Sate Ayam


Beberapa hari lalu, saya menyempatkan diri mampir kesalah satu Warung Sate Ayam-Kambing Madura yang ada disebelah apotik kampus. Terus terang, saya memang tidak pernah makan di warung sate Madura ini. Oleh sebab itu, beberapa rekan dosen menyarankan agar saya bisa mampir—sekalian bisa bertemu dengan sesama klan Madura.

Sesampainya di warung sate tersebut, ternyata pelanggannya sedang mengantri sampai diluar tenda. Saya pun memesan sate ayam dengan menggunakan bahasa Indonesia—dan bukan menggunakan bahasa Madura. Takut saya mengantri agak lama, saya pun masuk ke dalam tenda sembari duduk berbasis bersama dengan pembeli sate yang lain. Dan kurang lebih menunggu sekitar 15 menit, saya pun disuguhkan sate tanpa lontong oleh salah satu pekerjanya. Sekalipun, saya melihat sate yang disajikan dihadapan saya terdapat kejanggalan.

“Mas pakai lontong” ujar saya. Sebab diwarung ini ada dua pilihan, makan sate dengan nasi atau dengan lontong. Si pekerja pun dengan sigap mengambilkan saya lontong.

Benar saja. Santapan pertama sate yang saya makan, membuka kejanggalan yang saya pikirkan dari tadi. Sebab, yang saya makan bukan sate ayam yang saya pesan, melainkan sate kambing. Terlebih, daging sate kambingnya sedikit agak keras—ketimbang sate kambing makan dari warung sate madura yang lain. Saya pun mendiamkan saja dan tetap terus memakan sate tersebut. 

Sate kambinggah dimmah? (sate kambingnya mana)” ucap sang suami dengan menggunakan bahasa Madura, ia sedari tadi sibuk mengipas sate diatas panggangan.

Rowah lamareh ebeki (itu sudah dikasih)” jawab sang istri sambil menunjuk ke arah saya. Saya pun memandangi kedua suami istri yang khas perawakan Madura itu.

Arowah mesen ajem, benni embik (dia pesan ayam, bukan kambing)” ucap sang suami seperti sedang menyalahkan istrinya.

“Pantesan satenya agak alot mbak” imbuh saya dengan tetap menggunakan bahasa Madura.

Ye, ngakan repphe bennyak (ya, makan rumput banyak)” celetuk pekerja yang menyuguhkan sate kehadapan saya. Mereka bertiga pun tertawa kecil—yang seakan memberikan isyarat bahwa saya lebih baik makan rumput ketimbang sate yang alot (jawa: keras). Barangkali, ketiga hendak bercanda dengan saya. Dan seakan saya tidak mengerti pembicaraan mereka. Tentu, hal itu agak berlebihan, apalagi saya pembeli.

Empean reng ka’ dimmah Mbak? (anda orang mana Mbak)”  tanya saya pada istri si pedagang sate sembari terus melahap sate yang saya pesan.

Abbeh. Sampean reng Madureh keyah. Guleh reng Sampang, sampean ka’emmah? (Owh. Anda orang Madura juga. Saya orang sampang, anda orang mana?)” jawab si istri pedagang sambil tersipu malu—yang tidak seakan menyangka saya bisa berbahasa Madura.

Guleh, reng Pamekasan, Mbak. (saya orang Pamekasan, Mbak)”

“Owhhh” ucap si istri pedagang sate.

Abid pon alakoh ka’enjeh, Lek? (kamu udah lama bekerja disini, Dik?)” tanya saya pada pekerja yang menyuguhkan sate dan mencandai saya itu.

“Ampon, korang lebbi pon empak taon (kurang lebih sudah empat tahun” ucap si pekerja. Saya pun tidak bertanya lagi.

Saya pun menghabiskan sate kambing yang sebenarnya saya agak kurang sreg. Sebab, kealotan sate yang saya makan. Bila saya tidak habiskan menjadi mubazir dan nanti terlanjur membayar. Usai menghabiskan sate tersebut saya pun membayar sate tersebut Rp. 13.000 sambil memberikan senyuman kepada pekerja dan istri si pedagang sate. Saya pun pamit dengan menggunakan bahasa Madura.

Agguh, adhe’ pas ta’nyaman la (waduh,jadi tidak enak jadinya)” ucap si istri pedagang saat saya hendak meninggalkan warung sate. Nah! Disini perlunya menghargai pelanggan. Dimana, dari manapun dan siapapun pelanggannya.


0 comments: