Partai Islam Progresif (PIP) adalah partai kampus Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta Lahir partai ini lebih didasari pada kesadaran
pembangunan kesadaran melek politik dikalangan mahasiswa tahun 2000-an.
Agak aneh memang, nama partai ini seakan memiliki kelindan dengan
gagasan Islam progresif yang saat itu begitu mewabah dikalangan kaum
muda, meminjam istilah Omed Safi, Islam progresif merupakan
keberlanjutan dari Islam liberal. Sekalipun, memiliki perbedaan
dalam bentuk aksinya. Namun, bukan hal itu yang hendak saya sampaikan,
melainkan lebih pada jejak PIP UMY itu sendiri. Partai yang lahir dari
kader IMM.
Keberadaan PIP
yang masih bersifat lokal di Fisipol UMY, mampu mengantarkan Zam'ani
Afif sebagai Gubernur Fisipol UMY. Namun, pada saat UMY memberlakukan
sistem pemilihan langsung dalam pemilihan Presma UMY. Maka, PIP menjadi
partai kampus dengan mengusung Cahyo Prabowo
sebagai calon Presma dan menang dengan jumlah suara yang
mengagumkan--dialah Presma pertama dengan Pemira langsung di UMY. Pada
tahun-tahun berikutnya, PIP semakin mampu mendelegasikan kadernya (yang
sebenarnya kader IMM) sebagai Presma, bahkan sejak saat tahun 2006
sampai saat ini, PIP seakan menjadi satu-satunya partai yang sulit
dikalahkan dalam tiap proses Pemira UMY.
Sebagai mantan Ketua Umum PIP 2008, saya yang tidak diwarisi berkas dokumen partai dari pengurus sebelumnya bersama dengan teman-teman pengurus pusat PIP mengadakan sidang pleno, mulai membuat AD/ART, modifikasi lambang, aturan DPF, proses penentuan Capres dan lainnya. Kini, saat beberapa tahun berlalu--keberadaan PIP, seakan membangun oligarkhi politik mahasiswa UMY, sehingga rasanya diperlukan penyegaran kembali. Entah, dengan tidak perlu mengikuti Pemira sembari memberi memberi kesempatan pada partai dan organisasi mahasiswa yang lain. Sebab, jika ini dibiarkan berlarut-larut tentu hanya mengahadirkan Prema karbitan yang hanya mementingkan keinginan sendiri, bukan kepentingan partai dan mahasiswa secara umum.
Semua kader PIP harus bangga identitas partai dan ruh besar ikatan organisasinya. Adanya koreksi dan evaluasi lintas generasi tidak perlu membuat kuping memirah. Namun, bisa dijadikan tradisi saling mengingatkan. Terkait, dengan Presma--tidak perlulah merasa jumawa, yang seakan kemenangannya dilakukan sendirian tanpa melibatkan semua mesin partai. Dan lakukanlah amanah konstitusi partai dan KM UMY sebagai aturan mengikat, tanpa perlu merasa memundurkan masa periode jabatan karena alibi kemaslahatan yang lahir dari dirinya, bukan lahir dari konstitusi dan aturan yang berlaku. Percayalah, pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu melahirkan para pemimpin baru--dan bukan melanggengkan kekuasaan yang dipimpinnya.
Terakhir, spirit PIP adalah membangun tradisi dan peradaban politik yang demokratis. Bukan oligarkhi politik. Jadi, tidak ada salahnya mengalah untuk memberi kesempatan yang lain untuk memimpin. Itu saja!
(Repost dari Facebook)
Sebagai mantan Ketua Umum PIP 2008, saya yang tidak diwarisi berkas dokumen partai dari pengurus sebelumnya bersama dengan teman-teman pengurus pusat PIP mengadakan sidang pleno, mulai membuat AD/ART, modifikasi lambang, aturan DPF, proses penentuan Capres dan lainnya. Kini, saat beberapa tahun berlalu--keberadaan PIP, seakan membangun oligarkhi politik mahasiswa UMY, sehingga rasanya diperlukan penyegaran kembali. Entah, dengan tidak perlu mengikuti Pemira sembari memberi memberi kesempatan pada partai dan organisasi mahasiswa yang lain. Sebab, jika ini dibiarkan berlarut-larut tentu hanya mengahadirkan Prema karbitan yang hanya mementingkan keinginan sendiri, bukan kepentingan partai dan mahasiswa secara umum.
Semua kader PIP harus bangga identitas partai dan ruh besar ikatan organisasinya. Adanya koreksi dan evaluasi lintas generasi tidak perlu membuat kuping memirah. Namun, bisa dijadikan tradisi saling mengingatkan. Terkait, dengan Presma--tidak perlulah merasa jumawa, yang seakan kemenangannya dilakukan sendirian tanpa melibatkan semua mesin partai. Dan lakukanlah amanah konstitusi partai dan KM UMY sebagai aturan mengikat, tanpa perlu merasa memundurkan masa periode jabatan karena alibi kemaslahatan yang lahir dari dirinya, bukan lahir dari konstitusi dan aturan yang berlaku. Percayalah, pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu melahirkan para pemimpin baru--dan bukan melanggengkan kekuasaan yang dipimpinnya.
Terakhir, spirit PIP adalah membangun tradisi dan peradaban politik yang demokratis. Bukan oligarkhi politik. Jadi, tidak ada salahnya mengalah untuk memberi kesempatan yang lain untuk memimpin. Itu saja!
(Repost dari Facebook)
0 comments:
Posting Komentar