Cinta Yang Tak Dirindukan


Beberapa waktu lalu, ada mahasiswa saya yang curhat—karena baru putus dengan pacarnya. Alasan putusnya hubungan mereka karena diantara mereka sudah tidak ada kecocokan. Selama kurang lebih dua tahun ia membina hubungan, ia sudah tujuh kali putus nyambung dengan pacarnya. Sering emosi dan sikap saling tidak mau mengalah selalu menjadi faktor pemicu keretakan hubungan percintaan mereka.

“Tapi, ya itu, Pak. Rasanya, kok setelah putus masih ada kangen sama dia” keluh mahasiswa saya tersebut.
 “Terus kenapa harus putus?”

“Dia sih, tidak mau mengalah”

“Terus mengapa kamu juga tidak mau mengalah?” jawab saya berbalik. Ia pun mengusap dahinya seakan mencari alasan dan jawaban. Ia pun menjawab dengan membeberkan sikap yang dianggapnya tidak mau mengalah dari sang mantan. Sedangkan, rasa kangen yang ia maksud sebenarnya lebih pada memori kebersamaaan mereka saat masih bersama. Saya pun hanya menjadi pendengar setia..

Pada kesempatan yang lain. Ada seorang teman lama yang bercerita, kalau ia sudah tidak jadi menikah dengan seorang perempuan yang dikenalnya melalui pengajian rutin ahad pagi. Ihwal pertemuan mereka dicomblangin oleh seorang murabi’ (sebut: mentor) yang selama ini membimbing kebutuhan spiritualnya. Ia menyebutnya, perkenalan mereka sebagai proses ta’aruf. Selama proses ta’aruf ia saling bertukar pikiran dengan perempuan tersebut. Tidak hanya soal sikap, pemikiran, hobi dan pekerjaan. Namun, juga sudah saling bertukar pandangan tentang rencana rumah tangga yang hendak mereka bangun, serta sudah saling berkunjung antara kedua keluarga. Sekalipun, memang belum ada pembicaraan khusus mengenai—kapan rencana niat baik tersebut berujung ke meja pelaminan.

“Terus apa masalahnya. Semua nampak normal bukan?” tanya saya yang agak heran.

“Normal gimana?”

“Bukankah proses ta’aruf itu yang aku tahu, memang begitu yang kebanyakan orang lakukan” sahut saya sembari memandangi menatap lekat teman lama saya tersebut. Memang agak geli rasanya.

“Baiklah. Begini. Aku yakin setiap orang memiliki ukuran tersendiri dalam menetapkan pilihan hidupnya. Apa yang dilakukan oleh perempuan yang aku ta’arufi itu sepertinya belum bisa aku pahami. Aku harus menunggu setahun lebih hanya untuk menunggu keyakinan—tentang apa yang ia sebut jodoh, imam dan kepala keluarga. Ia hanya menunggu apa yang ia yakini, bukan ikut berproses bersamaku. Terus mau sampai aku harus menunggu, sedangkan kamu saja sudah mau punya anak satu begitu” ujar teman saya tersebut. Ia pun menghela nafas panjang dan melanjutkan ceritanya—dan saya pun selalu menjadi pendengar setia.

Baginya, niat baik dalam membina hubungan harus didasarkan pada keinginan. Tetapi, harus didasarkan visi, komitmen dan tanggung jawab bersama—dengan penuh rasa cinta dan prosesnya. Meski, kadang-kadang cinta hadir melalui kejutan kebersamaan, pemahaman dan ketidaktahuan.  Bukan melalui ketidakpastian dan penungguan yang tak tahu kapan berakhirnya. Ia pun belajar dari kejadian ini bahwa niat yang baik juga harus dilakukan dengan cara dan perasaan yang baik.

Dari kedua orang diatas, mahasiswa dan teman lama saya tersebut. Bahwa pacaran maupun ta’aruf hanyalah media untuk saling mengenal diri dan pasangan yang hendak kita jadikan sahabat bersama—dalam mengarungi kehidupan rumah tangga kedepan. Sebagai sebuah media selalu menghadirkan sudut pandang tersendiri. Misalnya, asumsi tentang pacaran selalu berkonotasi negatif sebab selalu menghadirkan kemesuman—sebagaimana banyak disuguhkan dalam sinetron. Sedangkan ta’arif diasumsikan lebih religius dikarenakan prosesnya yang dianggap religi—seperti digambarkan dalam film religi yang ada selama ini. Tapi, intinya kembali pada perilaku kita sendiri, mau menggunakan media pacaran atau ta’aruf, jika pada akhirnya menghadirkan beragam ketidaknyamanan, kerusakan dan ketidakjujuran, pada akhirnya akan menentukan pilihannya sendiri-sendiri. Dan mereka tetap saja jatuh cinta, bukan?

Selamat merefleksi..


0 comments: