas tahun silam—tepatnya, tahun 2002. Waktu itu,
bapak saya memaksa saya untuk sekolah ke Jogja. Ya! saya dipaksa untuk bisa
sekolah di Muallimin—salah satu sekolah yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad
Dahlan selaku pendiri persyarikatan Muhammadiyah. Padahal waktu itu—jelang
pelepasan lulusan sekolah saya memang sudah ada sekolah yang hendak saya tuju
untuk melanjutkan SMA. Tapi, tetap saja, saya tidak memiliki pilihan, sebab
keputusan menyekolahkan saya ke Jogja sudah menjadi keputusan keluarga.
Dengan perasaan kesal—sambil
nangis, waktu itu saya harus berangkat ke Jogja sembari ditemani bapak, kakak
dan kedua adik saya. Selama proses pendaftaran seleksi siswa di Muallimin,
bapak saya begitu setia mendampingi saya sampai ujian selesai. Selama tiga hari test, bapak
selalu setia menunggu di sebelah lapangan komplek Muallimin. Sesekali dengan
sembunyi-sembunyi, ia menyalakan rokok yang tidak bisa ia lepaskan hingga saat
ini. Bahkan menurut penuturan bapak saat itu pernah ditegur salah seorang guru
agar tidak merokok di lingkungan sekolah. Namun, ya begitulah bapak—teguran tentang
rokok kadang hanya didengarkan dan kemudian merokok lagi.
Akhirnya, setelah beragam rangkaian
proses test seleksi masuk Muallimin. Saya dinyatakan tidak lolos. Waktu itu,
saya melihat bapak saya begitu kecewa. Bukan karena saya tidak masuk seleksi,
melainkan karena saya tidak bisa masuk sekolah Muhammadiyah. Ya! bapak,
ibu, saudara dan keluarga besar –dan lingkungan rumah saya adalah keluarga
Nahdhadul Ulama (NU) tulen. Apalagi, waktu itu tidak ada seorang pun
anak di lingkungan saya tinggal di Madura menyekolahkan anaknya keluar daerah—dan
Muhammadiyah. Entah, apa yang ada dalam pikiran bapak—mengapa ia begitu ngotot
menyekolahkan saya di sekolah Muhammadiyah. Apakah bapak sudah mulai
moderat dengan pemahamannya. Entahlah.
Bapak dan kakak saya pun bertanya
kesana kemari tentang sekolah Muhammadiyah. Sampai akhirnya, saya pun
disekolahkan disalah satu sekolah Muhammadiyah di Klaten. Saya tidak lagi melihat
raut kecewa di wajah bapak saya. Namun, bapak malah lebih sering bilang sama
saya agar bisa sekolah dengan baik—sama seperti yang sering ia bilang tiap kali
saya masuk sekolah. Baginya, menjadi manusia yang berpendidikan tidak hanya
mendapatkan ilmu, melainkan juga dapat mengangkat martabat diri dan
keluarganya. Saya memahami hal itu, karena sudah menjadi watak orang Madura
yang memposisikan orang berilmu (Kiai) melebihi hormatnya terhadap keluarganya
sendiri. Makanya, tidak jarang bapak
saya sering memukul saya—dan saudara saya dengan sapu lidi jika kami malas
untuk bersekolah dan mengaji.
Kini, setelah sekian tahun
berlalu. Dan cara bapak pandang bapak
menyuruh anak-anaknya tidak lagi dengan tindakan fisik dan semua anaknya sudah
menyenyam pendidikan. Termasuk saya yang telah menamatkan jenjang S2. Rasanya,
sikap keras bapak—benar-benar mampu membantu karakter saya dan saudara-saudara
saya. Kami tahu apa yang dilakukan bapak dulu—adalah tindakan yang harus
dilakukan agar saya dan saudara saya yang lain bisa menyenyam pendidikan secara
baik. Barangkali, bagi sebagian orang tindakan bapak adalah tindakan yang salah—namun,
rasanya tidak untuk saya dan saudara saya. Sikap keras bapak kami anggap
sebagai proses pembelajaran—yang dilakukan orang tua yang hanya lulusan sekolah
non-formal. Sehingga tidak jarang, bapak menasehati kami secara berulang-ulang
agar apa yang ia lakukan—yang baik ditiru dan tidak baik perlu ditiru dan
dikerjakan. Bahkan kami sering merasa andai bapak tidak bersikap keras mengenai
pendidikan—saya dan saudara saya tidak tahu apa yang terjadi dengan pendidikan
kami saat.
Sebagai anak yang sangat dengan
bapak. Hingga saat ini, bapak adalah teman terbaik bagi saya untuk saling
berbagi cerita—tentang banyak hal. Bapak seperti mampu berperan ganda, baik
sebagai orang tua dan teman. Sekalipun, saya tidak lagi bisa menemaninya untuk
merokok bersama. Saya tahu, bapak saya tidak sesempurna—seperti bapak-bapak
yang dimiliki sebagian besar anak. Tapi, bapak selalu belajar dan bekerja keras
untuk menjadi orang tua terbaik bagi kami sekeluarga..
Selamat hari Ayah.
Sumber gambar (klik)
0 comments:
Posting Komentar