Tentang Pertanyaan (2)


“Nda bahagia sama Ayah?” tanya saya pada istri saya. Ia pun menuleh kearah saya, sambil mengabaikan nomor antrian kontrol kandungan di rumah sakit yang sedari tadi dipegang dan dipandanginya. 

“Kok tanya begitu?”

“Ayah, kan hanya mengulang pertanyaan Nda yang beberapa bulan lalu itu” jawab saya sambil tersenyum dan mengangkat kedua alis. Istri saya tersenyum malu.

“Ya, bahagialah, Yah. Kan kita sudah berumah tangga lebih dari setahun. Terus Ayah sendiri gimana. Tidak bahagia begitu?” jawab istri saya secara diplomatis—mengalihkan jawaban pertanyaan saya.

“Hem! Ayah nyaris tidak ada alasan untuk bilang tidak bahagia. Apalagi, sekarang sudah ada si dedek” jawab saya sambil mengelus  perut istri saya. Istri saya pun kembali tersenyum malu menatap saya. Ia pun memeluk saya—meski tidak terlalu erat.

“Iiihhh..” Ucap istri saya. Ia pun mencubit perut saya yang mulai membuncit. 

Pertanyaan tentang bahagia—kebahagiaan, dalam apapun wujudnya seyogyanya memang sulit untuk dijelaskan. Sebab, kebahagiaan hanya lahir dalam ruang hati dalam bentuk: kelapangan jiwa, kepuasan jiwa, kebersyukuran, koneksitas akal dan hati serta kedalaman iman. Makanya, tiap kali kebahagiaan yang direka-reka hanya dengan kekuatan perumpamaan pikiran, pada akhirnya hanya akan menemukan beragam kebuntuan dan ruang ‘ketidakbahagiaan’ yang tiada ujungnya.

Barangkali, tiap diri kita memiliki standar dan ukuran dalam mengukur pada posisi mana kita merasa bahagia. Namun, kita tidak akan pernah bisa mengukur ‘kualitas’ kebahagiaan kita sendiri, karena disebabkan oleh lahirnya kebahagiaan itu sendiri—hati. Maka, cara kita dalam memantaskan kebahagiaan kita tersebut adalah merupakan ‘proses’ kita menjadi ‘bahagia yang sesungguhnya’. 

Mari dan selamat berbahagia :)


0 comments: