Revoluna


Luna, anakku.

Pertama kali bundamu mengajakku untuk melakukan program kehamilan ke salah satu rumah sakit sekitar petengahan tahun lalu, awalnya aku merasa kaget. Sebab, ia mengajakku dengan begitu mendadak, tanpa sebelumnya mendiskusikannya terlebih dahulu. Maka, tanpa banyak pertimbangan, aku pun mengikuti apa yang menjadi keinginan bundamu. Aku tahu ia lebih tahu apa—yang sebenarnya kami inginkan selama ini. Yakni kehadiranmu, anakku. 

Mula-mula program kehamilan itu, Bundamu harus minum obat penyubur kandungan tiap hari, disamping harus mengikuti tahapa tertentu dalam program kehamilan tersebut. Dan beberapa bulan pasca pelaksanaan program itu—Bundamu mengabariku bahwa ia dalam keadaan hamil. Aku hanya bisa bersyukur mendalam waktu itu, sebab seperti biasanya—aku masih berada di Purwokerto, seperti yang selama ini aku bicarakan padamu. Semenjak positif kehamilanmu itu, Bundamu sering ke dokter—hanya untuk memastikan bahwa kamu dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan pada awal kehamilan, Bundamu harus menghabiskan tujuh test alat kehamilanhanya untuk  bahwa ia benar-benar telah hamil. Ia bahkan tidak malah semakin sigap bekerja ketimbang biasanya—seakan kehamilanmu menambah kekuatan baru baginya untuk bekerja, dan tentu saja begitupula denganku.


Gambar USG diatas itu, adalah pada saat kamu berusia empat bulan. Waktu itu, Bundamu memeriksakanmu sendirian ke dokter. Aku tidak bisa menemaninya karena aku masih ada di Purwokerto. Namun, ia selalu mewanti-wanti agar aku menemaninya—agar aku juga mengetahui perkembanganmu. Apalagi, tiap kali periksa Bundamu selalu ditanya mengapa aku tidak menemaninya—dan pada saat itu pula Bundamu membelaku. Oleh sebab itu, kami selalu menyebutmu sebagai harapan dan penantian.

Oh ya. Aku lupa. Semenjak dinyatakan hamil. Bundamu memutuskan diri untuk mengekos tak jauh dari tempat Bundamu bekerja. Aku juga selalu meluangkan waktu untuk bisa pulang dua kali selama seminggu yang sebelumnya aku hanya bisa pulang seminggu sekali tiap weekend. Itu sebabnya, beberapa orang rekan Ayah menyebutnya sebagai—suami purmalastu.
 
Luna, anakku.                                                                                    

Seiring berjalannya waktu dengan keadaanmu yang semakin besar di dalam selaksa rahim Bundamu. Ia mulai agak kurang nyaman tiap kali tidur, mulai dari tidak bisa tidur terlentang, terasa gerah bahkan kadang-kadang lebih suka tidur tanpa menghadapku. Aneh sekali memang, tapi memang begitu keadaannya. Sekalipun, Bundamu merasa kuat, kadang-kadang ia juga mengeluhkan apa yang dirasakannya, meski sebenarnya ia membutuhkan perhatian ekstra dariku.

Pada kesempatan yang lain, Bundamu mengajakku untuk memeriksanakanmu ke pada dokter yang lain. Katanya, untuk mengetahui perkembangan bayi tidak cukup hanya dengan satu dokter. Sampai akhirnya, ia meminta untuk memeriksakan dengan USG 4D yang itu hanya ada di Purwokerto. Saking, ngebetnya Bundamu ia pun mengajukan cuti agar ia bisa memeriksakan dan mengetahui perkembanganmu.  Hasil USG 4D adalah kamu saat usia 6 bulan. Betapa senangnya kami pada saat itu, sebab menurut penjelasan dokter, tumbuh kembangmu berjalan dengan dengan baik. Begitu lega rasanya kami mendengarnya..

 
 
Luna, anakku

Jelang kelahiranmu. Kami sempat dibuat kaget oleh penjelasan dokter yang menyatakan bahwa kamu tidak bisa lahir secara normal. Hingga selama seminggu aku dan Bundamu harus pergi ke dokter yang berbeda sebanyak dua kali. Tidak hanya itu, Bundamu bahkan meminta agar diperiksakan ke Bidan dan dukun bayi. Aku pun mematuhinya, sebab yang aku pikirkan kamu bisa lahir dengan keadaan selamaat dan sehat—begitu dengan Bundamu. Hingga kami pun, mengambil jalan terakhir yakni dengan jalan cesar. Ya! Kaka Luna lahir dalam keadaan secar yang direncanakan. Dan Alhamdulillah, semua berjalan dengan keadaan lancar, selamat dan sehat... dan kami pun memberimu nama Revoluna Azalia Makhadi.

Kini, saat usiamu sudah beranjak tiga bulan, tak terhitung berbagai cerita dan pelajaran. Sama seperti saat usiamu memasuki satu bulan yang lalu. Barangkali, berbagai hal tentang perjalanamu, ayah dan Bunda—perjalanan kita bersama. Bisa kita lewati dengan cara-cara yang bijak, baik dan saling membahagiakan. Dan kamulah anugerah terindah yang kami miliki..

Mari berjalan, berjalan dan menyejarah bersama, anakku.


0 comments: