Revoluna (2)


Kemarin, usai pulang shalat maghrib di Mushola. Saya melihat anak saya Luna sedang berceloteh bersama istri saya. Padahal, biasanya ia sudah tidur jelang maghrib. Saya pun mengambil Al Qur’an di rak dan hendak mengaji seperti biasanya disamping Luna.

“Pakein jilbab dulu Yah” ucap istri sebelum ia beranjak untuk shalat maghrib.

Saya pun memakaikan jilbab pink Luna. Dan seperti biasanya, ia agak risih untuk memakai jilbab dikarenakan jilbabnya yang kebesaran. Namun, lambat laun ia pun menerima. Saya pun mengaji dengan memangku Luna—meski awalnya ia gerak-gerak karena merasa kurang nyaman. Saya pun mengambil bantal dan menaruh Al Qur’an yang saya pegang, kemudian menaruhnya atas bantal. Saya pun memangku dan memegang Luna dengan kedua tangan saya. Lambat laun Luna merasa nyaman saya pangku dan sembari dipegang oleh kedua tangan saya.

Saya pun melanjutkan mengaji—Luna pun merasa lebih tenang mendengarkan saya mengaji sembari memandangi saya dengan mata sayup. Semacam ia mengerti apa yang saya baca. Tidak ada lagi gerak-gerak yang sedari awal ia tunjukkan waktu awal saya mengaji. 

Istri saya pun memasuki kamar dan menemukan pemandangan baru saya dengan Luna—yang tidak seperti biasanya. Saya pun memberikan isyarat agar istri saya tidak menyapa kami terlebih dahulu. Istri saya pun berbaring diranjang disamping saya dan Luna—sembari ikut melihat moment ini. Terus terang, saya dan istri begitu sangat terharu—meneteskan air mata, dengan keadaan Luna yang begitu tenang mendengarkan saya mengaji. Akhirnya, saya pun mengakhiri mengaji setengah jam kemudian—tanpa ada kerewelan Luna sama sekali. Dan tak lama setelah itu, Luna pun tidur dengan begitu lelapnya.

“Kok bisa ya Nda. Luna bisa tenang gitu pas ngaji barusan” tanya saya kepada istri saya, sembari saya memberikan Luna kepadanya untuk segera diletakkan ditempat tidurnya.

“Kan Ayah udah terbiasa mengaji dekat Nda sejak Luna masih dalam kandungan” jawab istri saya. Saya pun menggaruk-garuk kepala sambil mengingat kejadian saat istri saya masih hamil.   

Dulu, waktu istri saya dinyatakan hamil beberapa minggu. Saya pernah dibuat penasaran dengan sebuah artikel disalah satu portal online yang menjelaskan tentang mengapa orang keturunan Yahudi cenderung lebih pintar dari orang kebanyakan. Artikel tersebut didasarkan pada hasil penelitian Stephen Carr Leon yang mengadakan penelitian housemanship di komunitas Yahudi di Israel selama 3 tahun. Hasil penelitian untuk mengetahui ‘mengapa orang Yahudi itu pintar’ tersebut menunjukkan tiga hal: 

Pertama, saat wanita Yahudi dinyatakan hamil. Pada fase ini para ibu dari keluarga Yahudi yang sudah dinyatakan hamil. Maka, sang ibu akan dengan rajin sering bernyanyi, bermain piano dan mengerjakan soal matematika. Kebiasaan bernyanyi dan bermain piano akan menyebabakan sang ibu merasa nyaman dan membiasakan sang bayi untuk berpikir tenang dan tenang dalam mengambil kepurusan pada saat lahir. Sedangkan mengerjakan matematika akan mendorong kecerdasan sang anak—sejak dari dalam kandungan. Selanjutnya, pada saat sudah lahir sang anak-anak Yahudi dibiasakan mengkonsumsi kadang badam (semacam kacang almond), minyak ikan, menguasai bahasa yang berbeda-beda, berniaga, memanah, menembak, berlari, bermain piano dan bermusik—bahkan saat masuk perguruan tinggi didorong untuk melakukan riset dan praktik bisnis secara nyata. 

Kedua, cara makan. Kabiasaan orang Yahudi yang mengkonsumsi kadang badam dan ikan. Untuk makan ikan orang Yahudi menghindari makan ikan bersama kepalanya, dikarena kepala menjadi gudang berbagai bahan kimia yang akan mengganggu perkembangan otak. Oleh sebab itu, yang dikonsumsi hanyalah daging ikannya saja seperti yang dilakukan oleh orang Jepang. Selain itu, orang Yahudi tidak mengkonsumi ikan dan daging secara bersamaan. Serta, membiasakan makan buah terlebih dahulu sebelum menyantap hidangan atau makan besar. 

Ketiga, tidak merokok. Bagi komunitas orang Yahudi kebiasaan merokok merupakan hal yang tabu. Bahkan jika ada tamu yang bertandang ke rumahnya sambil merokok, mereka tidak segan-segan menyuruh keluar rumah untuk merokok. Sebab, bagi komunitas Yahudi keberadaan nikotin dalam rokok akan merusak sel utama pada otak dan akan melekat secara genitik. Maka, kebiasaan merokok bisa jadi akan menciptakan generasi (maaf) bodoh. 

Adapun penelitian Stephen Carr Leon ini sebenarnya, masih menjadi perdebatan dibeberapa kalangan—terutama pada point ketiga yakni tentang masalah rokok. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya hasil penelitian tersebut yang dimuat dalam bentuk jurnal, termasuk keberadaan sang peneliti itu sendiri. Benar atau valid dan tidaknya penelitian ini—tidak ada salahnya kita sama-sama melakukan koreksi bersama tentang hal-hal baik yang barangkali bisa kita lakukan terhadap generasi kita kedepan. Maka, berangkat dari sinilah, saya termotivasi membiasakan membaca Al Qur’an disamping istri saya sejak ia mengandung Luna. Entah, bagaimana pun hasilnya. Sebab yang saya lakukan hanya untuk memperkenalkan sumber ajaran agama yang saya yakini terhadap anak saya—bahkan sejak ia lahir. 

... dan sampai saat ini pun, saya masih tetap belajar untuk hal tersebut.


0 comments: