Apa kabar, Ketua? Cukup lama
rasanya kita tidak bertemu. Kira-kira, kalau tidak salah ingat, terakhir kita bertemu sekitar dua tahun lalu.
Saat Ketua dilantik menjadi Ketua dan aku yang membacakan Surat Keputusannya.
Barangkali, pertemuan kita amatlah mahal, apalagi untuk sekadar basa basi yang
memang tak ada nilainya. Mungkin lebih baik kita sebut saja pertemuan kita
sebagai barter kepentingan—dan proses transaksional untuk sama-sama mencari
keuntungan. Hanya itu, yang bisa mempertemukan kita. Sebab selebihnya kita
sama-sama menghilang tanpa ucapan terima kasih dan jabatan tangan.
Mengaca pada kelakuan kita itu.
Rasa-rasanya kembali mengingatkanku pada masa dimana Ketua pernah mempercudangiku
dengan surat sakti “Bukan Representasi”. Surat yang memotong semua apa yang
pernah aku lakukan—yang entah itu berguna atau tidak. Tapi, surat sakti itu
seperti irisan pisau yang memotong urat nadi berkaderku tanpa belas kasihan.
Hingga, nyaris aku tidak punya pegangan apa-apa—tak terkecuali aku yang pernah
menjadi bagian tim yang membai’at Ketua sebagai kader. Ketua dengan surat sakti
itu menghukumku hanya karena aku berbeda pandangan politik. Meski, sudah aku
jelaskan jelang detik aku disebut pengkhianat itu. Barangkali, harusnya waktu
itu, aku menyadari bahwa usulku hanya sekadar “pertimbangan” bukan “keputusan”.
Sehingga Ketua tidak perlu mengeluarkan surat sakti sebagai jurus memotong
dialektika berkaderku.
Tapi, sejarah memang tidak pernah berbohong, Ketua—aku masih tetap menerima irisan surat saktimu itu tanpa aku meronta terlalu lama. Intinya, Ketua, sebagai hakikat luka—ia akan membekas sampai kapanpun, sekalipun ia sendiri sudah sembuh. Sama halnya saat ketua waktu pertama kali belajar naik sepeda, terus jatuh dengan lutut penuh luka. Tentu, kini saat Ketua melihat sepeda itu kembali atau mungkin melihat bekas luka di lutut. Nescaya secara spontan otak Ketua akan mengingat detik-detik mengapa Ketua jatuh dan bagaimana sakitnya. Seperti itulah yang saya rasakan, Ketua.
Tapi, sejarah memang tidak pernah berbohong, Ketua—aku masih tetap menerima irisan surat saktimu itu tanpa aku meronta terlalu lama. Intinya, Ketua, sebagai hakikat luka—ia akan membekas sampai kapanpun, sekalipun ia sendiri sudah sembuh. Sama halnya saat ketua waktu pertama kali belajar naik sepeda, terus jatuh dengan lutut penuh luka. Tentu, kini saat Ketua melihat sepeda itu kembali atau mungkin melihat bekas luka di lutut. Nescaya secara spontan otak Ketua akan mengingat detik-detik mengapa Ketua jatuh dan bagaimana sakitnya. Seperti itulah yang saya rasakan, Ketua.
Kini, setelah 4 tahun berlalu. Kemarin,
tersiar kabar bahwa anggota rumah kita berkader. Tidak satu pun yang keterima
lamarannya di rumah besar yang Ketua pimpin? Semua tertunduk lesu dengan
kekalahan yang mungkin tidak jauh beda dengan 4 tahun lalu itu. Penyesalan dan
kesadaran yang terlambat atas dinamika kepentingan yang hadir secara
mengagetkan dan diluar perkiraan. Adalah hal lumrah yang tidak perlu Ketua
terkaget-kaget dan terheran-heran. Dan harusnya Ketua tidak perlu menggunakan
cara-cara usang seperti yang pernah aku lakukan untuk menjadikan terpilihnya
Ketua sebagai Ketua 2 tahun lalu itu. Bukankah Ketua seorang ilmuan kepentingan
(politik) yang bisa menjelaskan hal itu secara ilmiah dan analitik—bahwa tiap
detik semua metode bisa jadi berubah karena beragam indikator yang
mengikutinya.
Maka, kini aku patut menanyakan
ulang surat “Bukan Representasi” pemotong nadi itu. Apa yang Ketua lakukan
kemarin itu juga tidak jauh beda dengan apa yang pernah aku lakukan. Ketua
agaknya terlampau jemawa dan mengganggap remeh perlunya regenerasi yang siap
menggantikan Ketua—dari rumah kita sendiri. Sehingga tidak perlu ada persiapan
yang memang disiapkan secara lebih matang dan jauh-jauh hari, sekalipun kekuatan
rumah kita nyaris 2 kali lipat dari kekuatan 4 tahun lalu itu. Tapi, nyatanya
dengan modal Ketua sebagai ketua rumah besar dan kekuatan dukungan berlipat.
