Keluar Dari Ikatan


Beberapa waktu lalu, secara tidak saya tidak sengaja membaca status facebook seorang teman. Ia menulis kalau tidak salah ingat bahwa tidak ada yang bisa yang dibanggakan lagi dari kaum aktivis ikatan saat ini. Salah satunya dengan ketidakmampuannya dengan membangun dan menyebar kritik dan analisis ilmiah terhadap berbagai persoalan yang saat ini banyak terjadi. Setidaknya, hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan media sosial (medsos) sebagai media sebagai media alternatif untuk menyebarkan sikap kritis dan analisis ilmiah tersebut. Malah yang terjadi sebaliknya yakni medsos hanya dijadikan ajang meracau dan menggalau, tanpa menghadirkan gerakan apa-apa selain ajang narzisme, tidak terkecuali dari pimpinan pusat sampai kader tingkat bawah. Kegelisahaan teman saya tersebut barangkali ada dasarnya yakni seberapa jauh seorang kader paham akan arti misi ideologis dan inteletual yang berpihak sebagaimana para pendahulunya yang selalu kritis itu. Pada ujung status facebook teman saya tersebut, ia mengajukan pertanyaan menggelitik: apakah ikatan telah kehabisan pewaris?

Pada kesempatan yang lain, saya juga pernah berdiskusi dengan seorang teman lain yang kebetulan membincangkan terkait kasus Fajar dan Dimas kader ikatan Klaten yang kini sedang menjalani tuntutan hukum akibat aduan pencemaran nama baik oleh seorang dosennya sendiri. Hal tersebut berawal perbincangan kedua kader tersebut di group Facebook secara tertutup, keduanya saling bertukar pikiran dengan mengkritisi kebijakan kampus, termasuk dosen yang selama ini tidak pernah berpihak terhadap ikatan. Ujung dari daya kritis mereka pun berbuah dengan aduan bersifat delik hukum yang mengantarkan mereka berdua ke meja hijau. Bahkan kasus ini menyeta perhatian media regional yang selalu memberikan liputan tiap kali persidangan. Sekalipun ada aksi simpatik dari beberapa kader ikatan, baik langsung ataupun via medsos meski tidak pernah menembus tranding topic di medsos. Hasil obrolan dengan teman saya tersebut, ia agak menyangsikan bahwa gerakan ikatan selamanya tidak akan pernah menembus tranding topic medos sepanjang topik yang didiskusikan tidak pernah mendapat dukungan dan perhatian formal, baik seluruh kader ikatan ataupun elit persyarikatan. Bahkan ia memberikan contoh paling konkrit saat milad ikatan beberapa waktu lalu yang juga kalah dengan HMI yang mampu menembus tranding tropic di Twitter. Lantas menurutnya kemana jamaah medsos ikatan?

Ia juga mengkritik saya yang dianggap tidak pernah berbuat apa-apa. Dan hanya jadi tukang kiritik atas program pimpinan yang ada di ikatan. Apalagi, yang baginya yang saya lakukan hanya bisa berceloteh di Blog yang hanya berisi curhatan dan jauh dari sikap kritis. Hem! Saya pun tetap membuka kuping saya lebar-lebar untuk mendengar apa yang disampaikan teman saya tersebut, yang berarti ia mengikuti postingan tulisan saya di Blog—meski ia juga lupa dengan apa yang telah ia perbuat terhadap ikatan, sebab ia sudah lama mendeklarasikan diri keluar dari ikatan dikarena baginya ikatan ini tak mampu memberikan ruang terhadap dirinya—yang saya sendiri juga bingung dengan alasan teman saya tersebut. Terkait soal kasus Dimas dan Fajar, apa yang disampaikan teman saya tersebut mengingatkan saya pada apa yang pernah disampaikan senior saya di inbox facebok saya beberapa waktu lalu terkait kasus tersebut. 

Agak sulit memulai dari mana. Tapi ada tradisi yang agak sulit diinternal pimpinan persyarikatan yakni tradisi senyap. Untuk berkomunikasi dengan mereka, kita tidak bisa menggunakan wajah seorang yang sedang melawan arus, karena meskipun kita berada dalam pihak yang benar. Mereka enggan berpihak pada yang bersuara ke banyak orang soal masalah internal. Kenyataan itulah yang membuatku off dua tahun terakhir ini. Kecewa dengan tradisi main aman pimpinan elit persyarikatan atas kasus-kasus pelanggaran internal. Aku kasihan menyampaikan pada adik-adik, untuk tetap berusaha meminta pusat persyarikatan berksikap. Namun, jangan terlalu banyak berharap..
Ya! kita butuh sikap bersama untuk bisa melihat permasalah Fajar dan Dimas sebagai permasalahan bersama. Yang harus dimendapat dukungan kuat oleh berbagai kalangan, baik dari kalangan internal ikatan maupun oleh pimpinan persyarikatan, tidak terkecuali dengan dengan penggunaan beragam media dukungan: aksi maupun media sosial.

