Sepertinya sudah tak ada yang bisa aku banggakan sebagai perempuan. Masa depanku suram!
Begitulah pesan yang masuk kedalam handphoneku
semalam tadi. Pesan yang dikirim oleh teman kuliahku—Ia merasa putus asa.
Kuliahnya berantakan tak terurus, cowoknya, menghianatinya berselingkuh dengan
temannya, keluarganya mendesak cepat lulus, tabungannya menipis—ia lesu
meneruskan hidup.
Sebagai seorang teman yang sudah
mengenal lama. Aku tahu ia sedang dalam keadaan bimbang tanpa ada ruang untuk
bisa saling mengeluh. Apalagi, pertemanan kami hanya kami lakukan dengan cara
saling berkirim pesan di inbox. Hal itu disebabkan pertemanan kami yang tidak
pernah bersaling tatap muka sekalipun. Ya! perkenalan kami dimulai dari kegemaran
kami berselancar di media sosial—sama seperti kebiasaan anak muda lainnya saat
ini. Lewat media sosial, setiap orang bisa melakukan aktivitas pertemanan yang
tidak lagi mengenal batas ruang dan waktu. Aku pun mengambil notebook dan modem
yang ada dipojok meja dan berencana menulis pesan untuk temanku. Barangkali,
pesan yang aku kirimkan nanti bisa memberikan energi positif yang bisa
menurunkan tensi kebimbangannya. Biarlah, kegalauan menjadi kekuatan yang
membawanya pada jawaban atas pertanyaannya sendiri.
Aira,Kamu perempuan kuat. Kamulah yang akan menjadi hakim atas kehidupanmu kelak. Maka, tetaplah kuat dalam menjalani hidup. Hidup yang telah kamu anggap sudah tidak lagi membanggakan. Dimanakah letak ketidakbanggaan—atau bahkan ketidakbermanfaatan hidupmu?. Mari kita saling merefleksikan diri. Sebentar saja, Aira.Dunia hanya persinggahan sementara waktu. Dan hidup bukan hanya sekedar ratapan yang selalu berada dalam keterasingan untuk menatap masa depan. Perjalanan hidup merupakan proses yang harus dinapaki bersama kekuatan harapan, doa dan cinta. Biarlah semua berjalan seperi adanya. Kita hanya menjalaninya dengan kebaikan yang ada—kebaikan untuk kehidupan sesama.Jika perempuan hanya menjadi objek atas segala hal. Maka kekuatan patriarkhi akan selalu hadir dalam jiwa dan hidup. Dan hanya membuat diri terperosok dalam jurang kepasrahan. Jadilah perempuan yang bisa mejadi subjek. Berbuat atas keinginan dan perubahan tanpa harus memikirkan soal kedudukan—semua hanya kesepakatan dan kuasa.Barangkali trauma sejarah perempuan masih menjadi faktor dominan dalam kepasrahan. Dalam pandangan masyarakat Yunani kuno, Perempuan merupakan sumber segala bentuk penyakit dan bencana. Sehingga kaum perempuan tak bisa makan bersama dalam satu meja. Meski, pada akhirnya ada perubahan akibat adanya kebebasan dan berdampak pada banyak pelacuran. Di india perempuan menjadi sumber dosa sehingga tak punya hak warisan. Bahkan setelah suaminya meninggal sang istri harus membakar diri hidup-hidup bersama suaminya yang di kramasi. Sejarah Arab lebih suram lagi, perempuan yang lahir bukan hanya tak mendapatkan warisan bahkan ia di kubur hidup-hidup—semuanya, menggambarkan bahwa perempuan adalah aib.Aira, kita adalah bagian orang yang beragama. Dalam ajaran agama manapun saat ini sudah bisa menempatkan perempuan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perubahan dan kebaikan. Berdermawanlah seperti Khatijah, cerdaslah seperti Aisyah dan Fatimah, ber-qona’ah-lah seperti Rabiah Adawiyah, progresiflah seperti Rosa Luxemburg, mengayomlah seperti Kartini, lantanglah seperti Marsinah, gagahlah seperti Cut Nyak Dien—atau jadilah orang tua yang mampu membesarkan jiwa anak-anaknya. Mengajarkan tentang caranya bersikap dan bertanggung jawab—maka, jika kita ingin menjadi bagian dari sejarah tak adajalan lain selain, kita membuat sendiri tentang sejarah kita sendiri.Qum! Bangunlah. Kita angkat tangan mengepal. Dan lawanlah hal buruk yang mengganggu dalam alam pikiran. Hilangkan ragam asumsi akibat keraguan. Tataplah dengan kuat masa depan dengan harapan, doa dan cinta. Sebagai salah satu cara membangkitan jiwa girl powermu. Tak perlu hitung kembali waktu yang sudah terlewati. Anggaplah ia sebagai infaq yang tak perlu kita hitung dan kita ingat. Aku yakin kamu jauh lebih kuat dari ada apa yang aku—atau kamu bayangkan. Masih ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menebar banyak manfaat terhadap banyak orang disekitar kita. Anggaplah apa yang kamu alami itu sebagai perjalanan hidup yang membanggakan hidupmu, hidupku, hidupnya—hidup kita bersama.Mungkin ini bukan jawaban atas kegelisahaanmu. Tapi, setidaknya, aku bisa bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Dan semoga kau tidak puas dengan apa yang aku tulis ini, Aira—agar kita selalu bersama dalam perasaan kita masing-masing. Yakinlah, selalu banyak hal yang bisa kita banggakan dari seorang perempuan, seperti yang pernah dilakukan sosok perempuan luar biasa diatas tadi.Sahabat onlinemu.
Aira adalah salah satu orang orang
lebih dominan menggunakan perasaan. Sehingga apa yang ia lakukan dan ia alami
selama ini terlampau terdramatisir. Ia begitu suka menikmati masa
lalunya—akibatnya, ia gamang dalam melihat masa depannya sendiri. Aku juga tak
bisa menjelaskannya lebih jauh dari ini.
Ya! barangkali, tiap masalah selalu
menemukan jawaban sendiri. Atau bahkan pada titik tertentu sebuah pertanyaan
kembali menemukan pertanyaan baru yang sepertinya tidak ada habisnya. Namun,
bagaimana pun caranya seseorang akan jauh lebih survive degan ragam masalah
manakala ia sudah terbiasa mengatasi masalah yang dihadapi. Ibarat penyakit
pertanyaan dan masalah lama-lama tidak akan mempan menghinggapi disaat imunitas
jawaban atau tubuh memiliki kekebalan tertentu yang dibutuhkan untuk menghadapi
pertanyaan dan masalah yang dihadapi. Dan apa yang menimpa Aira, aku tahu ia
sedang mencari jawaban—yang lama-lama akan menemukan diri, jawaban dan pertanyaan
pada proses hidup yang selanjutnya.
Begitulah, kira-kira.
0 comments:
Posting Komentar