Semenjak saya memutuskan untuk
menikah dengan istri saya—Zulaekha Lestari Putri, setahun lalu tepatnya 30 Mei2014. Beberapa teman sempat kaget sambil berucap “kok bisa kaliah menikah?”.
Maklum saja, saya dan istri memang sudah saling mengenal lama, sejak kami
sama-sama kuliah S1 di Jogja. Barangkali, keterkejutan tersebut disebabkan dua
hal: pertama, karena kami awalnya memang sudah akrab—bahkan bisa dibilang sudah
seperti kakak adik. Apalagi usia saya dan istri terpaut 3 tahun dan saat kuliah
saya angkatan 2005 dan istri angkatan 2007. Kedua, istri saya bukan kader IMM,
sebuah organisasi yang selama ini menjadi tempat saya berkader sejak mahasiswa
hingga saat ini. Tentu, hal ini menjadi
agak aneh sebab ada gium kuat “IMMawan untuk IMMawati”. Maksudnya, kader
laki-laki IMM untuk kader perempuan IMM. Semacam perjodohan dengan cara
berkader bersama. Barangkali, tidak ada salahnya kalau organisasi ini disebut
dengan Ikatan. Bermacam kegagetan tersebut, kami pandang sebagai bagian dari
upaya dalam memastaskan diri kami sebagai pasangan suami istri.
Terus terang semenjak memutuskan
untuk menikah setahun lalu tersebut. Kami masih harus menjalani proses
pertunangan kurang lebih setahun lamanya. Waktu itu, saya harus merampungkan
kuliah S2 saya di Jogja dan posisi istri saya sudah bekerja di Majenang. Dalam
benak saya, jika saya telat lulus kuliah maka akan berpengaruh pada proses
rencana pernikahan kami. Sebab waktu masih pacaran dan prosesi lamaran mertua
saya meminta agar saya nantinya bisa menetap di Majenang dikarenakan istri saya
merupakan anak terakhir—terkenalah pakem masyarakat Jawa tentang anak perempuan
terakhirnya. Saya pun menerima permintaan tersebut setelah sebelumnya saya
mendiskusikan hal tersebut dengan keluarga saya. Awalnya, memang agak berat, tapi bagaimana pun
harus ada yang mengalah agar rencana biduk berkeluarga kami saat itu bisa
bejalan dengan baik dan lancar. Nah! Pikiran
berkecamuk isi kepala saat itu adalah tentang apa yang harus saya kerjakan di
Majenang pada saat berkeluarga?
Bagaimana cara saya memperoleh penghasilan. Bagaimana dengan nasib
ijazah S2 saya? Bagaimana dengan keinginan saya untuk bisa masuk ke kampus di
daerah yang sama sekali hanya ada satu kampus kecil milik organisasi sebelah?
.. dan seterusnya. Yang intinya saya masih berpikir tentang diri saya
sendiri.
Lambat laun saya berdialog dengan
diri saya sendiri. Dengan kembali menanyakan pada diri saya sendiri—tentang apa
yang sebenarnya saya cari dalam hidup dan berumah tangga? Sampai akhirnya saya
pun menyadari bahwa apa yang saya lakukan selama ini sudah seperti berumah
tangga. Baik dengan berorganisasi dalam ikatan, bekerja di LSM, menjadi dosen
luar biasa (tidak tetap), berjualan gorengan, membuka catering, bisnis online,
membantu mengasuh dua keponakan saya Seina dan Verin saat jeda kuliah—bahkan
menulis buku yang naskahnya hilang disebuah penerbit. Namun, yang paling
membuat saya menemukan magnum opus untuk membina hidup rumah tangga pada saat
jelang saya wisuda S2 saya. Saat itu
saya benar-benar berada dalam titik nadir kelelahan finansial. Uang direkening
saya hanya tinggal 223.000. Uang sisa bekerja dan berjualan seakan lenyap
begitu saja untuk kebutuhan sehari-hari dan membeli buku. Serta terkait untuk
pembayaran kuliah saya berhutang pada kakak saya. Maklum saja, sejak saya kelar
S1 memang sudah meminta kepada keluarga agar tidak perlu dikirimi uang sama
seperti masih kuliah.
Nah! Disinilah jurus nekat ala Madura
pun berlaku—saya melamar istri saya dengan sisa uang diatas, meski saya
mendapat tambahan rejeki dari kakak saya yang kebetulan saat itu mendapatkan
bonus ditempat ia bekerja. Saya hanya mampu melamar istri saya hanya dengan
cincin 2 gram. Terus terang saya tidak bisa memberi lebih dari itu. Barangkali,
niat dan tekat nekat selalu menemukan jalan dan petunjuknya sendiri dari dari
Tuhan. Proses lamaran pun berjalan dengan lancar termasuk penentuan tanggal
kapan pernikahan kami dilaksanakan. Kira-kira hanya rentang 6 bulan dari proses
dari pertunangan tersebut.
Usai lamaran (tunangan) nyatanya
belum bisa menyelesaikan masalah. Ternyata, penyelesaian tesis saya dan ujian
pendadaran saya sedikit menemukan hambatan. Entahlah, saya agak lupa
penyebabnya, tapi yang jelas saya harus bekerja ekstra keras hingga hanya tidur
3 jam dalam semalam. Saya pun kembali berhitung dengan hari pernikahan yang
semakin dekat—dan terlebih lagi saya belum memiliki pekerjaan tetap. Kalau
dulu, saat tunangan saya bisa memiliki alibi dengan masih kulian, namun jelang
pernikahan tentu hal tersebut tidak akan bisa dipakai sebagai alasan. Apalagi,
tradisi yang berlaku di tempat istri saya: setiap undangan pernikahan selalu
mencantumkan profesi si calon pengantin atau memberikan nama kantor/kepala
kantor tempat si mempelai bekerja sebagai tanda turut mengundang para undangan.