Menunjukkan sikap kritis sebagai kader ikatan, tidak ada salahnya mengetahui apa yang dimaksud kritik dan sikap kritis. Saya pun iseng-iseng membuka Kamus Bahasa Indonesia dan menemukan pengertian bahwa kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu pendapat atau karya. Sedangkan “kritis” bersifat selalu berusaha menemukan kekeliruan atau kesalahan atau tajam dalam penganalisisan. Dalam pemaknaan orang awam seperti saya bahwa sikap kritis bisa dipahami sebagai proses mengoreksi, entah hal itu sebagai bantahan ataupun masukan. Jadi, upaya diri dalam bersikap kritis terhadap persoalan haruslah diimbangi dengan jalan solusi yang kemudian bisa mengelesaikan permasalahan yang sedang dikritisi. Pertanyaan pentingnya apakah sikap kritis harus ditunjukkan dengan wajah marah, memaki dan berbagai umpatan lainnya. Maksudnya, sikap kritis ditujukkan dengan luapan nafsu amarah, bukan dengan berbagai pandangan dan pemikiran yang lahir dari kalbu yang jernih. Ya! bersikap kritis dengan kejernihan hati inilah yang ditampilkan oleh HAMKA, M. Natsir, Ali Shariati, Che Guevara, Buya Syafii dan beragam tokoh karismatik lainya. Sikap tersebut lahir dari ‘kesadaran’ untuk bisa berbuat, bersikap dan bertanggung jawab.  

Barangkali, yang patut menjadi perhatian kita kedepan dalam ikatan adalah membangun gerakan kolektif dalam menciptakan kesadaran bersama dalam menghapi persoalan. Sekaligus memberikan pemahaman diri bahwa: apa pun perbuatan baik yang kita lakukan dalam tubuh ikatan dan seberapa pun besarnya. Sama besar perjuangan dan pahalanya dalam memperjuangkan persyarikatan dan Islam itu sendiri. Sehingga tidak perlu ada yang merasa paling benar dan telah melakukan banyak hal, yang pada akhirnya akan membuat apa yang telah dikerjakan menjadi tidak berarti apa-apa. Sebagai kader ikatan harusnya selalu merasa bangga dengan keberadaan diri dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Begitu, pula dengan para elit persyarikatan yang diharapkan juga perlu membuka banyak ruang mendengar dan melihat terhadap berbagai kinerja dan prestasi yang telah ditorehkan pada kader ikatan.

Terkait persoalan pribadi saya atas pandangan teman saya diatas. Rasanya, saya tidak perlu harus membela diri. Sebab apa yang ia sampaikan adalah benar adanya—bahwa saya banyak berceloteh belaka. Bagi saya, berkader di ikatan tidak selamanya harus melupakan kejatidiriannya. Maksudnya, saya tidak ingin menjadi orang lain, saya ingin menjadi diri saya sendiri—dengan beragam pemahaman dan pengkhayatan atas berbagai hal yang bisa direfleksikan selama menjadi menjadi kader ikatan kurang lebih sembilan tahun terakhir ini. Terus terang saya merasa bangga berjumpa dan berkader bersama teman-teman saya selama ini yang kemudian saya sebut rahim merah. Yang membuat saya berceloteh lebih banyak entah melalui: Tak Sekadar Merah, GenealogiKaum Merah maupun menulis surat untuk ketua. Bersama mereka saya menemukan diri saya sendiri dalam berkader dan terbawa hingga kini dengan Menggugat TuanPresiden sebagai dari komitmen diri dalam tetap memelihara sikap kritis yang dimaksud oleh teman saya tersebut diatas meski dengan cara yang berbeda. Itulah cara saya memandang diri sebagai berkader dalam ikatan—sebagai berkader seumur hidup.  Tanpa harus mendeklasikan diri keluar dari ikatan..

Sekali lagi. Berkader itu seumur hidup!


0 comments: