“Nda bahagia sama Ayah?” tanya
saya pada istri saya. Ia pun menuleh kearah saya, sambil mengabaikan nomor
antrian kontrol kandungan di rumah sakit yang sedari tadi dipegang dan
dipandanginya.
“Kok tanya begitu?”
“Ayah, kan hanya mengulang
pertanyaan Nda yang beberapa bulan lalu itu” jawab saya sambil tersenyum dan
mengangkat kedua alis. Istri saya tersenyum malu.
“Ya, bahagialah, Yah. Kan kita sudah berumah tangga lebih dari
setahun. Terus Ayah sendiri gimana. Tidak bahagia begitu?” jawab istri saya
secara diplomatis—mengalihkan jawaban pertanyaan saya.
“Hem! Ayah nyaris tidak ada
alasan untuk bilang tidak bahagia. Apalagi, sekarang sudah ada si dedek” jawab
saya sambil mengelus perut istri saya.
Istri saya pun kembali tersenyum malu menatap saya. Ia pun memeluk saya—meski tidak
terlalu erat.
“Iiihhh..” Ucap istri saya. Ia
pun mencubit perut saya yang mulai membuncit.
Pertanyaan tentang bahagia—kebahagiaan,
dalam apapun wujudnya seyogyanya memang sulit untuk dijelaskan. Sebab,
kebahagiaan hanya lahir dalam ruang hati dalam bentuk: kelapangan jiwa,
kepuasan jiwa, kebersyukuran, koneksitas akal dan hati serta kedalaman iman. Makanya,
tiap kali kebahagiaan yang direka-reka hanya dengan kekuatan perumpamaan
pikiran, pada akhirnya hanya akan menemukan beragam kebuntuan dan ruang ‘ketidakbahagiaan’
yang tiada ujungnya.
Barangkali, tiap diri kita
memiliki standar dan ukuran dalam mengukur pada posisi mana kita merasa
bahagia. Namun, kita tidak akan pernah bisa mengukur ‘kualitas’ kebahagiaan
kita sendiri, karena disebabkan oleh lahirnya kebahagiaan itu sendiri—hati. Maka,
cara kita dalam memantaskan kebahagiaan kita tersebut adalah merupakan ‘proses’
kita menjadi ‘bahagia yang sesungguhnya’.
Mari dan selamat berbahagia :)
0 comments:
Posting Komentar