Dalam posisi saya yang seperti ini,
tentu saya agak tengsin mencantukan
profesi penjual gorengan—yang omsetnya selalu melorot separuh dari
sebelum-sebelumnya.
Dalam situasi seperti ini, otak bulus saya pun bekerja. Yakni dengan
mengundur hari pernikahan 3 bulan dari bulan yang sudah ditetapkan saat prosesi
tunangan, yang sebenarnya harus dilaksanakan 3 bulan lagi. Awalnya, hal
tersebut mendapat penolakan dari keluarga istri saya. Namun, berkat teknik lobying yang saya dapat dalam
organisasi, akhirnya hal itu pun dimaklumi. Sekalipun, saya dan kakak saya
harus menemui keluarga istri saya untuk menjelaskan terkait pengunduran tanggal
pernikahan tersebut. Alasan yang cukup rasional pada saat itu sebenarnya hanya
dua hal: pertama, saya yang belum selesai kuliah dan ditakutkan akan mundur
jadual wisuda. Kedua, mengingat kedua keluarga belum mempersiapkan berbagai hal
terkait dengan kebutuhan acara pernikahan. Pada titik inilah saya merasa telah
membohongi kedua keluarga besar—istri dan keluarga saya. Sebab faktor yang
sebenanya terjadi dikarenakan saya yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan
sedikit faktor dari dua alasan tersebut diatas.
Perlahan Tuhan memberi jalan atas
kegelisahaan saya. Tiga hari setelah saya dinyatakan wisuda. Saya mendapat
informasi penerimaan dosen di kampus persyarikatan yang ada di Purwokerto,
padahal posisi saya saat itu sudah sampai di Madura karena ada acara keluarga.
Saya pun kembali lagi ke Jogja untuk menyiapkan aplikasi lamaran untuk
penerimaan dosen tersebut, setelah itu saya pun kembali ke Madura lagi.
Sepanjang proses seleksi penerimaan dosen tersebut, saya merasa sangat terbantu
dengan keberadaan istri saya. Ia dengan suka reka membiayai seluruh akomodasi
saya selama seleksi, dimana saya harus bolak balik Jogja-Purwokerto. Bahkan ia
juga terlibat membantu kebutuhan saya selama saya sedang fokus menyelesaikan
kuliah. Hingga pada akhirnya, saya pun dinyatakan diterima sebagai dosen tepat
dua bulan sebelum acara pernikahan kami. Terus terang, saat pernikahan saya merasa agak
tenang. Sekalipun, saya dan istri saya memulai berumah tangga dengan defisit
600.000, karena hasil keringat yang kami dapatkan digunakan untuk sebagaian
kebutuhan pernikahan kami. Yang paling penting bagi saya: apa yang saya lakukan
dan yang saya raih hingga saat ini tidak terlepas dari peran serta istri saya.
Karenanya, hal materi yang saya dapatkan dari keringat saya selalu saya atas
namakan istri saya—hal itu sebagai komitmen bahwa segala dalam berumah tangga
dihasilkan dari perasaan, doa dan usaha bersama.
Kini setelah pernikahan kami
setahun berlalu. Alhamdulillah, kami
diberi amanah kembali menjadi orang tua yang sesungguhnya. Saat ini istri saya hamil yang usianya minggu depan genap 7 bulan. Sebab ini, merupakan kehamilan
istri saya yang kedua setelah sebelumnya sempat mengalami musibah. Dan juga
secara perlahan perekonomian rumah tangga kami membaik, setidaknya masih bisa sedikit
menabung dan memiliki kendaraan sendiri. Lebih dari itu, sebenarnya keluarga
kami tidak sesempurna keluarga kebanyakan orang. Saya dan istri hanya bisa
berkumpul bersama pada hari Rabu dan weekend saja, karena jarak antara
Majenang-Purwokerto yang kira-kira 83 KM, tentu tidak bisa saya laju tiap hari, belum lagi ditambah
medan jalan yang tak bersahabat. Namun, kami selalu bersyukurinya dengan
semangat doa dan ikhtiar kami.
Barangkali, memahami berumah
tangga setiap orang memilki caranya sendiri. Dari cara-cara tersebut kita akan
menemukan serangkaian kebahagiaan yang hanya bisa dirasakan dan dimaknai
sendiri-sendiri sebagai keluarga. Entah, sebagai keluarga besar atau sebagai
keluarga mungil. Namun, yang lebih penting daripada itu adalah bagaimana
membangun keluarga yang bahagia dan membahagiakan. Sedangkan, bagi yang hendak
berumah tangga: kadang-kadang rencana matematis yang melayang dalam pikiran,
hanya bisa menemukan muara bentuk keyakinan dan kepasrahan yang tulus terhadap
Tuhan. Maka, berumah tangga adalah cara kita menemukan beragam muara
kebahagiaan tersebut serta upaya pemantasan diri sebagai hamba yang sempurna
setengah agama. Jadi, segera menikahlah!
0 comments:
Posting Komentar