Kemarin, usai pulang shalat
maghrib di Mushola. Saya melihat anak saya Luna sedang berceloteh bersama istri
saya. Padahal, biasanya ia sudah tidur jelang maghrib. Saya pun mengambil Al
Qur’an di rak dan hendak mengaji seperti biasanya disamping Luna.
“Pakein jilbab dulu Yah” ucap
istri sebelum ia beranjak untuk shalat maghrib.
Saya pun memakaikan jilbab pink
Luna. Dan seperti biasanya, ia agak risih untuk memakai jilbab dikarenakan
jilbabnya yang kebesaran. Namun, lambat laun ia pun menerima. Saya pun mengaji
dengan memangku Luna—meski awalnya ia gerak-gerak karena merasa kurang nyaman.
Saya pun mengambil bantal dan menaruh Al Qur’an yang saya pegang, kemudian
menaruhnya atas bantal. Saya pun memangku dan memegang Luna dengan kedua tangan
saya. Lambat laun Luna merasa nyaman saya pangku dan sembari dipegang oleh
kedua tangan saya.
Saya pun melanjutkan mengaji—Luna
pun merasa lebih tenang mendengarkan saya mengaji sembari memandangi saya
dengan mata sayup. Semacam ia mengerti apa yang saya baca. Tidak ada lagi
gerak-gerak yang sedari awal ia tunjukkan waktu awal saya mengaji.
Istri saya pun memasuki kamar dan
menemukan pemandangan baru saya dengan Luna—yang tidak seperti biasanya. Saya
pun memberikan isyarat agar istri saya tidak menyapa kami terlebih dahulu. Istri
saya pun berbaring diranjang disamping saya dan Luna—sembari ikut melihat
moment ini. Terus terang, saya dan istri begitu sangat terharu—meneteskan air
mata, dengan keadaan Luna yang begitu tenang mendengarkan saya mengaji.
Akhirnya, saya pun mengakhiri mengaji setengah jam kemudian—tanpa ada kerewelan
Luna sama sekali. Dan tak lama setelah itu, Luna pun tidur dengan begitu
lelapnya.
“Kok bisa ya Nda. Luna bisa
tenang gitu pas ngaji barusan” tanya saya kepada istri saya, sembari saya
memberikan Luna kepadanya untuk segera diletakkan ditempat tidurnya.
“Kan Ayah udah terbiasa mengaji
dekat Nda sejak Luna masih dalam kandungan” jawab istri saya. Saya pun
menggaruk-garuk kepala sambil mengingat kejadian saat istri saya masih hamil.
Dulu, waktu istri saya dinyatakan
hamil beberapa minggu. Saya pernah dibuat penasaran dengan sebuah artikel disalah
satu portal online yang menjelaskan tentang mengapa orang keturunan Yahudi
cenderung lebih pintar dari orang kebanyakan. Artikel tersebut didasarkan pada
hasil penelitian Stephen Carr Leon yang mengadakan penelitian housemanship di
komunitas Yahudi di Israel selama 3 tahun. Hasil penelitian untuk mengetahui
‘mengapa orang Yahudi itu pintar’ tersebut menunjukkan tiga hal:
Pertama, saat wanita Yahudi dinyatakan
hamil. Pada fase ini para ibu dari keluarga Yahudi yang sudah dinyatakan hamil.
Maka, sang ibu akan dengan rajin sering bernyanyi, bermain piano dan mengerjakan
soal matematika. Kebiasaan bernyanyi dan bermain piano akan menyebabakan sang
ibu merasa nyaman dan membiasakan sang bayi untuk berpikir tenang dan tenang
dalam mengambil kepurusan pada saat lahir. Sedangkan mengerjakan matematika
akan mendorong kecerdasan sang anak—sejak dari dalam kandungan. Selanjutnya,
pada saat sudah lahir sang anak-anak Yahudi dibiasakan mengkonsumsi kadang
badam (semacam kacang almond), minyak ikan, menguasai bahasa yang berbeda-beda,
berniaga, memanah, menembak, berlari, bermain piano dan bermusik—bahkan saat
masuk perguruan tinggi didorong untuk melakukan riset dan praktik bisnis secara
nyata.
Kedua, cara makan. Kabiasaan
orang Yahudi yang mengkonsumsi kadang badam dan ikan. Untuk makan ikan orang
Yahudi menghindari makan ikan bersama kepalanya, dikarena kepala menjadi gudang
berbagai bahan kimia yang akan mengganggu perkembangan otak. Oleh sebab itu,
yang dikonsumsi hanyalah daging ikannya saja seperti yang dilakukan oleh orang
Jepang. Selain itu, orang Yahudi tidak mengkonsumi ikan dan daging secara
bersamaan. Serta, membiasakan makan buah terlebih dahulu sebelum menyantap
hidangan atau makan besar.
Ketiga, tidak merokok. Bagi komunitas
orang Yahudi kebiasaan merokok merupakan hal yang tabu. Bahkan jika ada tamu
yang bertandang ke rumahnya sambil merokok, mereka tidak segan-segan menyuruh
keluar rumah untuk merokok. Sebab, bagi komunitas Yahudi keberadaan nikotin
dalam rokok akan merusak sel utama pada otak dan akan melekat secara genitik. Maka,
kebiasaan merokok bisa jadi akan menciptakan generasi (maaf) bodoh.
Adapun penelitian Stephen Carr
Leon ini sebenarnya, masih menjadi perdebatan dibeberapa kalangan—terutama pada
point ketiga yakni tentang masalah rokok. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya
hasil penelitian tersebut yang dimuat dalam bentuk jurnal, termasuk keberadaan
sang peneliti itu sendiri. Benar atau valid dan tidaknya penelitian ini—tidak ada
salahnya kita sama-sama melakukan koreksi bersama tentang hal-hal baik yang
barangkali bisa kita lakukan terhadap generasi kita kedepan. Maka, berangkat
dari sinilah, saya termotivasi membiasakan membaca Al Qur’an disamping istri
saya sejak ia mengandung Luna. Entah, bagaimana pun hasilnya. Sebab yang saya
lakukan hanya untuk memperkenalkan sumber ajaran agama yang saya yakini
terhadap anak saya—bahkan sejak ia lahir.
... dan sampai saat ini pun, saya
masih tetap belajar untuk hal tersebut.
0 comments:
Posting Komentar