Ketua juga tidak bisa berbuat apa-apa—kalah dengan semalu-malunya. Gagal total!
Kini, apa guna hukuman Ketua terhadapku 4 tahun itu? Jawablah!
Apakah Ketua juga masih tidak mau
menerima, aku sebut kejadian kemarin itu sebagai “kegagalan total komunikasi”, seperti
tidak terimanya Ketua aku bilang begitu 4 tahun lalu itu? Sekarang buka mata
dan hati Ketua lebar-lebar. Lihat dan dengar apa yang dirasakan para anggota
keluarga pasca kejadian memalukan kemarin itu. Masihkah itu—tidak mau disebut
kegagalan total. Kalau Ketua masih hendak mengelak. Maka, bacalah kembali surat “Bukan
Representasi” yang pernah Ketua keluarkan untukku. Atau mungkin buka kembali
lembaran hasil Musyawarah rumah besar 4 tahun lalu dan hasil musyawarah kemarin
itu: lihat perwakilan nomor 3 terbesar. Itu jumlahnya hanya selisih 11 suara
dengan milikku 4 tahun lalu yang hanya bermodal dukungan solid Ketua 22 suara
itu—yang tentu saja harus ku cari sendiri kekurangannya. Silahkan Ketua kembali
marah dengan mengusungkan dada seperti 4 tahun lalu—karena aku sebut kegagalan
total. Posisi Ketua itu Ketua. Sekali lagi, Ketua. Jadi setiap hasil apapun
harus berani berdiri untuk pasang badan akan menerima segala bentuk resiko. Bukan
sibuk mengamankan citra dan kepentingan diri.
Harusnya, kita sama-sama belajar
dari kesalahan atau perbuatan yang telah kita perbuat, Ketua. Itu sebabnya aku
tidak mau ikut terlibat lagi dalam drama perebutan kursi kepentingan. Aku
memilih insyaf dalam ambisi kuasa
yang tidak ada habis-habisnya dalam keluarga itu. Tapi, entah dengan
dirimu—yang dalam bisik bathinku, Ketua juga masih tetap ingin berkeringat
nafsu mengejar kursi: entah di rumah Kakak Pertama ataupun nanti di Kumpulan
Bapak-bapak. Itu hanya firasatku, bisa benar, bisa juga salah. Barangkali,
standart keimanan struktural kita yang berbeda. Tapi, kalau suatu hari nanti
itu benar. Ingatlah pesanku Ketua: tidak selamanya menjadi Ketua itu
membahagiakan banyak orang, sekalipun membagiakan diri sendiri. Apalagi itu
dilakukan dengan mengorbankan masa depan anggota rumah kita sendiri. Ketua yang
baik bukan menciptakan para pengikut. Melainkan mampu bagaimana mempersiapkan
para Ketua (pemimpin) baru. Tapi, tetap saja itu kembali pada pilihan kita
masing-masing.
Kita sama-sama harus menyadari
bahwa rumah yang pernah mendidik kita adalah tempat dimana kita akan pulang. Segala
apa yang terjadi dalam proses Musyawarah kemarin dapat menjadi lecutan untuk
segera berbenah diri. Agar kedepan tidak terjadi peristiwa serupa, yang hanya
akan menjadi hari muram untuk dikenang generasi selanjutnya. Tentu itu, butuh
persiapan panjang dan cucuran keringat—dan bukan berharap pada keberuntungan. Tidak
perlu geram dengan suratku ini, Ketua. Sebab apa yang aku lakukan ini hanya
sekadar mengingatkan "kita" supaya agar tidak terlalu mementingkan diri sendiri. Tengok,
dekap dan dengar suara generasi kita yang sedang lelah dan bimbang—akibat emosi
belum menerima kenyataan yang mungkin tidak sama dengan perkiraan mereka. Lakukanlah dari Ketua sendiri dulu. Itu
semata-sama karena posisi Ketua sebagai Ketua. Ketua yang sah. Ketua yang dimenangkan dengan membalut luka irisan surat sakti, derai air mata dan sujud syukur. Ingatlah itu baik-baik.
Terakhir. Kadang-kadang politik itu
bukan sekadar rentetan teori dan praktik. Tapi, lebih pada persiapan, kejelian,
strategi dan tujuan bersama. Serta tidak selamanya menjadi Ketua selalu menyenangkan
diri sendiri. Tentu, itu hanya bisa dilakukan dengan hati dan perasaan
bersama, Ketua.
... Itu!
... Itu!
0 comments:
Posting Komentar