Kemarin
untuk pertama kalinya saya berurusan dengan BPJS untuk pengobatan istri
saya di RSUD dekat tempat tinggal kami. Saat kami masuk IGD bagian
resepsionis menawarkan apakah istri saya pakai BPJS atau reguler. Saya
pun melihat istri saya dan memilih menggunakan BPJS. Karena selama ini
kami belum memakai kartu tersebut dan tetap membayar untuk kelas utama
untuk tiap bulannya. Saya harus memfoto copy KTP dan kartu BPJS istri
masing-masing sebanyak 6 lembar untuk kebutuhan administrasi. Entahlah,
kok banyak sekali.
Saat hendak diperiksa, istri saya tidak secara
sigap ditangani, padahal sakit asmanya makin membuat ia sulit bernafas.
Si dokter malah asyik ngobrol dengan si perawat. Dan setelah diperiksa
malah saya dicecar dengan pertanyaan obat yang dipakai istri saya yang
diberikan dokter RSIA tempat istri saya berobat dan memeriksakan
kandungan. Saya hanya meminta agar istri saya diasap sesuai dengan saran
dokter tempat biasa kami periksa. Usai istri saya diperiksa, saya harus
berhadapan dengan resepsionis, katanya BPJSnya baru diopservasi kurang
lebih 1,5 jam. Ditengah menunggu itu saya melihat fenomina unik: dimana
pegawai rumah sakit asal batak lebih sopan ketimbang pegawai orang jawa.
Ternyata, apa yang saya alami juga dialami oleh dua pasien lain
yang saat itu juga berobat. Mereka mengeluhkan persyaratan dan
penanganan rumah sakit bagi pesien BPJS yang cenderung berbelit-belit
dan lamban itu.. Barangkali, inilah pekerjaan pemerintah yang selalu
berkampanye soal kesehatan gratis, sebab nyatanya yang iuran tiap bulan
saja, tidak sebanding dengan pelayanan yang diperoleh. Dan bagi
pengelola rumah sakit pemerintah tak perlu diskriminasi terhadap semua
pasien. Toh! Memberi pelayanan yang sopan dan prima tidak akan
mengurangi gaji anda sebagai pegawai, bukan? Semoga jadi lebih baik.
Forward dari Facebook (Klik)
0 comments:
Posting Komentar